Pria di Depan Tank, Bagaimana Jurnalis Selundupkan Foto Ikonik Peristiwa Tiananmen
Seorang pria tak dikenal memblokir konvoi tank di Beijing, China, pada 5 Juni 1989, sehari setelah para demonstran ditumpas tentara China di Lapangan Tiananmen, Beijing.
FOTO itu sangatlah ikonik: seorang pria tak dikenal yang mengenakan kemeja putih, kedua tangannya menenteng tas, berhadapan dengan barisan tank di Jalan Perdamaian Abadi Beijing, setelah Partai Komunis China memerintahkan operasi militer terhadap para pengunjuk rasa pro-demokrasi.
Foto dan rekaman dari apa yang kemudian dikenal sebagai “Manusia Tank” itu menjadi menjadi gambaran yang paling kuat dan berpengaruh dari tindakan keras militer China di Lapangan Tiananmen yang peringatan 35 tahunnya jatuh pada Selasa ini, 4 Juni 2024.
Pada malam tanggal 3 Juni 1989, setelah hampir dua bulan demonstrasi mahasiswa dan pekerja yang menuntut reformasi politik lebih cepat dan diakhirinya korupsi, konvoi pasukan bersenjata memasuki pusat kota Beijing untuk membersihkan alun-alun. Itu adalah pertumpahan darah; para saksi mata menggambarkan tank-tank melaju ke arah pengunjuk rasa yang tidak bersenjata, dan tentara menembak tanpa pandang bulu ke arah kerumunan demonstran.
Sampai saat ini pembantaian itu masih menjadi salah satu tabu politik paling sensitif di daratan China, dan semua penyebutan tentang peristiwa itu disensor secara ketat. Peringatan akan peristiwa itu dapat mengakibatkan hukuman penjara.
Pihak berwenang China hingga sekarang belum mengumumkan jumlah korban tewas dalam peristiwa itu, tetapi perkiraannya berkisar antara ratusan hingga ribuan orang.
Namun, sejak peristiwa itu, setiap tanggal 4 Juni komunitas diaspora China dan para pengunjuk rasa yang masih hidup di pengasingan di seluruh dunia memperingati peristiwa tersebut, sering kali membagikan ulang foto bersejarah karya Jeff Widener, yang ketika itu menjadi fotografer kantor berita Associated Press (AP), serta rekaman video yang diambil para kru CNN.
Perjalanan foto itu hingga mencapai dunia luar juga menggambarkan ketegangan dan ketakutan pada masa itu, yang melibatkan penyelundupan peralatan dan pembuatan film demi melewati pihak berwenang dan melintasi perbatasan. Pada saat itu, pemerintah China berusaha mati-matian untuk mengendalikan informasi yang tersebar ke seluruh dunia – dan berusaha menghentikan semua media berita Amerika, termasuk CNN, untuk menyiarkan langsung dari Beijing.
Lanjutan artikel ini dikutip dari buku “Assignment China: An Oral History of American Journalists in the People’s Republic” yang ditulis Mike Chinoy, yang memberkan kisah di balik layar dari momen yang mungkin paling terkenal dalam krisis tersebut. Chinoy menjadi kepala biro CNN di Beijing saat tragedi Tiananmen terjadi. Dia berada di sana, melakukan siaran langsung dari balkon yang menghadap lokasi kejadian, dan telah berbicara dengan para saksi selama dan setelah peristiwa bersejarah itu.
Menyelinap dan Menyelundupkan Peralatan
Ketika itu hari Senin, 5 Juni 1989, dan Beijing masih belum pulih setelah tindakan brutal militer yang dilakukan sehari sebelumnya. Liu Heung-shing, editor foto AP di Beijing, meminta Widener membantu mengambil foto pasukan China dari Beijing Hotel, yang memiliki sudut pandang terbaik ke alun-alun tersebut, yang telah berada di bawah kendali militer.
Widener terbang dari kantor AP di Bangkok, Thailand, seminggu sebelumnya untuk membantu peliputan itu. Dia mengatakan kepada CNN sebelumnya bahwa dia terluka ketika tindakan keras militer dimulai akibat terkena lembaran batu, dan terserang flu juga.
Dia lalu berangkat ke hotel yang dituju, dengan peralatan kamera tersembunyi di dalam jaketnya – sebuah lensa panjang 400 milimeter di satu saku, perangkat pengganda fokus lensa (doubler) di saku lain, film di celana dalamnya, dan badan kamera di saku belakang.
“Saya bersepeda menuju Beijing Hotel dan hanya ada puing-puing dan bus-bus hangus di jalan,” katanya. “Tiba-tiba ada empat tank datang, diawaki tentara bersenjata senapan mesin berat. Saya bersepeda sambil berpikir, saya tidak percaya saya akan melakukan tugas ini.”
“Saya mendengar desas-desus bahwa film dan kamera para jurnalis lain telah disita. Saya harus mencari cara untuk masuk ke hotel,” tambahnya. “Saya melihat ke dalam lobi yang gelap, dan di sana ada seorang mahasiswa Barat. Saya menghampirinya dan berbisik, 'Saya dari Associated Press, bolehkah Anda mengizinkan saya ke kamar Anda?' Dia langsung menjawabnya dan berkata, 'Tentu saja.'”
Pemuda itu Kirk Martsen, seorang siswa pertukaran pelajar Amerika. Dia yang menyelinapkan Widener ke kamar hotelnya di lantai enam.
