Wacana Tarif KRL Naik, Transportasi Orang Mampu Nan Boros Subsidi
Wacana Tarif KRL Naik, Transportasi Orang Mampu Nan Boros Subsidi
Bisnis.com, JAKARTA – Penyesuaian tarif KRL menjadi salah satu keputusan yang dinanti masyarakat wilayah urban, khususnya pengguna setianya. Tarif KRL yang belum naik sejak 8 tahun lalu disebut boros subsidi dan banyak dinikmati orang mampu.
Wacana tersebut pertama kali diungkapkan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang telah membahasnya dengan pemangku kepentingan terkait.
“Masih kami bahas bersama para stakeholders. Belum kami pastikan soal realisasi pemberlakuannya,” kata Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati, Senin (4/3/2024).
Pembahasan ini, lanjutnya, merupakan tindaklanjut dari wacana terkait penyesuaian tarif KRL yang pernah disampaikan beberapa tahun lalu. Kemenhub secara rutin mengevaluasi pemberlakuan tarif KRL Jabodetabek setiap tahun.
Merespons hal tersebut, perusahaan operator KRL, yakni PT Kereta Commuter Indonesia atau KAI Commuter hanya bisa mengikuti keputusan dari Kemenhub.
VP Corporate Secretary KAI Commuter Anne Purba menuturkan perusahaan hanya bertugas mengelola moda transportasi KRL Jabodetabek.
Dia memastikan KAI Commuter akan mengikuti peraturan atau keputusan yang ditetapkan Kemenhub terkait tarif ke depannya.
“Kami akan patuh terhadap aturan atau regulasi yang disampaikan oleh regulator,” jelas Anne dalam media gathering, Jumat (5/4/2024).
Tarif KRL Belum Naik Sejak 2016
Di sisi lain, rencana tarif KRL naik dinilai perlu memperhatikan situasi dan kondisi sebelum diberlakukan.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang mengatakan, tarif KRL memang sudah seharusnya mengalami penyesuaian. Terlebih, tarif KRL Jabodetabek terakhir kali mengalami penyesuaian pada 2016.
“Sejak 2016 tidak pernah ada penyesuaian tarif, padahal inflasi dan upah buruh setiap tahun mengalami kenaikan,” jelas Deddy, Senin (4/3/2024).
Namun, dia mengingatkan pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk memperhatikan waktu atau timing saat menyesuaikan tarif.
Salah satu pertimbangannya adalah harga sembako seperti beras yang masih mahal. Jika dilakukan sekarang, penyesuaian tarif ini berisiko menambah beban hidup harian masyarakat.
Selain itu, dia juga meminta Kemenhub dan pihak terkait lainnya untuk terus meningkatkan pelayanan KRL Jabodetabek, baik dari sarana maupun prasarananya. Saat ini masih banyak masyarakat yang mengeluhkan elevator atau eskalator rusak di stasiun-stasiun seperti Manggarai, Jatinegara, Klender, Bekasi, dan lainnya.
KRL Jabodetabek Boros Subsidi
Kendati demikian, kenaikan tarif KRL dinilai perlu menghitung ulang alokasi skema subsidi atau public service obligation (PSO).
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno menuturkan, pemerintah melalui DIPA Kemenkeu menganggarkan PSO untuk perkeretaapian sebesar Rp3,5 triliun pada 2023.
Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp1,6 triliun di antaranya diberikan untuk PSO KRL Jabodetabek. Sementara, pada tahun yang sama anggaran untuk bus perintis di 36 provinsi hanya diberikan sebesar Rp177 miliar atau 11% dari PSO KRL Jabodetabek.
“Ini tidak berimbang. Kepentingan layanan transportasi umum daerah terdepan, tertinggal, dan terluar [3T] se-Indonesia kalah jauh ketimbang warga Jabodetabek,” kata Djoko, Minggu (5/5/2024).
Djoko mengatakan, jika penyesuaian tarif KRL Jabodetabek terealisasi, anggaran PSO perkeretaapian sebaiknya dapat dialihkan untuk menambah anggaran bus perintis yang dioperasikan di Indonesia agar tidak ada ketimpangan anggaran.
Menurut Djoko, pemberian skema PSO untuk pengguna KRL Jabodetabek tidak tepat. Pasalnya, berdasarkan hasil sejumlah riset, sebagian besar pengguna moda transportasi ini adalah kelompok masyarakat ekonomi mampu.
Djoko memaparkan, survei LM FEUI pada 2016 menyebutkan, penumpang KRL Jabodetabek yang memiliki penghasilan Rp3 juta-Rp7 juta per bulan adalah sebanyak 63,78%.
Kemudian, hasil survei yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)-Badan Kebijakan Transportasi (BKT) Kementerian Perhubungan pada 2021 menyatakan bahwa penumpang yang memiliki penghasilan kurang dari Rp4 juta sebulan sebanyak 56,06%, sementara untuk yang berpenghasilan lebih dari Rp4 juta sebanyak 43,94%.
Riset tersebut juga mencatat pengguna KRL Jabodetabek mayoritas bekerja sebagai karyawan swasta dengan penghasilan paling tinggi Rp4 juta.
Sementara itu, dalam penelitian yang dilakukan oleh Dwi Ardianta, Hengki Purwoto, dan Agunan Samosir dalam Jurnal Manajemen Transportasi & Logistik Trisakti pada Juli 2022 menyimpulkan pemberian PSO KRL Jabodetabek tidak tepat sasaran karena sekitar 60% pengguna adalah kelompok mampu.
Selain itu, volume penumpang KRL Jabodetabek tidak terpengaruh terhadap penyesuaian atau kenaikan tarif terutama pada kelompok masyarakat mampu.
“Karakteristik penumpang didominasi oleh kelompok berpenghasilan tinggi dan jenis perjalanan komuter yang bersifat inelastis. Nilai elastisitas terhadap tarif KRL Jabodetabek tergantung pada karakter perjalanan, karakter penumpang, karakter dan layanan kota, dan besaran dan arah perubahan tarif,” kata Djoko.