Bertanya kepada warga Rohingya di Bangladesh - Mengapa mengungsi dari Myanmar hingga tiba di Indonesia?

Rohima Khatun langsung bersembunyi di dalam rumah ketika helikopter militer Myanmar mulai menjatuhkan mortir ke atas rumah penduduk pada pertengahan 2017 silam.

Rohima dan keluarganya tinggal di Kha Maung Seik, sebuah desa di Maungdaw, Negara Bagian Rakhine, yang lebih dikenal dengan nama Foira Bazar.

“Rumah-rumah terbakar akibat tembakan mortir dari helikopter. Anak-anak pun tewas di sana,” tutur Rohima Khatun, kepada wartawan Rino Abonita yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, dari Cox’s Bazar, Bangladesh, Maret silam.

Menyaksikan banyak anak menjadi korban dan penduduk desa melarikan diri dari serangan mortir, Rohima khawatir helikopter itu akan menyasar rumahnya.

“Maka kami memutuskan untuk ikut mengungsi.”

Rohima dan ratusan ribu orang Rohingya lainnya mengungsi dari Myanmar menuju Bangladesh.

Mereka ditempatkan di sejumlah kamp pengungsi dengan infrastruktur rentan, minim akses pendidikan, penuh pertikaian antarkelompok pascakudeta militer, dan rawan bencana alam.

Kondisi demikian mendorong sejumlah pengungsi mencari penghidupan lebih baik – yang kemudian menjadi alat bagi jaringan penyelundup manusia.

Ini adalah kisah para pengungsi Rohingya di Bangladesh sebagaimana dilaporkan wartawan Rino Bonita yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Cerita Rohima kabur dari Myanmar menuju Bangladesh

Rohima Khatun dan keluarganya meninggalkan Foira Bazar pada 25 Agustus 2017, beberapa hari setelah perayaan Iduladha. Tak satu pun harta benda mereka bawa karena berharap mereka akan kembali ke rumah setelah serangan berakhir.

Namun, harapan itu sirna ketika helikopter menjatuhkan mortir ke atas rumah mereka.

Demi menghindari pasukan militer Myanmar, Rohima Khatun berjalan sambil menyapih dua anaknya. Salah satu dari mereka baru berusia 20 hari kala itu.

Kerepotan yang dialami Rohima membawa dua anak balita di tengah pelarian, diperparah dengan kondisi minimnya bahan makanan untuk asupan gizi anak-anaknya.

Kerabat Rohima harus membopong kakeknya yang kesulitan berjalan secara bergantian. Sang kakek adalah sosok yang merawat Rohima setelah ayahnya meninggal dunia beberapa tahun sebelumnya.

Rombongan kerabat Rohima tergopoh-gopoh menyusul rombongan Rohima yang jauh lebih dulu di depan. Karena harus menggendong orang tua yang lumpuh, rombongan itu tertinggal jauh dan tak leluasa bersembunyi dari kejaran pasukan militer.

Namun, keberadaan mereka diendus prajurit senapan runduk Myanmar yang berjaga 24 jam. Mereka langsung melepaskan tembakan dari pos-pos militer di atas gunung.

Nahas, tembakan pasukan militer bersarang ke tubuh kakek Rohima.

“Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri,” tuturnya. Rombongan kerabat Rohima lalu berhamburan melarikan diri.

Sementara rombongan Rohima saat itu telah sampai di seberang, bersembunyi di antara rimbunan hutan di balik pagar kawat berduri yang membatasi Myanmar dan Bangladesh.

“Kami dapat melihat tentara-tentara itu, tetapi mereka tidak dapat melihat kami karena kami bersembunyi di dalam hutan,” tutur Rohima.

Pasukan Myanmar sempat menunggu beberapa saat untuk memantau kondisi sekitar – berjaga jika ada orang yang mendatangi jenazah kakek Rohima yang terbujur kaku tersebut. Namun kemudian, mereka beranjak pergi.

Setelah merasa situasi telah aman, para kerabat Rohima menghampiri jenazah orang tua itu kemudian menggotongnya bersama mereka hingga melewati wilayah Bangladesh.

“Kemudian kami menunaikan salat jenazah bersama-sama dan memakamkannya di gunung,” ujar Rohima Khatun.

“Kami tidak tahu nama tempat itu karena kami belum pernah melihat tempat itu sepanjang hidup kami,” tambah Rohima tentang lokasi kuburan kakeknya.

Setelah perjalanan selama berhari-hari, Rohima Khatun dan keluarganya tiba di sebuah desa dan menginap di sana selama lima hari di sana.

Mereka tidur di atas tanah lapang dengan makanan dan pakaian seadanya yang diberikan oleh penduduk setempat sebelum akhirnya mendapat kabar tentang adanya kamp pengungsian di Kutupalong yang terletak di distrik Cox’s Bazar, Bangladesh.

bertanya kepada warga rohingya di bangladesh - mengapa mengungsi dari myanmar hingga tiba di indonesia?

Salah satu desa yang dilalap api.

Setengah abad gelombang pengungsian

Rohima dan keluarganya tak sendirian. Kala itu, bersama dengan mereka ada banyak etnis Rohingya lain yang demi menghindari ancaman persekusi di Myanmar, eksodus dari Negara Bagian Rakhine.

