Perang Israel-Hezbollah Kali Ini Mungkin Akan Jauh Lebih Berbahaya
Tentara Hizbullah atau Hezbollah yang tengah berjaga dan menggelar latihan di wilayah Lebanon selatan pada 21 Mei 2023.
“KITA dapat menjerumuskan Lebanon sepenuhnya ke dalam kegelapan dan menghancurkan kekuatan Hezbollah dalam hitungan hari,” kata mantan anggota kabinet perang Israel, Benny Gantz, dalam sebuah konferensi di Universitas Reichman di Herzliya, Israel, pada Selasa (25/6/2024).
Ucapan Gantz tak sepenuhnya salah. Jaringan listrik yang sudah tak stabil selama puluhan tahun dan keruntuhan ekonomi membuat Lebanon menjadi sangat rawan hancur. Beberapa serangan udara mungkin dapat menghabisi Lebanon dengan mudah jika diarahkan dengan baik.
Walau begitu, menghancurkan kekuatan Hezbollah dalam hitungan hari adalah tugas yang jauh lebih sulit.
Israel telah merencanakan pertempuran ulang sejak perang yang tidak meyakinkan dengan Hezbollah tahun 2006. Bersamaan itu, Hezbollah juga telah lama mempersiapkan diri untuk berperang kembali.
Menurut perkiraan Israel, persenjataan Hezbollah saat ini telah mencakup sedikitnya 150.000 rudal dan roket. Israel kemudian juga memperkirakan bahwa kelompok itu telah menembakkan sekitar 5.000 rudal sejak bulan Oktober tahun lalu. Hal itu berarti sebagian besar persenjataannya masih utuh.
Tak hanya berjumlah besar, persenjataan Hezbollah juga canggih. CNN melaporkan bahwa para pejabat Israel sangat terkejut dengan kecanggihan dalam serangan-serangan kelompok militan tersebut.
Hal itu termasuk serangan tepat sasaran sistematis terhadap berbagai pos pengintaian Israel di sepanjang perbatasan, penembakan jatuh pesawat nirawak Israel, dan serangan terhadap baterai Iron Dome serta pertahanan anti-pesawat nirawak Israel.
Namun, mungkin kejutan terbesar bagi Israel adalah rekaman berdurasi sembilan menit pesawat nirawak yang dipublikasikan Hezbollah secara daring yang menampilkan infrastruktur sipil dan militer yang sangat sensitif di dan sekitar kota Haifa di Israel utara.
Terlatih dan Disiplin
Hezbollah mungkin dapat mengerahkan sekitar 40.000 hingga 50.000 petempur. Bahkan, pemimpin Hezbollah, Hassan Nasrallah berkata bahwa mereka bisa mengirim 100.000 petempur. Tak hanya itu, banyak dari mereka juga telah memperoleh pengalaman tempur saat mereka berperang bersama pasukan pemerintah Suriah dalam perang saudara di negara itu.
Hezbollah secara keseluruhan sangat terlatih dan disiplin, tak seperti banyak kelompok gerilya lainnya.
Ben Wedeman, koresponden CNN bercerita bahwa ia pernah bertemu dengan beberapa tentara Hezbollah selama perang tahun 2006. Wedeman mencatat bagaimana para tentara tersebut bersikap sangat sopan tetapi tegas. Tanpa sikap sombong, mereka juga bersikeras agar Wedeman pergi demi keselamatan dirinya. Mereka tidak akan menerima penolakan.
Api dan Darah
Awal tahun ini, Universitas Reichman mengeluarkan laporan berjudul “Api dan Darah: Realitas Mengerikan yang Dihadapi Israel Dalam Perang dengan Hezbollah.” Laporan tersebut memaparkan skenario suram di mana kelompok sekutu Iran itu akan menembakkan 2.500 hingga 3.000 roket dan rudal per hari selama berminggu-minggu, menargetkan lokasi militer Israel serta kota-kota padat penduduk.