Dari sana, Widener mulai memotret tank-tank yang melintas di jalan di bawahnya, kadang-kadang dia mendengar bunyi bel yang menandakan ada gerobak yang membawa mayat, atau orang yang terluka sedang dibawa ke rumah sakit.
Memotret
Sejumlah jurnalis lain juga berada di hotel itu, termasuk Jonathan Schaer, juru kamera CNN yang berbasis di Amerika Serikat (AS) yang terbang ke Beijing untuk mendukung rekan-rekannya yang telah kelelahan. Dia memasang kamera di balkon kamar CNN di hotel itu, tempat jaringan televisi itu menyiarkan laporan langsung mengenai tindakan keras militer sepanjang akhir pekan.
“Juru kamera lain berkata, 'Hei, lihat pria di depan tank-tank itu!' Saya baru saja memperbesar gambar dan mulai merekam video,” kenang Schaer.
“Ketika konvoi berhenti dan pria tersebut memblokir tank-tank itu, mereka (tentara) mencoba menakut-nakuti dia dengan menembakan peluru di atas kepalanya. Ya, menembak di atas kepalanya pada dasarnya adalah mengarah ke posisi kami. Pelurunya sangat dekat sehingga Anda bisa mendengarnya saat melesat lewat.”
Kembali ke kamar Martsen, Widener berada di dekat jendela, bersiap untuk memotret barisan tank yang melaju di jalan, ketika “pria dengan tas-tas belanjaan itu berjalan ke depan dan mulai melambaikan tasnya,” katanya. “Saya hanya menunggu dia tertembak, tetap fokus padanya, menunggu dan menunggu....”
Tank-tank itu berhenti dan mencoba mengitari pria tersebut. Pria itu bergerak mengikuti arah gerakan tank, menghalangi jalan tank-tank itu. Pada satu momen ketika terjadi kebuntuan, pria itu naik ke tank paling depan dan tampak berbicara kepada siapapun yang ada di dalam tank itu.
Namun Widener mempunyai masalah, adegan itu terlalu jauh untuk lensa 400 mm miliknya. Doubler miliknya, yang memungkinkan dia memperbesar hingga dua kali lebih besar fokus lensanya, berada di atas tempat tidur. Dia mengalami dilema: haruskah dia meraih doubler itu, dan berisiko kehilangan momen mengambi gambar dalam detik-detik berharga itu?
Dia akhirnya mengambil kesempatan itu, menggapai doubler dan memasangnya di kamera, lalu mengambil “satu, dua, tiga gambar. Selesai,” ujarnya.
“Beberapa orang kemudian datang, menangkap pria (di depan tank) itu, dan lari. Saya ingat duduk di sofa kecil di sebelah jendela dan siswa (Martsen) itu berkata, 'Apakah Anda mendapatkan gambarnya? Apakah kamu dapat?’ Sesuatu di benak saya mengatakan mungkin saya mendapatkannya, tapi saya tidak yakin.”
Liu ingat mendapat telepon dari Widener, dan segera memberikan instruksi: gulung filmnya, pergi ke lobi, dan minta salah satu dari mahasiswa asing di sana untuk membawanya ke kantor AP.
Foto-foto itu segera dikirim melalui saluran telepon ke seluruh dunia.
Widener melakukan instruksi Liu. Dia menyuruh siswa tersebut pergi bersepeda dengan film yang disembunyikan di celana dalamnya. Empat puluh lima menit kemudian, “seorang pria Amerika dengan kuncir kuda dan ransel muncul dengan amplop AP,” kata Liu. Mereka dengan cepat memproses filmnya, “dan saya melihat adegan itu – dan itulah adegannya. Film itu berhasil dikirim.”
Schaer, jurnalis foto CNN, awalnya tidak menyadari apa yang mereka rekam dalam rekaman. Saat itu adalah masa awal email, yang belum dapat menangani video berukuran besar – jadi CNN menggunakan “alat yang dapat mengirim video... sebuah prototipe yang diberikan Sony untuk kami uji coba,”. Alat itu memerlukan waktu satu jam untuk memindai satu frame video dan mengirimkannya melalui saluran telepon, kata Schaer.
Mereka mengirim lima frame, membuat salinan rekaman dan mengirimkannya ke bandara di Beijing, di sana mereka meminta seorang turis untuk membawa rekaman itu ke Hong Kong, yang pada saat itu masih merupakan koloni Inggris dan tidak tunduk pada pemerintahan China.
Beberapa media mengambil foto tentang “Tank Man” atau si Manusia Tank itu, namun hasil jepretan Widener yang paling banyak digunakan. Foto itu muncul di halaman depan berbagai surat kabar di seluruh dunia, dan pada tahun itu dinominasikan untuk mendapatkan Hadiah Pulitzer.
Widener mengatakan, dia tidak tahu bahwa foto tersebut mempunyai dampak sebesar itu sampai keesokan paginya, saat dia tiba di kantor AP dan mendapat pesan dari pemirsa dan jurnalis di seluruh dunia.
Hingga saat ini, tidak diketahui siapa pria yang mencegat tank-tank tersebut dan apa yang terjadi padanya setelah hari itu. Namun ia tetap menjadi simbol kuat dari individu yang menentang kekuasaan negara.
“Saya kira bagi banyak orang ini adalah sesuatu yang bersifat personal, karena pria itu mewakili segala sesuatu dalam hidup kita yang sedang kita perjuangkan, karena kita semua sedang berjuang melawan sesuatu,” kata Widener. “Pria itu benar-benar menjadi simbol bagi banyak orang.”