Etnis Rohingya disebut telah menempati Myanmar selama berabad-abad. Namun, sejak Myanmar merdeka pada akhir 1940-an, mereka mulai menjadi target persekusi.

Myanmar mulai memberlakukan sistem apartheid yang menempatkan etnis Rohingya sebagai kelompok non-warga negara.

Diskriminasi berbalut kekerasan yang berlangsung secara sistematis itu telah menciptakan rangkaian gelombang pengungsian menuju negara tetangga yakni Bangladesh selama hampir 50 tahun terakhir.

Pada 1978 Myanmar mengusir penduduk Rohingya melalui Operasi Nagamin, yang dilanjutkan dengan Operasi Pyi Thayya pada 1992.

Lalu pada 2017 silam, terjadi gelombang pengungsian besar-besaran karena eskalasi kekerasan dan “operasi pembersihan” oleh militer Myanmar.

Sekitar 700.000 Rohingya dilaporkan melarikan diri dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida oleh militer Myanmar pada tahun itu, menurut laporan Human Rights Watch.

Laporan yang sama mengungkap sekitar 600.000 orang Rohingya tetap berada di Negara Bagian Rakhine terkurung di dalam desa serta kamp-kamp kumuh, dan hidup di bawah kekangan sistem apartheid.

Sementara, laporan badan pengungsi dunia UNHCR menyebut rumah-rumah penduduk militer Rohingya di Rakhine ludes terbakar, sementara ribuan keluarga terbunuh dan terpisah dari sanak saudaranya karena pelanggaran hak asasi manusia yang masif.

Persekusi yang dialami etnis Rohingya membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut mereka sebagai etnis minoritas paling “teraniaya”.

Di Bangladesh, para pengungsi ditempatkan di sejumlah kamp pengungsi yang berlokasi di Cox’s Bazar. Salah satunya Kutapalong yang terletak di pesisir selatan Bangladesh.

Sejak 2017, kamp Kutapalong diisi oleh hampir satu juta pengungsi dengan luas area sekitar 13 kilometer persegi, menjadikannya sebagai kamp pengungsi terbesar di dunia.

Kutupalong bukan hanya kamp terbesar di dunia, tetapi juga kamp yang paling padat penduduknya dan telah melampaui kapasitasnya. Kamp itu dibagi menjadi 25 blok, menurut data komisi bantuan dan repatriasi pengungsi Bangladesh pada 2020.

Ceceran darah dan mayat-mayat di sawah

Sudah tujuh tahun lamanya Rofika, 19 tahun, tinggal di kamp 16 di Kutupalong, Cox’s Bazar.

Ketika masih muda belia, dia harus mengalami pengalaman traumatis ketika pasukan militer Myanmar menembak kaki ayahnya di tengah pelarian mereka.

“Kami berada di depan dan ayah saya berada di belakang, sehingga kaki ayah saya terkena peluru dari belakang,” kata Rofika.

“Kami semua mulai berteriak, menangis, dan memeluknya,” tambah Rofika.

Dengan pertolongan penduduk setempat, ayah Rofika berhasil dibopong ke sebuah desa bernama Fathia di Myanmar, sebelum tiba di Bangladesh. Ayah Rofika kini terpaksa berjalan dengan bantuan penyangga.

Sama seperti Rohima dan Rofika, Shohida melarikan diri dari Rakhine pada 2017 silam.

Perempuan dari Desa Narain Chaung, Kota Buthidaung, itu mengenang kala itu rumah-rumah warga hangus terbakar dan asap tampak membumbung tinggi di segala penjuru.

Saat itulah, Shohida bersama ibu dan saudaranya secara bergantian menggendong nenek mereka yang buta demi mencari perlindungan.

“Memakan waktu 14 hari dari rumah saya untuk mencapai Bangladesh. Kami bermalam di mana pun kami sampai, dan bekal kami tidak banyak, kami tidak dapat membawa makanan yang cukup karena kami harus menggendong nenek,” kisah Shohida.

Sepanjang perjalanan, mereka mendapati ceceran darah dan mayat tergeletak di sawah-sawah. Itu membuat mereka takut untuk menghentikan langkah mereka.

“Kami menyeberangi sungai pada tengah malam dan mencapai Bangladesh,” kata Shohida.

Mereka tiba di Bangladesh pada 12 September 2017 dan sempat menginap selama dua hari di desa terdekat sebelum dipindahkan ke kamp pengungsian di Kutupalong oleh otoritas setempat.

Shohida dan keluarganya sempat ditempatkan di kamp pengungsi di Balukhali – letaknya berdekatan dengan Kutapalong – selama lebih kurang enam bulan sebelum dipindahkan ke Kutupalong.

“Saya belum menikah sewaktu di Myanmar, saya menikah di Kamp 16 setelah tiba ke sini. Saya tinggal di sini dan sekarang saya memiliki dua anak, mertua, dan semua orang sekarang hidup dalam satu keluarga,” sebut Shohida.

‘Kami takut tembakan itu akan mengenai kami’

Betapapun, kehidupan di kamp pengungsian ternyata tidak baik-baik saja.

