Gugat ke MK soal Usia Calon Kepala Daerah, 2 Mahasiswa Ini Minta Jokowi Dipanggil
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep (kanan) saat melakukan pertemuan di kawasan Jalan Braga, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (3/1/2024). Presiden Joko Widodo meyakini PSI bisa mendapatkan kursi di DPR RI pada Pemilu 2024.
JAKARTA, KOMPAS.com - Dua orang mahasiswa, Fahrul Rozi dari UIN Syarif Hidayatullah dan Antony Lee dari Podomoro University, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memanggil Presiden dan DPR dalam mengadili uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (UU Pilkada) yang mereka layangkan.
"Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi wajib memanggil para pihak untuk memberikan keterangannya masing-masing in casu Presiden dan DPR serta Pihak terkait langsung yang memiliki keterkaitan langsung dengan undang-undang dan/atau ketentuan norma yang diuji," ungkap mereka, dikutip dari permohonan yang didaftarkan pada 11 Juni.
Dalam dokumen gugatan itu, keduanya meminta agar MK memberlakukan tafsir yang jelas terhadap syarat usia calon kepala daerah, yakni terhitung saat penetapan calon.
"Sudah benar dan tepat jika Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) menerjemahkan persyaratan usia minimal sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 di atas ke dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020," tulis mereka.
Masalahnya, PKPU itu belakangan dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan Partai Garuda secara kilat.
MA mengubah syarat usia calon dari sebelumnya dihitung saat penetapan pasangan calon menjadi dihitung saat pelantikan calon terpilih. MA menilai bahwa PKPU itu melanggar UU Pilkada.
Putusan ini dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum lantaran jadwal pelantikan kepala daerah terpilih boleh jadi berbeda-beda, meskipun pilkadanya berlangsung serentak pada 27 November nanti.
Jadwal pelantikan itu bisa berlainan tergantung adanya sengketa hasil Pilkada 2024 atau tidak di wilayah tersebut.
Proses sidang sengketa di MK pun akan memakan waktu lebih. Belum lagi, jika memang terdapat pelanggaran atau ketidakabsahan suara, MK dapat memerintahkan pemungutan suara ulang dalam kurun tertentu.
Di sisi lain, hal ini juga menimbulkan potensi masalah seandainya kepala daerah terpilih ternyata belum memenuhi syarat usia pada saat jadwal pelantikan yang bersangkutan.
Fahrul Rozi dan Antony Lee menilai, putusan MA itu justru menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 (juga)!telah menggeser posisi MA dari negative norm (pembatal norma) menjadi positive norm (pembuat norma) yang secara kelembagaan bukanlah kewenangan MA, melainkan kewenangan pembuat legislatif," jelas mereka.
Para pemohon itu pun menegaskan bahwa mereka termasuk sebagai warga negara yang memiliki hak pilih dalam Pilkada Serentak 2024 mendatang.
"Sehingga juga berhak untuk mendapatkan pasangan calon pemimpin yang berkualitas dan berintegritas, serta sesuai dengan ketentuan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang mengandung prinsip kepastian hukum," pungkas keduanya.
Sejauh ini, permohonan Fahrul Rozi dan Antony Lee baru dicatat MK dalam akta pengajuan permohonan pemohon dan belum diregistrasi/mendapatkan nomor perkara.
Sebagai informasi, putusan kontroversial MA dikaitkan dengan keuntungan yang akan didapatkan oleh putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang mulai digadang-gadang maju Pilkada Jakarta 2024.
Jika menggunakan aturan lama, Kaesang tidak memenuhi syarat maju Pilkada 2024 karena masih berusia 29 tahun pada saat penetapan calon dilakukan KPU pada 22 September 2024 mendatang.
Sementara itu, dengan putusan MA, Kaesang bisa saja maju karena pelantikan kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2024 hampir pasti dilakukan pada 2025, setelah ia berulang tahun ke-30 pada 25 Desember 2024 kelak.
Hingga kini, PKPU yang baru tentang pencalonan pilkada masih dalam tahap harmonisasi dengan pemerintah dan belum diundangkan.
KPU memberi isyarat akan menindaklanjuti putusan MA itu dan sedang berkonsultasi serta meminta kepastian kepada pemerintah mengenai jadwal pelantikan kepala daerah terpilih.