Eks PM Thailand Thaksin Shinawatra Didakwa Menghina Kerajaan
Mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra menyapa para pendukungnya di samping putrinya, Paetongtarn Shinawatra (kanan) dan Pintongtha Kunakornwong (kiri), setelah mendarat di bandara Don Mueang, Bangkok, 22 Agustus 2023. Thaksin Shinawatra membungkuk untuk memberi penghormatan kepada potret raja Thailand saat ia kembali ke Thailand pada Selasa (22/8/2024) setelah 15 tahun berada di pengasingan.
BANGKOK, KOMPAS.com - Jaksa penuntut Thailand pada Selasa (18/6/2024) resmi mendakwa mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra berdasarkan undang-undang penghinaan kerajaan atau Lese Majeste.
Kasus terhadap miliarder berusia 74 tahun itu, yang dua kali terpilih menjadi PM Thailand dan digulingkan saat kudeta militer pada 2006, adalah satu dari empat kasus politik yang sedang dalam proses persidangan.
Thaksin selaku ketua partai Pheu Thai yang memimpin koalisi pemerintahan didakwa menghina raja dalam wawancara dengan media Korea Selatan pada 2015.
"Hari ini jaksa penuntut negara mendakwa Thaksin Shinawatra dan pengadilan menerima kasus tersebut," kata Kejaksaan Agung Thailand, dikutip dari kantor berita AFP.
Thailand memiliki beberapa poin UU pencemaran nama baik kerajaan paling ketat di dunia yang melindungi Raja Maha Vajiralongkorn dan keluarga dekatnya. Setiap dakwaan dapat berujung hukuman penjara 15 tahun.
Namun, menurut para kritikus, UU itu disalahgunakan untuk membungkam perdebatan politik. Penggunaannya melonjak sejak protes antipemerintah di jalanan yang dipimpin kaum muda pada 2020 dan 2021.
Thaksin adalah nama terbesar di antara lebih dari 270 orang yang didakwa berdasarkan UU Lese Majeste sejak demo pecah, menurut Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand yakni kelompok hukum yang menangani banyak kasus.
Dakwaan terhadap Thaksin dijatuhkan pada hari yang sama saat Mahkamah Konstitusi membahas tiga kasus lain yang dapat memicu krisis politik.
Satu kasus menuntut pemecatan Perdana Menteri Srettha Thavisin berdasarkan aturan etika, atas pengangkatan menteri kabinet yang dihukum karena tindak pidana.
Kasus lainnya adalah Komisi Pemilihan Umum yang menuntut pembubaran partai oposisi utama Move Forward Party (MFP).
MFP memenangi mayoritas kursi pada pemilihan umum tahun lalu, tetapi dihalangi membentuk pemerintahan.
Adapun kasus ketiga tentang pemilihan yang sedang berlangsung untuk senat baru apakah sah secara hukum.
Jika pengadilan menghentikan atau bahkan membatalkan pemilu, para senator saat ini—yang ditunjuk oleh junta terakhir—hanya akan melanjutkan pekerjaan mereka untuk sementara waktu.