Sebut Demokrasi dan Hukum Mundur 6 Bulan Terakhir, Mahfud MD: Bukan Karena Saya Kalah
Mahfud MD saat menemui wartawan usai menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional Agama dan Negara dalam Diskursus Keindonesiaan Kontemporer di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Selasa (30/04/2024).
JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Mahfud MD menilai demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia mengalami kemunduran dalam enam bulan terakhir.
Hal tersebut disampaikan Mahfud dalam program "Terus Terang" episode perdana yang ditayangkan di YouTube Mahfud MD Official, Selasa (21/5/2024).
Mulanya Mahfud ditanya oleh seseorang dalam acara tersebut tentang apakah ada perubahan signifikan terhadap demokrasi dan penegakan hukum selama 6 bulan terakhir, sebelum dan sesudah Pemilu 2024.
"Boleh diperdebatkan. Tapi saya melihat terjadi sedikit kemunduran di bidang demokrasi dan penegakan hukum yang sifatnya substansif. Demokrasi formalnya sih terpenuhi semua. Hukum formalnya terpenuhi semua. Tapi substansinya mungkin mutunya menjadi turun dari masa masa sebelumnya," kata Mahfud dalam program tersebut, dikutip pada Rabu (22/5/2024)
"Disclaimer, bukan karena saya kalah gitu ya," tambah mantan cawapres nomor urut 3 ini.
Mahfud sedikit menekankan bahwa ia tidak memiliki alasan apa pun untuk melakukan perlawanan hukum atas kekalahan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, terlebih untuk membatalkan kemenangan pasangan calon lain.
Namun menurutnya, demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia memang mengalami kemunduran terlepas dari kekalahannya dalam Pilpres.
"Sekarang ada yang bilang demokrasi itu transaksional, itu cukup luar biasa. Kemudian mobilisasi masyarakat oleh institusi resmi negara juga tidak bisa disembunyikan. Meskipun hukum formalnya mengatakan itu tidak ada, tetapi masyarakat dan kita semua merasakan itu," jelas Mahfud.
"Saya melihat ada kemunduran demokrasi, pun hukum," katanya lagi.
Mantan Ketua MK ini juga mengaku merasa cemas dengan masa depan hukum di Indonesia.
Sebab, selama enam bulan terakhir, dia melihat potensi bahwa hukum bisa diubah berdasarkan kepentingan sekelompok elite yang sedang berkuasa.
Ia mencontohkan polemik pencalonan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka dalam kontestasi Pilpres 2024 sebagai calon wakil presiden yang dinilai banyak pihak melanggar hukum Konstitusi karena tidak sesuai syarat usia pencalonan presiden dan wakil presiden.
Mantan Menko Polhukam itu khawatir jika hukum yang diubah seenaknya itu lantas menjadi tradisi politik ke depannya.
"Khawatir terjadi kebiasaan bahwa jika sekelompok elite yang sedang memegang sebagian besar kekuasaan itu ingin mencapai sesuatu, lalu dibuat hukum agar keinginan itu tercapai. Sehingga hukum dibuat karena keinginan sekelompok orang yang sedang memegang kekuasaan," ungkapnya.
"Atau, tidak dibuat hukumnya. Hukum yang ada diubah, dicari cara prosedur formal agar hukum bisa diubah, dan dijelaskan secara formal bahwa itu tidak melanggar. Padahal secara substansi dan etika itu bermasalah," kata Mahfud.