Salah satu kamp di kawasan Balukhali – yang pernah ditinggali oleh Shohida – dilanda kebakaran dahsyat pada 5 Maret 2023 silam, mengakibatkan sedikitnya 5.000 pengungsi kehilangan tempat tinggal.

Sekitar 2.800 rumah serta 155 fasilitas seperti klinik kesehatan, sekolah dan fasilitas umum lainnya hangus terbakar dalam insiden kebakaran yang berlangsung tiga jam itu.

Beberapa bulan kemudian, pada 7 Januari silam, kebakaran kembali terjadi dan menghanguskan Kamp 5, salah satu dari 33 kamp yang ada di Cox’s Bazar.

Investigasi yang dilakukan otoritas setempat mengungkap adanya indikasi “sabotase terencana” yang dilancarkan kelompok yang berseteru – yang memperebutkan kendali atas wilayah kamp.

Hasil investigasi tidak secara spesifik menyebutkan kelompok yang diduga bertanggung jawab atas insiden ini, namun kebakaran yang terjadi pada 5 Maret 2023 terjadi dua pekan setelah pertempuran antara Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) dengan Rohingya Solidarity Organisation (RSO).

Dituturkan oleh Shohida, kendati tidak menargetkan penduduk perang antarkelompok membuat orang-orang takut akan menjadi sasaran peluru buta.

“Mereka membakar shelter dan membunuh satu sama lain. Sangat menakutkan jika shelter tersebut dibakar karena kami mempunyai anak,” keluh Shohida.

Kendati kehidupan di kamp pengungsi lebih damai ketimbang di kampung halaman, menurut Rofika, ia kini dihadapkan oleh masalah baru karena “tidak tahu kapan dan siapa yang akan datang untuk membakar kamp-kamp kami”

“Jadi kami sebenarnya tidak aman di sini. Kami takut jika malam hari tiba, suara tembakan itu terdengar sampai ke kamp 16,” ucap Rofika. Nada bicaranya terdengar gusar.

Perempuan itu mengaku selalu khawatir dan tak bisa tidur cepat di malam hari lantaran suara tembakan membuatnya takut.

“Kami takut tembakan itu akan mengenai kami,” tutur Rofika.

Rofika sempat mendengar cerita bahwa seorang perempuan di Kamp 15, Jamtoli, tewas tertembak peluru nyasar ketika dua kelompok bersenjata – ARSA atau Harakah al-Yaqin dan RSO – bertempur di kawasan itu. 19

“Siang malam kedua kelompok ini saling bertempur dan saling bunuh satu sama lain. Jadi saat mereka saling menembak itulah perempuan tadi tertembak secara tidak sengaja,” ujar Rofika.

Sejak merdeka dari penjajahan Inggris pada 1948, konflik di Myanmar berlangsung internal. Ada banyak kelompok etnis menggelar pemberontakan demi menentukan nasib sendiri.

Di Rakhine, pengakuan kelompok Mujahid Rohingya atas pemerintahan Myanmar menyebabkan lahirnya Mayu Frontier Administration (MFA) atau Distrik Semenanjung Mayu pada 1 Mei 1961 di Rakhine.

MFA meliputi Maungdaw, Buthidaung, dan bagian barat Rathedaung. Setahun kemudian, terjadi kudeta militer yang mengakibatkan kekuasaan administratif MFA dihapuskan.

Imbasnya, wilayah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan MFA ditempatkan di bawah Kementerian Dalam Negeri pada 1 Februari 1964 oleh “Dewan Revolusi” pimpinan Kepala Staf Jenderal Ne Win – yang mengkudeta rezim sebelumnya pada Maret 1962.

Tak puas dengan kebijakan rezim, sejumlah kelompok perlawanan etnis Rohingya terbentuk. Selain RSO dan ARSA, ada Rohingya Independence Force, Arakan Rohingya Islamic Front, Rohingya Solidarity Alliance, dan Rohingya Patriotic Front.

Saat ini, selain RSO dan RSA, terdapat AA atau Arakan Army yang telah berganti nama jadi Arakha Army.

Kelompok ini merupakan sayap militer United League of Arakan (ULA) yang didirikan oleh mantan pejabat pemerintah Myanmar bernama Twan Mrat Naing pada 2009 yang bertujuan melawan militer Myanmar.

AA atau Arakha Army dimotori oleh orang-orang dari kalangan beragama Buddha, tetapi mengeklaim gerakan mereka bersifat eksklusif dan ingin merangkul semua pihak di dalam revolusi melawan status quo termasuk penduduk Rohingya.

Direkrut paksa oleh ARSA

Kelompok milisi yang berseteru tak hanya berebut kendali atas kamp pengungsi. Mereka juga kerap merekrut pengungsi untuk menjadi anggota mereka, kerap kali secara paksa.

Ini dialami Feruzul Haque, pengungsi Rohingya yang meninggalkan Cox’s Bazar melalui campur tangan jaringan penyelundup manusia. Feruzul kini menetap di Aceh.

Pada suatu malam, sekelompok pria bejumlah sekitar 10-12 orang mendobrak rumahnya di Kutapalong. Mereka lalu mengikat ayahnya, Jamil Ahmed, dengan tali di depan anak-anak dan istrinya.

