Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Sempat Ditangani Psikolog saat Sidang
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari kembali diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Kamis (18/4/2024). Pengacara pengadu, Aristo Pangaribuan (kiri), menyebut Hasyim menggunakan relasi kuasa untuk mendekati, membina hubungan romantis, dan berbuat asusila dengan salah satu anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN).
JAKARTA, KOMPAS.com - Korban dugaan asusila Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari disebut sempat ditangani psikolog yang mendampinginya saat menjalani sidang perdana di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Rabu (22/5/2024).
Korban merupakan anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Eropa yang bertindak sebagai Pengadu.
"Sidang itu dihentikan beberapa waktu ya. Ada psikolog klinis, kemudian ada juga dari Komnas Perempuan dan Komnas HAM yang ikut memantau sebenarnya," kata pengacara Pengadu, Aristo Pangaribuan, kepada wartawan selepas sidang tertutup yang berlangsung 7-8 jam.
"Mereka juga sempat memberikan advice. Misalnya ketika korban itu tidak mampu mengontrol dirinya jadi sidang dihentikan, makanya jadi agak lama," ia menambahkan.
Adapun dalam sidang ini, baik Pengadu maupun Hasyim selaku Teradu datang langsung di ruang sidang.
Aristo mengeklaim, kedatangan Pengadu memang atas keinginan Pengadu sendiri, meskipun hal itu disebut menimbulkan trauma bagi Pengadu.
"Alasan utamanya adalah yang mau itu adalah korbannya. Kenapa? Karena dia merasa betul-betul violated dan dia ingin memperjuangkan nasibnya sendiri, itu yang pertama," ujar Aristo.
"Dia ingin mengonfrontir langsung, dia ingin menjelaskan langsung tentang situasinya. Saya rasa justru itu sangat membantu dan sangat diapresiasi oleh DKPP. Jadi, ada tanya jawab langsung. Justru banyak tanya jawab langsung antara Pengadu dan Teradu," jelas dia.
Aristo juga menyebut bahwa Pengadu masih tetap ingin hadir langsung dalam sidang lanjutan berikutnya, meskipun ia harus bolak-balik penerbangan ke Eropa.
"Dia sangat ingin hadir ya," sambung dia.
Hasyim mengaku telah membantah dalil-dalil aduan Pengadu terkait perbuatan asusila tersebut, sementara itu pengacara Pengadu menyertakan sejumlah bukti-bukti tambahan berupa percakapan keduanya melalui WhatsApp.
Dalam kasus dugaan pelanggaran etik ini, Hasyim dituduh menggunakan relasi kuasa untuk mendekati, membina hubungan romantis, dan berbuat asusila terhadap Pengadu, termasuk di dalamnya menggunakan fasilitas jabatan sebagai Ketua KPU RI.
"Cerita pertama kali ketemu itu di Agustus 2023, itu sebenarnya juga dalam konteks kunjungan dinas. Itu pertama kali bertemu, hingga terakhir kali peristiwa terjadi di bulan Maret 2024," kata kuasa hukum korban sekaligus pengadu, Maria Dianita Prosperiani, saat mengadu ke DKPP, 18 April 2024.
Keduanya disebut beberapa kali bertemu, baik saat Hasyim melakukan kunjungan dinas ke Eropa, atau sebaliknya saat korban kunjungan dinas ke Indonesia.
Kuasa hukum lainnya, Aristo Pangaribuan, menyebut bahwa dalam keadaan keduanya terpisah jarak, terdapat upaya aktif dari Hasyim "secara terus-menerus" untuk menjangkau korban.
"Hubungan romantis, merayu, mendekati untuk nafsu pribadinya," kata Aristo.
Namun, menurut dia, tidak ada intimidasi maupun ancaman dalam dugaan pemanfaatan relasi kuasa yang disebut dilakukan oleh Hasyim.
Pengacara juga enggan menjawab secara tegas apakah "perbuatan asusila" yang dimaksud juga mencakup pelecehan seksual atau tidak.
Ini bukan kali pertama Hasyim tersandung masalah etik terkait dugaan perbuatan asusila.
Sebelumnya, ia pernah dinyatakan melanggar etik dan dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir oleh DKPP karena melakukan komunikasi yang tidak patut terhadap Ketua Umum Partai Republik Satu alias "Wanita Emas".
Ketika itu, rangkaian persidangan yang digelar tertutup mengungkapkan bahwa Hasyim aktif berkomunikasi dengan Hasnaeni secara intensif melalui WhatsApp di luar kepentingan kepemiluan.
DKPP menilai tindakan Hasyim sebagai sebagai penyelenggara pemilu terbukti melanggar prinsip profesional dengan melakukan komunikasi yang tidak patut dengan calon peserta pemilu sehingga mencoreng kehormatan lembaga penyelenggara pemilu.
Seusai kasus Hasnaeni, Hasyim juga beberapa kali disanksi peringatan keras terakhir namun DKPP tak pernah mencopot atau memecatnya.
DKPP beralasan, mereka tidak menambah level sanksi menjadi pemberhentian sebab tipologi kasus pelanggaran etik yang membuatnya dijatuhi peringatan keras merupakan kasus yang berlainan satu sama lain, sehingga tidak berlaku sifat akumulatif.