Wajibkah Panggil Haji Atau Hajah Untuk Orang yang Pernah Ibadah Haji? Ini Penjelasan Buya Yahya
TRIBUNMANADO.CO.ID - Ibadah haji di Indonesia biasanya menjadi kebanggaan, termasuk keinginan semua umat muslim.
Kembali dari ibadah haji biasanya jemaah disambut oleh keluarga dan jemaah lain.
Pun mereka mendapat gelar baru atau ada sapaan haji atau hajah di depan nama.
Pun bisanya orang bergelar haji sangat dihormati di kalangan masyarakat.
Itu spontan menjadi panggilan orang yang sudah atau baru saja melakukan ibadah haji.
Hal tersebut rupanya menjadi kebiasaan di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Rupanya juga akan terjadi turun temurun.
Masyarakat Indonesia yang baru saja pulang menunaikan ibadah haji seringkali dipanggil Pak Haji dan Bu Hajah.
Padahal, tidak ada keharusan terhadap panggilan tersebut.
Namun, tak sedikit orang yang ingin dipanggil dengan sebutan yang sedemikian.
Sebab, panggilan tersebut dianggap lebih bermartabat bagi orang yang baru saja menunaikan ibadah haji.
Lantas, bagaimana pandangan tokoh agama mengenai panggilan tersebut?
Prof. KH.Yahya Zainul Ma'arif, Lc., M.A., Ph.D. atau yang karib disapa Buya Yahya menjelaskan, umat Islam harus berprasangka baik kepada orang sudah melaksanakan ibadah haji bahwa mereka sudah dipilih untuk menjadi tamu Allah.
"Kalau kita lihat orang haji, kita husnudzon, bahwa dia telah menjadi tamu Allah, orang yang dipilih oleh Allah," kata Buya Yahya dikutip Serambinews.com dari YouTube Al Bahjah TV, Senin (3/7/2023).
Lanjut Buya Yahya, jika kita ikut senang ketika melihat orang pulang haji, seharusnya kita bersyukur.
Sebab, menurut Buya Yahya, itu merupakan satu tanda jika suatu saat kita akan menyusul pergi haji.
Begitu juga sebaliknya, jika Anda memiliki sifat iri dan dengki ketika melihat orang pergi haji, maka itu satu tanda jika suatu saat Anda tidak bisa naik haji.
"Tapi ada orang lihat orang haji marah, dengki, suudzon mikir asal duitnya gak jelas, ada orang lihat orang haji itu dia marah-marah, maka ketahuilah dia tidak akan bisa haji," imbuh Buya Yahya.
Tradisi Pemanggilan Gelar Haji
Adapun soal pemanggilan gelar haji di Indonesia, Buya Yahya berpendapat tradisi tersebut tidak masalah. Ini termasuk menghormati para tamu Allah.
"Kemudian karena tradisi di Indonesia sudah biasa ada Pak Haji, ya kalau orang sudah haji panggillah Pak Haji. Karena kalau sudah menjadi kebiasaan, bisa jadi bikin seseorang tidak enak," sambung Buya Yahya.
Namun, meskipun Anda sudah haji lalu masyarakat tidak memanggil Anda Pak Haji atau Bu Hajjah, tidak menjadi suatu masalah.
"Jadi kalau ada tetangga, ya panggil haji tidak masalah, apa sih salahnya manggil aja kalau kita nggak mau panggil haji, yang sombong kita jadinya, ngiri sebetulnya, jadi kita yang kotor, panggil 'Pak Haji' nggak apa-apa,"
"Cuma maksud kami jika Anda tidak dipanggil haji, biasa aja deh, emang aslinya saya lahir nggak pake H (haji), nama dari bapak saya nggak pake H kok," tambah Buya.
Hal penting bagi orang yang sudah melaksanakan kewajiban rukun Islam kelima ini adalah menjaga hati.
Dan bagi yang belum haji, adalah saling menjaga hati orang lain agar tidak tersakiti.
"Jaga hati orang agar tidak nyakiti dia, maka panggil dia Pak Haji. Jaga hati kita, jangan marah, jangan gelisah, jangan sedih jika dipanggil Pak Haji," pungkas Buya Yahya.
Tidak Ada Gelar Khusus
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Miftahul Huda menjelaskan, dalam syariat agama Islam, sebenarnya tidak ada gelar khusus untuk orang yang telah berhaji.
Haji dalam Islam merupakan bagian dari rukun Islam, tepatnya rukun kelima.
