DNA Neanderthal Ada di Manusia Modern dan Ditengarai Jadi Penyebab Autisme
Ilustrasi manusia purba Neanderthal hidup di dalam gua menyalakan api untuk menghangatkan tubuh.
KOMPAS.com - Sebuah penelitian baru telah mengungkapkan kemungkinan dari penyebab autisme pada populasi manusia modern.
Autisme sendiri adalah gangguan perilaku dan interaksi sosial akibat kelainan perkembangan saraf otak. Kondisi ini menyebabkan penderitanya kesulitan dalam berkomunikasi secara normal.
Dalam mengungkap kemungkinan penyebab dari autisme tersebut, peneliti melakukan analisis terhadap variasi genetik manusia yang telah dikaitkan dengan perkawinan silang dengan Neanderthal.
Hasilnya, para peneliti menemukan bukti yang menunjukkan bahwa Neanderthal yang sudah lama punah itu mungkin telah memberikan DNA-nya kepada manusia modern yang entah bagaimana dapat berkontribusi terhadap perkembangan autisme, dilansir dari Ancient Origins.
DNA yang dimaksud juga telah dihubungkan dengan sifat-sifat bermasalah lainnya pada manusia, termasuk keterlambatan dan penekanan bahasa serta berbagai jenis cacat intelektual lainnya.
Neanderthal adalah salah satu kerabat dekat manusia modern atau Homo sapiens yang berasal dari zaman Pleistosen, sekitar 600.000 tahun lalu.
Spesimennya ditemukan di Eurasia, dari Eropa Barat hingga Asia barat daya.
Hubungan genetik Neanderthal dengan Homo sapiens
Dalam sebuah artikel yang baru saja diterbitkan di jurnal Molecular Psychiatry, tim ilmuwan dari Clemson University di South Carolina dan Loyola University di New Orleans menjelaskan bagaimana mereka dapat menemukan hubungan genetik yang tak terduga antara Neanderthal atau Homo neanderthalensis dengan Homo sapiens.
Dikutip dari IFL Science, data yang peneliti peroleh menunjukkan adanya pembagian gen yang berhubungan dengan autisme yang muncul dari penelitian DNA Neanderthal pada tiga populasi etnis, yakni:
- Afrika-Amerika
- Orang Amerika kulit putih Hispanik
- Orang Amerika kulit putih non-Hispanik.
Para peneliti mengatakan, temuan tersebut “sangat menunjukkan” bahwa DNA yang diturunkan dari Neanderthal memainkan peran penting dalam kerentanan autisme.
Meskipun kaitannya telah ditemukan, namun sampai saat ini masih belum jelas bagaimana gen tersebut berhubungan dengan autisme. Ini berarti, penelitian apapun yang menjelaskan asal-usulnya dapat dianggap sebagai terobosan.
Kendati demikian, penyebab autisme kemungkinan besar disebabkan oleh kombinasi faktor genetik dan lingkungan.
Sementara itu, kebanyakan manusia modern memiliki gen dari “spesies saudara” sebagai hasil perkawinan silang antara Homo sapiens dan Neanderthal.
Warisan genetik Neanderthal dalam genom manusia
Neanderthal menghilang dari daratan Eurasia sekitar 40.000 tahun yang lalu.
Secara umum, tekanan untuk hidup berdampingan dengan manusia modern yang bermigrasi ke Eurasia dari Afrika dalam jumlah besar sekitar 48.000 tahun yang lalu, pada akhirnya membuat Neanderthal punah.
Studi perbandingan genom manusia dan sampel DNA Neanderthal yang ditemukan dari sisa-sisa kerangka tidak membantah bahwa kedua spesies itu melakukan perkawinan silang.
Tampaknya pertukaran materi genetik antara keduanya terjadi selama beberapa ribu tahun.
Adapun sebagai hasilnya, ada sekitar dua persen dari genom manusia modern keturunan Eropa dan Asia terdiri dari DNA Neanderthal (meskipun beberapa orang Asia Timur memiliki hingga empat persen).
Menariknya, setiap orang memiliki pilihan DNA yang berbeda, dan secara keseluruhan sekitar 20 persen materi genetik yang dimiliki Neanderthal dapat ditemukan pada satu kelompok populasi mausia.
Gen autisme ditemukan dalam 1 persen populasi manusia
Diketahui, varian genetik spesifik yang terkait dengan autisme terdapat pada sekitar satu persen populasi manusia. Akan tetapi, persentase tersebut dapat bervariasi berdasarkan etnis dan warisan genetik.
"Dalam penelitian kami, kami menemukan bahwa orang autis, rata-rata memiliki varian Neanderthal yang lebih langka, bukan berarti mereka memiliki lebih banyak DNA Neanderthal secara umum," kata penulis utama studi baru dan asisten profesor ilmu saraf Universitas Loyola, Emily Casanova kepada publikasi sains PsyPost.
"Itu berarti bahwa tidak semua DNA Neanderthal memengaruhi kerentanan autisme, namun ada sebagian DNA Neanderthal yang berpengaruh," tambahnya.
Dalam penelitian mereka, para ilmuwan dari Universitas Clemson dan Loyola menggunakan teknik yang dikenal sebagai pengurutan genetik eksom.
Teknik tersebut digunakan untuk mencari DNA yang terkait dengan Neanderthal dalam genom sekelompok orang dengan autisme, dan pada saudara kandung mereka yang tidak terpengaruh oleh gangguan tersebut.
Para peneliti kemudian dapat mengidentifikasi 25 gen Neanderthal yang disebut polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) yang secara khusus lebih sering ditemukan pada individu yang didiagnosis autisme.
Beberapa SNP ini cukup langka, yang berarti mereka tidak sering ditemukan dalam genom manusia mana pun.
Kemudian, urutan DNA yang mencurigakan ditemukan paling sering dalam sampel yang diperoleh dari orang Afrika-Amerika, orang Amerika kulit putih Hispanik, dan orang Amerika kulit putih non-Hispanik.
"Saya agak terkejut bahwa banyak varian turunan Neanderthal yang kami temukan yang terkait dengan autisme sangat bervariasi berdasarkan kelompok etnis," ucap Casanova.
Bagian menariknya, DNA tersebut juga jauh lebih umum ditemukan pada individu-individu dari keluarga yang memiliki riwayat autisme yang tinggi.
Temuan ini memberikan bukti konfirmasi yang kuat bahwa sekuens DNA langka yang berasal dari Neanderthal benar-benar merupakan faktor utama dalam perkembangan kondisi neurologis tersebut.