Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi, Kilas Balik "Cicak Vs Buaya Jilid 2"
Terdakwa dugaan korupsi dan pencucian uang proyek simulator ujian memperoleh surat izin mengemudi (SIM), Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo meninggalkan ruang sidang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (3/9/2013). Ia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara, denda Rp. 500 juta, subsider enam bulan kurungan penjara. Ia menyatakan banding.
JAKARTA, KOMPAS.com - Terpidana kasus korupsi proyek simulator surat izin mengemudi (SIM) Korlantas Polri, Irjen Pol (Purn) Djoko Susilo mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kedua ke Mahkamah Agung (MA).
Peninjauan kembali itu teregister dengan Nomor Perkara 756 PK/Pid.Sus/2024 yang masuk pada Selasa, 30 April 2024.
Kasus yang menjerat Djoko Susilo ini sempat ramai karena menimbulkan ketegangan dalam hubungan dua penegak hukum, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian.
Sebelumnya, ketegangan antara dua institusi ini sudah terjadi pada 2009. Semua berawal dari isu penyadapan oleh KPK terhadap Komjen Susno Duadji yang saat itu menjabat sebagai Kabareskrim Polri.
Ketegangan pada tahun 2009 itu bahkan sampai mendapatkan julukan "Cicak vs Buaya". Sebab, KPK diibaratkan cicak yang kecil. Sedangkan Kepolisian adalah buaya karena besar.
Penetapan Djoko Susilo sebagai tersangka oleh KPK pada 27 Juli 2012 nampaknya membuat Kepolisian kembali meradang sehingga melakukan serangan balik. Oleh karenanya dianggap sebagai jilid kedua dari "Cicak Vs Buaya".
Pada 5 Oktober 2012, puluhan sejumlah aparat kepolisian menggeruduk Gedung KPK untuk menangkap salah satu penyidik KPK, Novel Baswedan, atas tuduhan melakukan tindakan penganiayaan yang terjadi delapan tahun sebelumnya.
Saat itu, puluhan aparat kepolisian yang berpakaian sipil dan berseragam provos datang sekitar pukul 22.00 WIB. Kemudian, mereka menyebar di sekitar gedung KPK.
Novel Baswedan saat itu diketahui adalah penyidik utama yang menangani kasus korupsi proyek simulator yang menjerat Djoko Susilo.
Menariknya, penggerudukan itu terjadi usai KPK melakukan penggeledahan di Gedung Korlantas Polri dan memeriksa Djoko Susilo.
Namun, mereka harus pulang dengan tangan hampa karena tidak berhasil membawa Novel Baswedan.
Belakangan diketahui bahwa Novel Baswedan ditetapkan tersangka oleh Polres Bengkulu karena telah menganiaya seorang pencuri sarang burung walet hingga tewas pada 2004.
Peristiwa penggerudukan KPK ini sempat membuat aktivis antikorupsi, tokoh masyarakat hingga publik figur meradang karena dinilai sebagai perlawanan terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Oleh karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya turun tangan untuk menghentikan ketegangan antara dua institusi tersebut.
SBY menilai proses penetapan Novel sebagai tersangka tidak tepat waktu dan caranya. Oleh karena itu, dia meminta Kapolri saat itu, Jenderal Timur Pradopo untuk menghentikan kasus tersebut demi meredakan ketegangan antara kedua institusi penegak hukum.
Namun, kasus Novel kembali dibuka pada Januari 2015. Kepolisian saat itu mengatakan, ada desakan dari keluarga korban sehingga penyidikan kembali dilakukan.
Hingga akhirnya, Novel Baswedan ditangkap di kediamannya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara pada 1 Mei 2025, lantaran dua kali tidak memenuhi panggilan penyidik Bareskrim Polri.
Kasus Djoko Susilo
Sementara itu, kasus Djoko Susilo tetap berlanjut hingga dibawa ke hadapan persidangan.
Pada September 2013, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan terhadap Djoko Susilo.
Sebab, Jenderal bintang dua polri ini dinilai terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang untuk periode 2003-2010 dan 2010-2012.
Tidak terima, Djoko mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Namun, hukumannya justru diperberat menjadi 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Selain itu, dia juga diperintahkan membayar uang pengganti Rp 32 miliar subsider lima tahun penjara.
Kemudian, Djoko Susilo mengajukan kasasi ke MA pada 2014 lalu. Tetapi, permohonan itu ditolak. MA menguatkan hukuman yang dijatuhkan PT DKI Jakarta.
Djoko Susilo kemudian mengajukan PK. Kali ini, MA mengabulkan sebagian permohonannya. Hakim menyatakan, kelebihan hasil lelang dan barang bukti yang belum dilelang harus dikembalikan kepada Djoko.
MA mengirim surat Nomor 34/WK.MA.Y/VI/2019 kepada pimpinan KPK pada 19 Juni 2019 perihal pembahasan permohonan fatwa atas uang pengganti perkara Djoko Susilo.
Dalam surat itu, MA menyebut harta benda Djoko Susilo yang telah disita dan dilelang dirampas untuk negara. Namun, setelah dilelang nilainya melebihi uang pengganti Rp 32 miliar.