“Mereka datang ke kamp sekitar tengah malam dan kemudian masuk ke rumah kami setelah itu melakukan kekerasan terhadap ayah saya tanpa alasan apa pun,” ujar Feruzul Haque kepada wartawan di Aceh, Rino Abonita, di Banda Aceh, Maret lalu.

Feruzul mengaku tak tahu pasti motif serangan itu, tapi dia menduga itu karena ayahnya terlibat dalam gerakan membela hak kaum Rohingya.

“Mereka datang dengan senjata api, tetapi mereka tidak menembak [ayah saya] karena mereka mengancam menggunakan pisau.

“Mereka mengancam kalau kami teriak maka mereka akan menembak kami dan membakar rumah kami, makanya kami diam saja,” ujarnya.

Mereka menusuk ayahnya dengan pisau, serta memukul dan menendang ayahnya secara bergantian. Setelah puas, mereka meninggalkan rumah Feruzul Haque.

Feruzul langsung membawa ayahnya ke rumah sakit, namun dokter di rumah sakit itu menyerah lantaran kondisinya kritis.

“Kemudian kami membawa ayah saya ke rumah sakit swasta di Chittagong, Bangladesh. Dua hari kemudian ayah saya meninggal di rumah sakit itu."

Lebih lanjut, Feruzul mengaku bahwa anggota ARSA dan Arakha Army sempat “mendekati dan memaksa” untuk bergabung dengan mereka.

"Saya menolak dan saya mengabaikan permintaan mereka. Saya mengatakan, saya tidak bisa ikut bergabung karena kalian tahu saya tidak mempunyai kemampuan apa pun,” ujarnya.

Melihat kekerasan yang sering dipertontonkan baik melalui pertarungan antarkelompok hingga pendekatan penuh pemaksaan, Feruzul Haque ragu jika kelompok-kelompok ini benar-benar bekerja untuk memperjuangkan kemerdekaan Rohingya di Myanmar.

Apalagi nyawa ayahnya juga direnggut oleh kelompok itu.

“Secara politik mereka tidak melakukan apa pun untuk Rohingya. Mereka hanya ingin menghancurkan kami. Sejumlah pihak serta kelompok kriminal berencana untuk menghancurkan kami,” ungkap Feruzul.

Menurut Direktur Asia Justice And Rights (AJAR), Galuh Wandita, situasi perang saudara yang melibatkan sejumlah kelompok milisu dengan tentara pemerintah yang sah di Myanmar menempatkan kelompok Rohingya dalam keadaaan yang tidak diuntungkan.

“Bahkan dua minggu terakhir ini konflik semakin memanas, ada orang-orang Rohingya yang terjepit di tengah dan situasi semakin tegang di Rakhine,” kata Galuh Wandita, dihubungi melalui telepon seluler, 28 Mei 2024.

‘Banjir membawa kesengsaraan baru bagi pengungsi Rohingya’

Selain perang antarkelompok yang berlangsung tiap malam, penduduk kamp pengungsi memiliki masalah lain yang berasal dari alam.

Sejak 2018 banjir dan tanah longsor kerap melanda kamp pengungsi.

Sebuah laporan badan pengungsi di bawah PBB (UNHCR) pada 2021 mengangkat judul ‘Banjir membawa kesengsaraan baru bagi pengungsi Rohingya di kamp-kamp Bangladesh!’.

Lebih dari 21.000 pengungsi Rohingya terdampak banjir bandang dan tanah longsor dalam beberapa hari kala itu, kata laporan tersebut.

Kemudian, pada Agustus 2023 lalu International Rescue Committee menyebut lebih dari 15.000 pengungsi Rohingya dan 300.000 komunitas lokal mengungsi akibat diterjang oleh banjir bandang yang terjadi di Cox's Bazar.

Sebanyak empat warga, termasuk dua di antaranya pengungsi Rohingya, dilaporkan tewas.

Mengapa bencana banjir dan tanah longsor sering melanda tempat itu?

Cox’s Bazar dulunya merupakan hutan yang dibabat oleh pemerintah Bangladesh demi pembangunan kamp. Alhasil air hujan dengan mudah menerobos kawasan itu tanpa penahan.

Kondisi itu diperparah oleh infrastruktur kamp yang rentan.

Rata-rata selter pengungsi Rohingya di kamp Kutupalong-Balukhali berdiri di atas tanah yang tidak rata. Bahkan, sejumlah selter didirikan di atas tanah curam yang menyembul di atas tebing dan bukit.

Tidak hanya itu, selter pengungsi terbuat dari anyaman bambu yang dibalut oleh terpal.

Sebagian pengungsi yang memiliki uang dapat melapisi lantai mereka dengan semen. Namun, pengungsi lainnya harus tidur di atas alas dari tanah liat.

“...itu sebabnya jika hujan lebat disertai angin topan dan badai petir terjadi, tempat penampungan kami akan kebanjiran, mengalami kerusakan serta pecah, terutama karena tanah longsor. Banyak perempuan dan anak-anak yang meninggal karena tanah longsor,” kata Feruzul Haque.

Sebaliknya, ketika musim panas tiba situasi di maka, “…panas yang tidak tertahankan akan datang mendera karena kamp terbuat dari terpal,” begitu kata Rohima Khatun.