Selama perang 34 hari di tahun 2006, Hezbollah diperkirakan telah menembakkan sekitar 4.000 roket – rata-rata 117 roket per hari. Jika perang antar keduanya pecah sekarang, Hezbollah mungkin akan menyerang Bandara Internasional Ben Gurion di Tel Aviv, sama seperti bagaimana Israel mengebom Bandara Internasional Rafic Hariri di Beirut pada 13 Juli 2006.
Ada pula kemungkinan Israel akan kembali menyerang lokasi yang sama jika perang antar keduanya pecah kembali.
Selain itu, ada kemungkinan bahwa rudal Hezbollah akan mencapai lebih dalam ke Israel dibandingkan dengan tahun 2006. Pada tahun 2006, Haifa, kota terbesar ketiga di Israel, masuk ke dalam jangkauan rudal Hezbollah.
Pergeseran Keseimbangan Strategis
Keseimbangan strategis yang selama ini menguntungkan Israel mulai berubah. Musuh-musuhnya bukan lagi rezim Arab yang korup dan tidak kompeten, melainkan serangkaian aktor non-negara mulai dari Hezbollah hingga Hamas, Jihad Islam, Houthi, serta milisi di Irak dan Suriah.
Karena dukungan Amerika Serikat (AS) terhadap Israel, semua pemain itu juga membidik kepentingan AS dan Barat di Timur Tengah.
Kini, dengan bantuan Iran, Houthi di Yaman mampu menembakkan rudal balistik ke Israel. Houthi juga terus menargetkan pengiriman di Laut Merah terlepas dari adanya armada yang dipimpin oleh AS di sekitar sana.
Milisi yang didukung Iran di Irak dan Suriah sebagian besar telah menahan diri sejak serangkaian serangan AS pasca serangan pesawat nirawak menewaskan tiga tentara AS di Yordania.
Namun, hal itu juga dapat berubah jika Israel dan Hezbollah berperang.
Baru-baru ini, Qais Al-Khazali, pemimpin milisi Irak yang didukung Iran, Asa’ib Ahl Al-Haq, memperingatkan bahwa jika AS mendukung serangan Israel terhadap Lebanon, “maka Amerika harus tahu bahwa hal itu akan membahayakan semua kepentingannya di kawasan tersebut, khususnya di Irak, dan menjadikan mereka sebagai sasaran.”
Mengambil Resiko
Kemudian ada Iran. Secara tradisional, Teheran membiarkan pihak lain untuk bertempur dan tetap berada di belakang layar. Namun, hal itu berubah pada April lalu ketika mereka melancarkan serangan balasan atas serangan Israel sebelumnya terhadap kompleks diplomatik Iran di Damaskus.
Jika Hezbollah, sekutu regional utama Iran, diserang Israel, dan memang “dihancurkan” oleh Israel seperti yang Gantz katakan, Iran kemungkinan akan memberikan respons.
Iran dapat saja memerintahkan sekutunya untuk mengambil resiko dan menyerang kepentingan AS serta Israel sesuka hati. Namun permasalahannya, Iran berada di Selat Hormuz, titik masuk ke Teluk Persia. Jika terjadi konflik besar, Iran mungkin saja akan memblokir selat tersebut, sebuah tindakan yang akan membuat harga minyak global meroket.
Sejak Oktober, ketegangan di perbatasan Lebanon-Israel telah mengalami fluktuasi. Namun, ketegangan tersebut kian meningkat dalam beberapa minggu terakhir, dan perang tampaknya semakin mungkin terjadi. Retorika di kedua belah pihak semakin memanas.
Jerman, Swedia, Kuwait, Belanda, dan negara-negara lain menyerukan kepada warga negara mereka untuk segera meninggalkan Lebanon. Jika pernah ada resiko perang regional di Timur Tengah, maka itu bisa terjadi sekarang.