Ilmuwan Temukan Gundukan Rayap Tertua di Bumi
Gundukan rayap tertua di dunia ditutupi bunga musim semi
KOMPAS.com - Ilmuwan di Afrika Selatan telah menemukan gundukan rayap aktif tertua yang telah dihuni selama puluhan ribu tahun.
Penanggalan radiokarbon baru-baru ini kemudian mengungkapkan bahwa gundukan rayap tersebut jauh lebih tua dari yang diketahui sebelumnya dan beberapa di antaranya berusia 34.000 tahun.
Artinya itu lebih tua dari lukisan gua ikonik di Eropa dan bahkan lebih tua dari Maksimum Glasial Terakhir, era ketika lapisan es yang luas menutupi sebagian besar belahan Bumi Utara.
Sementara gundukan rayap tertua yang ditemukan sebelumnya di Brasil berusia 4.000 tahun.
Seperti dikutip dari Live Science, Rabu (26/6/2024) tempat tinggal serangga tersebut ditemukan di sepanjang tepi Sungai Buffels di Namaqualand, sebuah wilayah di sepanjang pantai barat Afrika Selatan di mana sekitar 20 persen lanskapnya ditutupi oleh gundukan rayap.
Penghuni gundukan kuno yang disebut heuweltjies" dalam bahasa Afrikaans ini adalah rayap pemanen selatan (Microhodotermes viator).
Dan menariknya gundukan rayap tertua di dunia tersebut juga telah mengumpulkan karbon dari atmosfer selama ribuan tahun.
Saat mereka mencari makan sehari-hari, rayap mengumpulkan potongan kayu yang mereka tambahkan ke sarangnya.
Selama bertahun-tahun, bahan-bahan organik ini menumpuk dan membentuk reservoir kaya karbon.
Michele Francis, penulis utama studi ini memperkirakan bahwa setiap sarang rayap dapat menampung sekitar 15 ton karbon.
Ia bersama timnya pun tertarik untuk memahami bagaimana air tanah, atmosfer, dan tanah di gundukan-gundukan kecil tersebut berinteraksi untuk menyimpan banyak karbon.
Untuk melakukannya, tim melakukan analisis kimia terhadap gundukan rayap dan mengkarakterisasi proses kimia yang mentransfer karbon atmosfer ke gundukan kecil tersebut.
Peneliti menemukan bahwa saat rayap memanen bahan organik dan membawanya ke dalam sarang, rayap memengaruhi tanah dan memudahkan air meresap.
Mikroba di dalam tanah kemudian mengubah simpanan karbon menjadi kalsium karbonat.
Saat hujan kalsium karbonat di gundukan tersebut kemudian bereaksi secara kimia dengan asam karbonat, yang terbentuk ketika karbon dioksida di atmosfer larut dalam air hujan. Aliran kimia meningkatkan penyerapan karbon dioksida di atmosfer.
Proses tersebut kemudian mengunci karbon baru sekitar 1 meter di bawah permukaan dalam jangka panjang.
“Dengan mempelajari gundukan ini, para ilmuwan dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang cara memerangi perubahan iklim, memanfaatkan proses alam untuk penyerapan karbon,” kata Francis dalam sebuah pernyataan.
“Penemuan sarang rayap tertua di dunia di Namaqualand merupakan bukti sejarah luar biasa yang tersembunyi di bawah kaki kita,” paparnya lagi.
Dan saat kita terus mengungkap rahasia struktur kuno tersebut, sarang-sarang rayap tersebut menjadi pengingat akan interaksi yang rumit antara iklim, lingkungan, dan kehidupan di Bumi.
Temuan ini dipublikasikan dijurnal Science of the Total Environment.