Siasat menuju Indonesia

Kemiskinan, ketegangan akibat bentrokan antarkelompok, hingga ancaman bencana alam yang mengintai di kamp pengungsi mendorong anak muda seperti Feruzul Haque untuk melakukan sesuatu demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Apalagi ibunya, Modina Ul-Shajida, membawa tumor setiap hari di ketiaknya sejak dari Myanmar. Sang bunda juga mengidap hepatitis C atau peradangan hati.

Feruzul kemudian merancang siasat.

Suatu hari Feruzul Haque meminta izin kepada ibunya untuk pergi ke Cox’s Bazar untuk bekerja.

Cox’s Bazar dapat ditempuh sekitar 40 menit menggunakan kendaraan darat dari kamp Kutupalong.

Nyatanya, pemuda itu tak pulang ke rumah selama berhari-hari.

Ketika Modina Ul-Shajida menghubungi anak laki-lakinya tersebut melalui telepon ternyata dia sedang berada di atas perahu bersama puluhan orang lainnya.

Kabar bahwa salah satu putranya sedang mengarungi lautan membuatnya terkena serangan jantung dan stroke sehingga harus dirawat di rumah sakit secara intensif selama satu minggu.

“Dia tidak memberitahuku bahwa dia akan pergi ke Indonesia. Dia bilang ingin pergi ke Cox’s Bazar,” ujar Modina Ul-Shajida, saat ditemui di rumahnya di salah satu kamp di Kutupalong oleh wartawan Rino Abonita, Maret silam.

Feruzul Haque mengatakan bahwa dia membayar uang kepada agen penyelundup manusia sebesar 80.000 Taka Bangladesh atau setara dengan Rp11 juta. Nilai nominal itu ditawar dari harga awal, yaitu 150.000 Taka Bangladesh, setara Rp20 juta.

Feruzul mengaku mendapatkan uang dengan cara meminta kepada sejumlah sanak-saudaranya di kamp pengungsi.

Para penyelundup manusia, menurut Feruzul Haque, merupakan warga negara Bangladesh yang sengaja datang ke selter-selter para pengungsi melalui agen-agen mereka di kamp.

Mereka ‘menjual mimpi’ kepada para pengungsi dengan bercerita tentang kesempatan hidup yang lebih baik di negara-negara seberang laut.

“Mereka [para agen] menjelaskan kepada orang-orang bahwa jika mereka berniat pergi ke tempat seperti ke Indonesia atau Malaysia atau di suatu tempat maka mereka akan tiba di sana, mereka akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik,” ungkap Feruzul Haque.

Feruzul mengaku sejak awal ingin ke Indonesia karena dirinya mendengar ada banyak kesempatan bagus untuk pendidikannya.

“Saya ingin ke Indonesia demi memperoleh pendidikan tinggi,” tegasnya.

Motivasi Feruzul berbeda dengan pengungsi Rohingya kebanyakan yang bertekad ke Malaysia, namun menggunakan Indonesia sebagai jalur transit.

Pola itu telah dideteksi Arakan Project dan Yayasan Geutanyo —dua lembaga swadaya yang fokus pada isu Rohingya – khususnya ketika sebanyak 27 pengungsi Rohingya pergi meninggalkan tempat penampungan sementara pada 1 Juni lalu.

Hampir sebulan bertaruh nyawa di tengah laut

Pada Desember 2022, Feruzul Haque mengarungi lautan bersama lebih dari 100 penumpang lain.

Pertaruhan nyawa di tengah laut memakan waktu selama 29 hari, menurut Feruzul Haque.

Feruzul Haque bercerita bahwa setelah berlayar selama sembilan hari, mesin kapal tiba-tiba mogok karena kehabisan bahan bakar.

Kapal mulai terombang-ambing di tengah laut tanpa arah dan tujuan.

Penumpang perempuan mulai menangis histeris, sementara para laki-laki mulai kehilangan harapan.

Di atas kapal itu terdapat sebanyak 50 orang lebih anak-anak.

Satu orang bayi terpaksa dilarung di dalam laut karena kapal kekurangan minuman, bahan makanan, serta obat-obatan.

Jumlah penumpang yang sebelumnya 186 orang kini berkurang menjadi 185 orang, kata Feruzul Haque.

Selama tujuh hari dalam kondisi yang tidak pasti, sebuah kapal tiba-tiba terlihat di kejauhan. Secara perlahan, dia bergerak mendekat.

Itu adalah sebuah kapal berbendera India. Feruzul Haque meyakini kapal itu milik polisi penjaga pantai setempat. “Mereka merapat ke kapal kami dan mereka bertanya ke mana tujuan kami, siapa kami, dan dari mana asal kami,” kenang Feruzul Haque.

Feruzul Haque mencoba menjelaskan dengan menulis pesan pada selembar kertas. Dia memelas agar diberi logistik karena banyak anak-anak di kapal yang sedang kelaparan serta bahan bakar agar bisa melanjutkan perjalanan.

“Mereka memberi kami 500 liter bahan bakar beberapa makanan serta makanan ringan. Kami sempat meminta mereka untuk menarik kapal kami, tetapi mereka menolaknya,” kata Feruzul Haque.

Tidak perlu menunggu waktu lama bagi kapal mereka untuk kehabisan bahan bakar yang kedua kali sehingga mereka kembali terkatung-katung selama empat hari di perairan Andaman.

