Mobil bertubrukan usai mengalami kecelakaan beruntun di Gerbang Tol Halim Utama, Rabu (27/3/2024).
TRUK bernopol BG 8420 VB menjadi penyebab terjadinya kecelakaan beruntun yang melibatkan tujuh kendaraan di Gardu Tol Halim, Jakarta Timur (27/3).
Dari kronologi maupun beberapa video yang beredar, termasuk pengakuan sopir truk, diduga kecelakaan tersebut karena sopir truk tersebut melaju ugal-ugalan pascaterlibat kecelakaan dengan mobil Expander sebelum area GT Halim.
Pascakecelakaan dengan Expander tersebut, truk terlihat melaju kencang. Dalam rekaman CCTV yang beredar, truk terlihat tetap melaju kencang mendekati mobil yang sedang mengantre membayar tol sehingga menabrak beberapa mobil tersebut.
Kecelakaan tersebut juga berimbas ke kendaraan yang ada di sekitar lajur antrean. Setelah ditabrak, truk Isuzu Traga putih menyambar kendaraan lain di lajur sebelahnya.
Tidak ada korban jiwa akibat kecelakaan tersebut. Meski begitu, pastinya terdapat kerugian material para pengendara mobil maupun Jasamarga atas rusaknya fasilitas di sekitar GT Halim.
Lantas kepada siapa pertanggungjawaban materiil berupa ganti rugi bisa dituntutkan?
Merujuk ke pasal 234 UU 22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan ayat 1 dan 2, kerugian yang diakibatkan kelalaian pengemudi bisa dibebankan ke pengemudi, pemilik, dan atau perusahaan angkutan umum.
Pada ayat 1 pasal 234 mengatur soal kerugian yang dialami oleh penumpang atau pihak ketiga.
Dalam penjelasan di UU tersebut pihak ketiga adalah orang yang berada di luar kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan.
Dalam hal ini kendaraan yang berada di luar kendaraan truk tersebut seharusnya mendapat ganti kerugian, yang bisa ditanggung oleh pengemudi maupun pemilik kendaraan truk tersebut.
Pada ayat 2 pasal 234 diatur pula soal ganti rugi kepada perlengkapan jalan yang diakibatkan kecelakaan di mana sama seperti pasal 234 ayat 1 ganti rugi dibebankan ke pengemudi dan pemilik kendaraan yang menyebabkan kecelakaan.
Berdasarkan aturan di atas, maka pemilik truk juga harus bertanggungjawab atas kecelakaan di GT Halim kemarin. Tidak bisa melepas tanggungjawab, baik pidana maupun kerugian, lalu menyerahkan ke pengemudi saja.
Apalagi ada temuan bahwa sopir baru berusia 18 tahun. Usia tersebut tidak mungkin seseorang bisa memiliki sim B1, prasyarat mengemudikan truk dengan tipe tersebut.
Seseorang bisa memiliki SIM B1 minimal berusia 21 tahun, itupun wajib memiliki SIM A selama 12 bulan sebelumnya.
Melihat fakta usia sopir, maka perlu dipertanyakan pula bagaimana kontrol pemilik truk atas kelayakan dan legalitas izin mengemudi sang sopir.
Apalagi mengemudikan truk sebenarnya tidak sembarangan, seseorang harus memiliki keterampilan yang lebih ketimbang kendaraan lain.
Truk sebagai kendaraan beban, memiliki titik pengereman yang berbeda termasuk juga terkait teknik mengemudi lainnya.
Membiarkan orang yang tidak layak untuk mengemudikan truk tentunya membahayakan pengguna jalan lain, termasuk, jika pemilik truk sadar, membahayakan sopir truk itu sendiri.
Maka kelalaian pemilik truk sehingga truknya dikemudikan orang yang tidak layak harus diganjar dengan sanksi, baik pidana umum, pidana lalu lintas, maupun penggantian kerusakan kendaraan dan fasilitas jalan tol yang diakibatkan aksi ugal-ugalan orang yang mengemudikan truknya.
Sanksi dan pembebanan ganti rugi kepada pemilik truk penting agar peristiwa serupa bisa dihindari. Sanksi dan pembebanan ganti rugi menjadi pesan kepada pemilik truk lain untuk tidak sembarangan memberikan kemudi kepada orang yang belum layak mengemudikan truknya.
Bisa jadi praktik serupa terjadi selama ini, tetapi tidak sampai terungkap entah karena tidak sampai celaka atau karena kecelakaannya tidak terekspose secara ramai seperti kecelakaan di GT Halim kemarin.
Polisi harus memastikan para pemilik kendaraan yang mengalami kerusakan dan Jasamarga sebagai pemilik fasilitas jalan yang dirugikan akibat ulah pengemudi truk merah tersebut benar-benar mendapatkan ganti rugi setimpal, entah dari pengemudi ataupun pemilik truk.
Jika ganti rugi belum selesai, maka truk yang saat ini diamankan harus tetap berada dalam penguasaan penegak hukum.
Selain kepada pemilik truk, Korlantas Polri juga perlu membuat sistem blacklist kepada pengemudi seperti ini.
Jika yang bersangkutan mengajukan pembuatan SIM, maka dipersulit atau kalau perlu tidak dapat diterbitkan SIM-nya.
Sehingga penerbitan SIM tidak lagi sekadar proses administratif, tapi juga sebagai proses seleksi kelayakan seseorang mengemudikan. Tentunya dibarengi pula peningkatan integritas penyelenggara seleksi/penerbitan SIM.
Dengan adanya sanksi, tanggungjawab ganti rugi hingga proses penerbitan SIM yang selektif, maka mereka yang mengemudi benar-benar layak dan siap bertanggungjawab.
Sehingga situasi lalu lintas akan menjadi lebih tertib, dan yang terpenting lebih aman dan nyaman.
News Related-
Nadzira Shafa Nyanyi Lagu Baru, Lirik Rakit Soundtrack Film 172 Days, Ceritakan Kisah Cintanya dengan Amer Azzikra
-
Cara Menukarkan Valas dan Informasi Kurs Dollar-Rupiah di BCA, Selasa (28/11)
-
Ganjar Disindir Halus Kepala Suku di Merauke soal Kondisi Jalan
-
BREAKING NEWS - Diduga Depresi,Pemuda di Kubu Raya Nekat Akhiri Hidup Dengan Cara Tak Wajar
-
Tertarik Ubah Avanza Jadi VW Kodok? Segini Biayanya
-
Bukan Gabung Barito,Sosok di Luar Dugaan Eks Persija Membelot ke Rival Dewa United,Anak Dewa Cek
-
Pesan Mahfud ke Anak Muda Aceh: Semua Akan Sukses karena RI Kaya, Jangan Hedon
-
Apakah Hantu Itu Nyata? Berikut Penjelasan Ilmiahnya
-
Rajin Beri Bonus dan Ajak Jalan-jalan,Bos Tak Menyangka Lihat Isi Grup WA Karyawan,Semua Dipecat
-
Pimpinan KPK Kaget Kasus Korupsi SYL Ternyata Sudah Dilaporkan Sejak 2020, 3 Tahun Dibiarkan Mangkrak
-
Isyarat Rasulullah Tentang Penaklukan Romawi dan Mesir
-
Istana Ingatkan Pasangan Anies-Muhaimin, Ada Kesepakatan Politik Terkait UU IKN
-
Anak Kiky Saputri Unboxing Bingkisan Ulang Tahun Ke-2 Rayyanza
-
Ragam Keris dan Senjata Pusaka di Museum Pusaka TMII