Orang yang menjalankan empat rukun Islam lain pun tidak memiliki gelar atau panggilan khusus.
"Orang yang selesai melaksanakan puasa Ramadhan satu bulan penuh kan tidak pernah dipanggil Bapak Shaum (puasa)," jelasnya, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (25/6/2024).
Demikian pula dengan orang yang sudah membayar zakat, tidak ada yang memanggilnya dengan sebutan Bapak Muzakki.
Meskipun, menurut Miftahul, dalam dunia zakat memang ada istilah muzakki yang memiliki arti "orang yang menunaikan zakat".
Namun, Miftahul melanjutkan, ibadah haji mempunyai makna tersendiri dalam budaya muslim Indonesia.
Gelar atau panggilan Haji bukan sekadar mengandung makna kebanggaan, tetapi juga mencerminkan pencapaian spiritual yang besar dalam kehidupan seorang muslim.
"Dalam masyarakat Indonesia, orang yang dipanggil Pak Haji atau Ibu Haji, tidak hanya sebagai penghormatan terkait status sosial yang tinggi dan dihargai, tetapi juga menandakan bahwa orang tersebut telah melakukan perjalanan spiritual yang sangat penting dalam agama Islam," terangnya.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI ini menilai, panggilan Haji di Tanah Air memiliki sisi positif dan negatif, terutama bagi orang yang baru saja melaksanakan rukun Islam kelima.
Sisi positifnya, gelar Haji secara khusus akan mengingatkan jemaah untuk terus menjadi teladan dalam kebaikan.
Dengan demikian, secara tidak langsung, panggilan Pak Haji atau Bu Hajah merupakan salah satu cara mempertahankan nilai-nilai budaya dan agama dalam masyarakat.
Sisi negatifnya, panggilan Haji mungkin akan menjerumuskan muslim dalam sifat yang merugikan, seperti sifat membanggakan diri.
"Akhirnya kesombongan dapat merusak jiwa hajinya yang semestinya orang yang sudah berhaji harus semakin rendah hati dan tidak merasa tinggi hati pada orang lain," tutur Miftahul.
Asal-usul gelar Haji, pemberian Belanda sebagai penanda
Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Syamsul Bakri mengungkapkan, penyematan gelar Haji semula hanya ada di Indonesia.
"Buktinya di Timur Tengah tidak ada gelar Haji, orang Barat juga tidak bergelar Haji walaupun sudah haji," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (24/5/2023).
Gelar Haji kemudian berkembang di daerah Melayu, terutama di Brunei Darussalam dan Malaysia.
Syamsul menerangkan, panggilan Haji dalam masyarakat Indonesia sebenarnya sudah ada jauh sebelum Hindia Belanda mengesahkannya.
Kendati demikian, penyematan gelar ini secara resmi dan formal baru dilakukan pada 1916, dengan dasar aturan Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad Tahun 1903.
"Jadi bedakan gelar formal Haji sekarang pakai H, dengan Haji sebagai panggilan. Kalau panggilan, sejak zaman kuno pun sudah ada," ungkapnya.
Menurut Syamsul, pemerintah kolonial menyematkan gelar Haji untuk menandai mereka yang kemungkinan terkontaminasi paham Pan-Islamisme, salah satu paham pemberontak kolonialisme.
Pan-Islamisme merupakan sebuah ideologi politik yang mengajarkan bahwa umat Islam di seluruh dunia harus bersatu untuk dapat terbebas dari kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat.
Konsep dasar Pan-Islamisme ini dicetuskan oleh Jamaluddin Al-Afghani pada akhir abad ke-19 Masehi.
Paham ini bersumber dan menyebar dari Tanah Suci, tempat muslim menggelar ibadah haji.
Apalagi, kata Syamsul, orang beribadah haji pada zaman dulu menghabiskan waktu sangat lama hingga bertahun-tahun.
"Karena di sana sambil mengaji, sambil bekerja, macam-macam, dan ada interaksi orang yang berhaji dari berbagai negara," ujarnya.
Seiring menguatnya paham Pan-Islamisme kala itu, pemerintah kolonial yang takut akhirnya menyematkan gelar Haji sebagai penanda.
"Musuh Belanda dua, komunis dan Pan-Islam, yang membahayakan kolonial. Para Haji dicurigai terkontaminasi pikiran Pan-Islamisme ketika di Mekkah, maka gelar Haji menjadi penting bagi Belanda," paparnya. (*)
(tribun-medan.com)
Artikel ini telah tayang di Tribun-Medan.com