Kelompok agen penyelundup yang menurut Feruzul Haque turut serta berlayar bersama mereka terus berusaha menenangkan para penumpang.

Mereka terdiri dari satu orang kapten dan satu orang yang selama perjalanan diperkirakan merupakan asisten sang kapten.

Suatu ketika kapten kapal terlihat menelpon seseorang. Lalu satu hari kemudian seseorang tiba-tiba muncul dengan kapal motor cepat mendekati kapal mereka.

Ternyata itu merupakan kapal penjemput untuk sang kapten.

“Setelah itu kapten berangkat dari kapal kami. Dia pergi dengan kapal motor cepat. Sebelum mereka pergi, mereka berkata kepada kami: ‘Kalian akan tinggal di sini untuk beberapa waktu. Satu atau dua hari, setelah itu aku akan kembali lagi ke sini dengan bahan bakar dan mesin baru serta makanan, air, dan juga makanan ringan’,” cerita Feruzul Haque menirukan perkataan sang kapten.

Namun, baik kapten atau stafnya tak pernah kembali.

Setelah terkatung-katung selama beberapa hari, kapal yang mereka tumpangi terdorong oleh angin menuju ke sebuah pantai.

“Kami melompat dari kapal dan kami mendarat di pantai. Kami terjatuh dan terbaring di atas pantai karena semua orang sakit. Kami bahkan tidak tahu nama tempat dan nama orang serta negara di mana kami mendarat,” jelas Feruzul Haque.

Sesaat setelah mendarat, Feruzul melihat masyarakat setempat datang berbondong-bondong dan membawa obat-obatan, air, dan makanan.

“Saat itu kami bahkan tidak memiliki baju di tubuh kami,” kisah Feruzul Haque.

bertanya kepada warga rohingya di bangladesh - mengapa mengungsi dari myanmar hingga tiba di indonesia?

Pengungsi Rohingya tiba di perairan Pineung, Provinsi Aceh, pada 16 November 2023.

Belakangan Feruzul mengetahui bahwa tempat itu adalah Aceh, lokasi kapal-kapal pengangkut pengungsi Rohingya berkali-kali mendarat.

Catatan Kanwil Kemenkumham Aceh menyebut bahwa telah terjadi 11 kali pendaratan kapal pengangkut pengungsi Rohingya dalam periode November 2023 hingga Februari 2024.

Adapun jumlah pengungsi yang tercatat hingga Februari 2024 mencapai 1.912 orang. Mereka tersebar di berbagai lokasi penampungan, seperti Meulaboh, Banda Aceh, Pidie, Bireuen, dan Lhokseumawe.

Feruzul Haque mendarat bersama 180 lebih pengungsi Rohingya lainnya di pantai Kuala Gigieng, Desa Lamnga, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar pada 8 Januari 2023.

Ia ditempatkan bersama seratusan lebih pengungsi di bangunan bekas Yayasan Mina Raya, di Pidie.

‘Ibu....’

Ketika mencapai Aceh itulah Feruzul Haque menghubungi ibunya, Modina Ul-Shajida.

Modina, yang mengalami serangan jantung dan stroke saat tahu putranya itu mengarungi lautan, heran lantaran nomor telepon yang terlihat asing memanggil ponselnya.

Dari seberang sana suara seorang laki-laki terdengar parau penuh rindu.

“Ibu...,” ucap pria itu.

Feruzul berhasil meminjam telepon genggam seorang warga lokal dan mengabarkan bahwa dirinya telah mendarat di Aceh.

bertanya kepada warga rohingya di bangladesh - mengapa mengungsi dari myanmar hingga tiba di indonesia?

Sejumlah pengungsi Rohingya berjalan ke pantai setelah masyarakat setempat memutuskan untuk mengizinkan mereka mendarat di Ulee Madon, Provinsi Aceh, Indonesia, pada 16 November 2023.

Sejak mendarat di Aceh, Feruzul berfungsi sebagai penerjemah bahasa Rohingya karena dia juga mampu berbahasa Inggris.

Uang yang ia dapat dari gajinya sebagai penerjemah sebagian dikirim kepada ibunya ke Cox’s Bazar melalui bantuan orang lain tiga bulan yang lalu.

Uang setara Rp4 juta itu digunakan untuk membiayai pengobatan ibunya.

Ibu Feruzul Haque membenarkan bahwa anaknya itu telah mengirimkan uang untuknya.

“Feruz memberi saya uang untuk membeli obat dan saya minum obat sebanyak tiga dosis,” kata Modina Ul-Shajida.

Akan tetapi, tumor Modina Ul-Shajida yang dibawanya sejak dari Myanmar kini semakin membesar dan telah disarankan oleh dokter harus diangkat dengan cara operasi.

Menurut Feruzul Haque, uang yang dibutuhkan untuk operasi tumor ibunya lebih kurang mencapai Rp11 juta, setara dengan uang perjalanan yang ia bayarkan kepada agen penyelundup manusia untuk meloloskannya ke Indonesia.

“Bagaimana mungkin saya bisa mengumpulkan uang dengan jumlah sebanyak itu?”

Menempuh pendidikan tinggi adalah impian

Selain berjuang membantu ibunya, Feruzul Haque punya perangnya sendiri di dunia akademis.

