Kisah VoB: Pernah DO, Manggung di Glastonbury, dan Kritiknya ke Dunia Pendidikan Kita
Voice of Baceprot (VoB) saat membawakan lagu kritik atas krisi kemanusiaan seprti di Palestina saat manggung di Soundfest Experience, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (22/6/2024). Konser itu menjadi semacam pemanasan sebelum mereka tampil di Galstonbury Festival, Inggris.
JAKARTA, KOMPAS.com - Mata Firda Marsya Kurnia menatap kanan dan kiri ketika menyebut riwayat drop out (DO) yang menimpa tiga personel "Voice of Baceprot" (VoB) saat sekolah menengah atas (SMA) merupakan cerita yang rumit.
Marsya merupakan vokalis sekaligus gitaris VoB, band beraliran metal asal Garut, Jawa Barat.
Kompas.com menemui Marsya ditemani Euis Siti Aisyah (drummer) dan Widi Rahmawati (bassist) sebelum manggung di Soundfest Experience, Kuningan, Jakarta Selatan, pada akhir pekan lalu.
“Kita bermasalah sama sekolah yang pertama,” kata Marsya.
VoB yang sudah terbentuk sejak mereka duduk di madrasah tsanawiyah (MTS) atau setara SMP, mulai sering diundang untuk tampil.
Pada satu waktu mereka diundang salah satu stasiun televisi. Pembawa acara menanyakan apakah sekolah mendukung mereka bermusik.
Marsya dan dua temannya menjawab dengan jujur mengenai apa yang mereka alami. Sekolah tidak mendukung mereka bermusik.
“Jadi kayak pihak sekolah merasa bahwa kenapa kamu menjelekkan sekolah sedangkan kamu masih di sini? Terus huru hara lah di situ hahaha huru hara,” kata Marsya sembari tertawa.
Beberapa waktu kemudian, kakak Siti dipanggil ke sekolah dan diminta untuk mengundurkan diri.
Marsya pun kaget sementara orang tuanya tidak mau ke sekolah. Ia pun mogok berangkat ke sekolah selama dua minggu.
“Mereka ketergantungan sama aku,” ujar Siti sembari tertawa lepas.
Sementara itu, Widi tetap bertahan di sekolah. Menurut Marsya, ia mencoba mempertahankan segalanya.
Namun, karena tinggal seorang diri ia diejek teman sekelasnya. Widi memutuskan untuk menyusul dua kawannya.
Mereka kemudian pindah ke sekolah yang belum lama berdiri.
“Kita ke sekolah baru, pihak sekolah baru ngomong kalau kita dari sekolah lama itu di-drop out,” kenang Marsya.
Sekolah baru itu tidak mempermasalahkan riwayat “hitam” trio VoB yang pernah di-DO.
“Mereka sekolahnya baru, butuh promosi. Kita saling membutuhkan,” ujar Marsya terbahak.
Kritik Pendidikan
“Kita enggak tahu sih di tempat lain, tapi yang kita rasain di tempat asal kita itu busuk banget. Sebusuk itu,” ujar Marsya.
Setelah lulus, trio VoB menjadi lebih leluasa mengungkapkan unek-uneknya soal pahitnya dunia sekolah yang mereka alami.
Widi misalnya, mengungkapkan bagaimana salah seorang guru memberikan pemahaman yang begitu kaku dan seksis di dalam kelas.
Salah satu gurunya, seorang perempuan, pernah mengingatkan bahwa hakikatnya perempuan tidak boleh dipertontonkan atau menjadi perhatian banyak orang.
Karena itu, sebagai perempuan Widi dinilai tidak pantas naik ke atas panggung dan dilihat banyak penonton.
“Jadi aku tuh manggung-manggung kayak gitu enggak baik. Katanya, bukan hakikat seorang perempuan,” kenang Widi.
Namun, Widi melihat pernyataan itu bertentangan dengan gurunya sendiri.
“Kan dia diem di depan kelas kan ditonton sama murid ya,” ujarnya tertawa.
Menurut Marsya, guru di sekolahnya saat itu cenderung memaksakan siswa untuk mengikuti kehendak mereka.
Di sekolah, mereka tidak merasakan belajar dengan merdeka karena siswa-siswa cenderung diminta mengikuti kemauan gurunya.
Marsya dan teman-temannya pun merasakan bagaimana kelas yang hanya mereproduksi orang yang sama dari waktu ke waktu, sebagaimana diungkapkan kritikus pendidikan Amerika Latin, Paulo Freire.
“Jadi lebih ke tugas mereka itu cuma mencetak akhirnya. Jadi mencetak orang-orang yang sama seperti sebelumnya,” kata Marsya.
Tidak hanya itu, mereka juga merasakan bagaimana masa belajar di sekolah diajarkan untuk kompetitif.
Siti misalnya, pernah diceramahi salah satu gurunya bahwa pencapaian VoB manggung di banyak tempat hingga masuk televisi sia-sia karena tidak mendapatkan ranking satu.
“Terus aku jawab, weh, dalam hati tapi, kan sudah ada yang ranting satu kenapa harus saya,” kata Siti disambut tawa lepas dua temannya.
Sekolah yang Diimpikan
Pengalaman masa sekolah yang dirasa tidak menyenangkan itu melatarbelakangi lagu “School Revolution” pada 2018.
Melalui lagu itu, mereka mengungkapkan bagaimana seorang siswa dipaksa mewujudkan mimpi orang lain, mimpi guru-gurunya.
“Bila teriak merdeka bersiaplah ditabok atau dikatain,” bunyi sepenggal lirik lagu itu.
Marsya mengatakan, lagu tersebut diciptakan ketika mereka masih SMP, menceritakan kejenuhannya di sekolah.
Namun, ternyata hari-hari mereka saat itu belum ada apa-apanya dibanding ketika SMA yang berujung pada drop out.
Personel VoB mengaku kelak sekolah bisa mewadahi apapun bakat yang dimiliki para siswa.
Ketika seorang murid tidak pandai dalam ilmu eksakta misalnya, mereka bisa saja ahli dalam bidang olahraga atau seni.
Salah seorang temannya, yang pandai betul menggambar realis hanya dibanggakan setahun sekali oleh gurunya saat event sekolah.
“Sisanya ya udah, dia diperlakukan seperti murid-murid yang tidak pintar dalam matematika dan IPA,” ujar Marsya.
Mencapai Glastonbury
Pernah tidak disukai gurunya hingga didepak dari sekolah, Marsya, Siti, dan Widi justru mencapai panggung Glastonbury, Inggris.
VoB menjadi satu-satunya sekaligus band asal Indonesia yang pertama kali diundang di festival musik dunia tersebut.
Marsya mengatakan, di panggung itu VoB akan menyuarakan krisis kemanusiaan yang terjadi di Palestina sampai masalah lingkungan.
"Isu lingkungan karena kami di sana ada juga ikut gerakan sama GreenPeace," ujar Marsya.
Tiga anak yang didepak mengalami drop out itu, mengguncang Woodsies Stage, Jumat (28/6/2024).
Sejumlah penonton yang terkesima mengunggah komentar-komentar mereka di media sosial.
“Indonesian muslim female metalheads. Representation matters. This earth matters. Your voice matters. Absolutely blown away,” kata salah satu penonton.