Berkaca dari Unggahan Viral Pelajar Bercanda Menghina Palestina, Psikolog Ungkap Penyebabnya
Ilustrasi anak remaja yang stres.
KOMPAS.com - Rekaman video yang menampilkan lima pelajar SMP di Jakarta mengumpamakan makanan dan minuman dengan darah, tulang, dan daging anak-anak Palestina viral di media sosial.
Video itu bermula dari Instagram Story @c*******s, Minggu (9/6/24) lalu. Dari platform media sosial tersebut, videonya lantas menyebar ke X (dulunya Twitter) dan ditonton lebih dari 1,5 juta kali.
Selain itu, videonya turut menyebar di aplikasi TikTok sampai grup aplikasi perpesanan, seperti Whatsapp dan Telegram.
Dikutip dari Kompas.com, Selasa (11/6/2024), Kepala Dinas Pelaksana Tugas (Plt) Dinas Pendidikan DKI Jakarta (Disdik) Budi Awaluddin menyebutkan, lima remaja itu berasal dari empat sekolah yang berbeda.
Pihak Dinas Pendidikan (Disdik) pun segera memanggil kelima anak tersebut beserta orangtuanya untuk menjalani pertemuan dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),
Hasil pertemuan menyepakati, mereka akan dibina, diberi perlindungan dari perundungan, serta dilakukan antisipasi supaya kejadian serupa tak terulang di waktu lainnya.
”Mereka wajib lapor ke sekolah selama seminggu. Mereka juga dapat pembinaan dari guru bimbingan konseling, dinas pemberdayaan, perlindungan anak dan pengendalian penduduk, dan lainnya,” kata Budi, dinukil dari Kompas.id. Rabu (12/6/2024).
Saat dikonfirmasi, kelima siswa tersebut mengaku hanya saling bercanda lalu spontan melontarkan perumpamaan tersebut. Mereka tidak bermaksud menghina siapa pun dan sangat menyesalkan kejadian ini.
Lantas, apa tanggapan psikolog menyoroti kasus viral pelajar di Jakarta yang tak sengaja menghina Palestina ini?
Tanggapan psikolog
Psikolog Klinis Anak dan Keluarga dari Universitas Indonesia Anna Surti Ariani mengatakan, video yang viral beredar tersebut menunjukkan kurangnya empati dari sejumlah remaja terhadap apa yang sedang terjadi di Palestina.
"Satu faktornya disebabkan belum ada yang membahas secara mendalam tentang apa yang terjadi dan dampak perang kepada para korban di sana," kata psikolog yang akrab disapa Nina ini.
Nina berpendapat, remaja cenderung memiliki pola pikir yang seakan-akan kebal dari hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Dalam psikologi, kondisi ini disebut dengan personal fable.
“Mengira bahwa sebagai remaja, dirinya tak bisa berbuat apa pun untuk membantu orang-orang Palestina yang dipersepsikan jauh dari dirinya,” jelas dia, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (14/6/2024).
Selain itu, Nina menganggap remaja dengan pemahamannya yang masih cenderung hitam putih juga belum bisa menyadari, perilakunya bisa berdampak kepada orang lain, bahkan dampaknya bisa meluas ketika viral.
Perlu bimbingan yang tepat
Dihubungi secara terpisah, psikolog klinis dari Unika Soegijapranata Semarang Christin Wibhowo menyatakan, pemberian hukuman terhadap remaja yang tak sengaja menghina Palestina tersebut haruslah mendidik.
"Salah satunya bisa konsep reinforcement atau penguatan. Untuk memodifikasi perilaku remaja dan anak dapat menggunakan cara positif dan negatif," terang dia.
Christin mencontoh, penguatan positif dapat berupa pujian dan mengurangi yang tidak disukai anak.
Misalnya, ketika sang anak tidak suka menyapu halaman, tapi ia berhasil berprestasi orangtua bisa memberi keringanan.
“Udah sore ini, kamu tidak usah menyapu halaman, karena kamu nilainya sudah cukup baik,” jelas dia.
Sementara penguatan negatif adalah menambah yang tidak disukai anak. Dalam kasus ini, contohnya orangtua dipanggil pihak sekolah.
Sedangkan Nina berpendapat, memberikan hukuman atau bimbingan pada remaja yang baru melakukan kesalahan dengan terlalu banyak memberikan nasihat atau larangan juga tidak mungkin.
"Orang dewasa perlu lebih banyak memberikan kesempatan remaja untuk mengeksplorasi dunianya sambil mendiskusikan detail tentang apa yang terjadi disekitar," kata Nina.
Menanggapi hukuman yang diberikan oleh pihak sekolah dan Dinas Pendidikan, Nina menilai hukuman tersebut sudah cukup baik tetapi perlu diimbangi dengan pengembangan diri remaja dan perbaikan lingkungan sekitar.
“Hukuman perlu dijalankan, namun pengembangan diri buat si remaja, juga pengembangan lingkungannya, perlu juga dilakukan,” tegas Nina.