Ia tercatat sebagai mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Bosowa, Makassar.

Feruzul Haque mendapat kesempatan semacam afirmasi khusus pengungsi dari seorang staf lembaga internasional untuk migran (IOM).

Feruzul Haque tercatat mulai kuliah pada 16 April 2024 setelah diberi izin oleh pihak keimigrasian pada 23 Maret 2024.

Status mahasiswa ini adalah yang dia dambakan sejak di Bangladesh.

Lebih jauh ia ingin melakukan perlawanan balik atas apa yang telah direnggut darinya, keluarganya, serta seluruh orang Rohingya.

“Setelah menyelesaikan wisuda dan gelar saya maka saya ingin melakukan sesuatu yang lebih baik untuk orang Rohingya yang rentan. Setidaknya saya akan mencoba mencari tahu mengapa pemerintah Myanmar mendiskriminasi kami?

“Kami berkali-kali mendesak agar apa yang kami alami di Myanmar dibawa ke ICC [Pengadilan Kejahatan Internasional] dan Mahkamah Internasional [ICJ] terkait hak dan keadilan kami, tetapi hal itu masih tertunda,” kata Feruzul Haque.

Pendidikan memang menjadi salah satu kendala di kamp pengungsian Cox’s Bazar.

Shohida, yang melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar, pada 2017 silam, merasa khawatir tentang nasib pendidikan anak-anaknya di kamp pengungsi.

“Anak-anak kami sedang tumbuh besar. Kami khawatir di mana dan bagaimana kami akan menyekolahkan mereka. Kami bersyukur atas situasi kami saat ini, tetapi ini adalah kehidupan pengungsian, tidak ada cahaya atau harapan di masa depan. Yang ada hanya kegelapan,” ungkap Shohida.

Impian pengungsi jadi alat bagi jaringan penyelundup manusia

Ketika para pengungsi Rohingya tidak punya harapan di masa depan, jaringan penyelundup manusia ‘menjual mimpi’ hidup yang lebih baik di negara-negara seberang laut.

“Saya telah melihat anak-anak diperdagangkan. Ini banyak terjadi di kamp. Mereka melakukan perdagangan manusia dengan merayu korban dengan iming-iming pekerjaan dan membawa mereka ke sebuah tempat bernama Shamila kemudian mereka menyiksa korban dan memaksa mereka untuk membayar tebusan,” ungkap pengungsi Rohingya bernama Rohima Khatun soal perdagangan manusia di kamp.

Laporan IOM juga menyatakan bahwa perdagangan manusia merupakan kejahatan yang seringkali tidak dilaporkan karena sejumlah alasan, mulai dari layanan untuk korban, taktik pemaksaan jaringan perdagangan orang, hingga stigma serta diskriminasi terhadap korban.

Menurut Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, salah satu hal yang seharusnya menjadi catatan di dalam pemecahan masalah yang tengah dihadapi oleh pengungsi Rohingya ialah memastikan apakah mereka dapat kembali ke Myanmar.

“Tanpa menegasi penanganan pengungsi yang terus dilakukan, penting kiranya untuk mengupayakan secara terus-menerus advokasi bersama untuk mengembalikan para pengungsi Rohingya ini ke tanah tempat mereka berasal yakni di Myanmar,” kata Azharul Husna.

Hal itu menurut dia memerlukan keseriusan dan intervensi dari banyak pihak termasuk ASEAN dan PBB, termasuk dengan menghentikan kekerasan yang terjadi di Myanmar serta menyeret semua pihak yang bertanggung jawab ke meja pengadilan dunia.

Direktur Asia Justice And Rights (AJAR), Galuh Wandita, mengatakan harus ada dorongan yang didukung semua pihak untuk menjadikan Myanmar sebagai sebuah negara yang jauh lebih bebas.

"[ini] harus menjadi bagian dari gerakan pro demokrasi, dan visi Myanmar yang bebas, yang plural, di mana pelbagai etnisitas, agama minoritas bisa diterima dengan baik,” kata Galuh Wandita.

Hal ini diamini Rohima Khatun, yang rumahnya hancur akibat mortir dari helikopter militer Myanmar.

“Jika kami bisa kembali ke Myanmar dengan damai dan memulangkan dengan memberi kami keadilan, maka saya tidak punya niat pergi ke mana pun,” Rohima Khatun mengungkapkan keinginannya yang terdalam.

OTHER NEWS

2 hrs ago

SOSOK Khairul Pengemis Kaya di Aceh,Kantongi Uang Rp20 Juta dari Minta-minta,Nginapnya di Losmen

2 hrs ago

Bikin atau Perpanjang SIM Pastikan JKN Aktif, Catat Waktu Berlaku dan Wilayah Uji Cobanya

2 hrs ago

Tak Tanggung-tanggung, Ini 6 Tahap Perbaikan Rumput yang Dilakukan SUGBK Jelang Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026

2 hrs ago

Ditinggal Dimas Seto ke Uzbekistan 8 Hari, Dhini Aminarti: Serasa 8 Tahun

2 hrs ago

BERITA POPULER: Manfaat Minum Kopi Sebelum Tidur hingga Mencegah Obesitas Tanpa Berhenti Total Konsumsi Gula

2 hrs ago

Cara Hapus Foto-foto Tidak Penting yang Menumpuk di Google Photos secara Permanen

2 hrs ago

Calon Lawan Timnas Spanyol di Babak 16 Besar EURO 2024,Peluang Laga Final Kepagian dari Peringkat 3

2 hrs ago

Efek Ngeri Pakai Busi Palsu Dijelaskan Merek Busi Terkenal Langsung Ganti Baru Kalau Terasa Seperti Ini

2 hrs ago

PKS Usung Anies-Sohibul untuk Pilkada Jakarta, Wasekjen PKB: Blunder...

2 hrs ago

Inilah 3 Kebiasaan Sepele Yang Bisa Bikin AC Mobil Jadi Enggak Dingin

2 hrs ago

PKS Batal Usung Sohibul Iman Jadi Cagub pada Pilkada Jakarta, Pengamat: Dia Sulit Bersaing dengan Nama Besar

2 hrs ago

PKB Sebut Langkah PKS Deklarasikan Anies-Sohibul Blunder, Ini Alasannya

2 hrs ago

PROMO Wingstop 26-30 Juni 2024,Nikmati Salted Caramel Latte dan Cheesy Pop Mulai Rp 20 Ribuan

2 hrs ago

745 Personel Polri Dimutasi, Kadiv Propam Irjen Syahardiantono Naik Jadi Kabaintelkam

2 hrs ago

Sejarah AHM Oil MPX 1 dan MPX 2 Hemat Bensin 8 Persen Pemilik Motor Honda Perlu Tahu Agar Tak Tertukar

2 hrs ago

Ketentuan Daftar Jalur Zonasi PPDB Jakarta 2024 SMP-SMA, Hari Ini Terakhir

2 hrs ago

Begini Cara Mudah Cari Tempat Isi Daya Mobil Listrik di Google Maps

2 hrs ago

Harga HP Infinix Terbaru 2024: Infinix GT 20 Pro,Infinix Note 40 Series Racing,Infinix Zero Ultra

2 hrs ago

Karyoto Singgung Kasus Polwan Bakar Suami di Mojokerto: Judol Itu Sangat Merusak

2 hrs ago

Viral, Wanita Ini Ketemu Teman SMA yang Dulu Dikenal Pintar Tapi Kini Mendadak Jadi ODGJ: Dia Periang, Ramah, Jago Komputer

2 hrs ago

Pulang ke Kampung Mertua di Lebaran Ketiga: Menikmati Keindahan Desa di Kawasan Pegunungan

3 hrs ago

Bakal Satu Panggung dengan 3 Diva, Tiara Andini Mengaku Syok

3 hrs ago

Intip Kekayaan Menteri di Kabinet Jokowi, Benarkah SYL Paling Miskin?

3 hrs ago

Bobby Nasution Makin Kuat di Pilkada Sumut saat Edy Rahmayadi Masih Andalkan PDIP,5 Parpol Merapat

3 hrs ago

Cara Bayar Shopee Paylater Lewat Alfamart, Mudah dan Cepat Loh

3 hrs ago

Sosok Calon Pengganti Ganjar,Sinyal PDIP Usung Ahmad Luthfi di Pilkada Jateng 2024,Survei Terbaru

3 hrs ago

PKB Usulkan Prasetyo Edi Marsudi Jadi Bakal Cawagub Anies, Ini Respons PDIP

3 hrs ago

Apa Golkar Memainkan Siasat Politik di Balik 2 Penugasan Ridwan Kamil di Pilkada

3 hrs ago

Punya Mesin Turbo, Simak Update Harga Daihatsu Rocky Semua Tipe Juni 2024

3 hrs ago

TRANSFER Persib Memanas: Sosok Balik Layar Pamit Setelah Bawa Juara Liga 1,Pengganti Tak Main-main

3 hrs ago

Polda Jabar Tak Hadiri Gugatan Praperadilan Pegi Setiawan, Ini Alasannya

3 hrs ago

LIVE Drawing Indonesia di Babak 3 Kualifikasi Piala Dunia 2026: Garuda Terjebak,Grup Neraka Menanti

3 hrs ago

Data di Pusat Data Nasional yang Diserang Ransomware Tidak Bisa Dipulihkan

3 hrs ago

Salma Salsabila Buka-bukaan Soal Pertama Kali Berhijab,Terketuk Berkat Sebuah Tayangan Video

3 hrs ago

IHSG Ditutup Menguat 0,33 Persen, Rupiah Melemah ke Rp 16.413 per Dolar AS

3 hrs ago

Produk Impor Banjiri Pasar,10 Pabrik Tekstil di Solo Raya Bangkrut. Hampir 10 Ribu Buruh Kena PHK

3 hrs ago

Peringati HUT ke-0100 WKRI,DPC Dekenat Pegunungan Tengah Gelar Ibadah Syukuran

3 hrs ago

Mengenal Batik Kinnara Kinnari Banyuwangi,Sarat Nilai Budhis,Banyak Dipesan Vihara

3 hrs ago

Siap-siap La Nina, BMKG Ungkap di Wilayah Ini 67 Hari Tak Turun Hujan

3 hrs ago

3 Diva Bersama Lyodra, Tiara, dan Ziva Akan Gelar Konser pada November 2024