Banyak warga Iran khawatir akan eskalasi serangan antara Iran dan Israel.
BANYAK orang berpendapat, serangan Iran ke Israel pada akhir pekan lalu menandai puncak ketegangan antara kedua negara yang sudah berlangsung sejak beberapa dekade lalu. Walau begitu, perlu diketahui bahwa hubungan Israel dan Iran pada awalnya tidak selalu bersitegang seperti saat ini.
Ketegangan antara Israel dengan Iran tidak hanya dipengaruhi perbedaan ideologi atau grup-grup proksi saja. Keduanya memang sudah lama saling menyerang. Namun mereka sendiri menolak untuk mengakui. Fenomena ini dikenal juga sebagai “perang bayangan”.
Pertemanan Israel-Iran di Bawah Dinasti Pahlavi
Hubungan Israel dengan Iran pada awalnya sangat baik, khususnya saat Iran masih berada di bawah Dinasti Pahlavi. Hubungan keduanya bermula tahun 1947 ketika Iran menjadi salah satu dari 11 anggota komite khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang difokuskan untuk mencari solusi bagi Palestina yang kala itu baru saja bebas dari kontrol Inggris.
“Iran, bersama India dan Yugoslavia, mengajukan rencana alternatif, solusi federatif yaitu mempertahankan Palestina sebagai satu negara dengan satu parlemen tetapi dibagi menjadi wilayah Arab dan Yahudi,” kata sejarawan Universitas Oxford, Eirik Kvindesland, kepada Al Jazeera.
“Itu adalah upaya kompromi Iran untuk mencoba menjaga hubungan positif dengan negara-negara Barat yang pro-Zionis dan gerakan Zionis itu sendiri, dan dengan negara-negara tetangga Arab dan Muslim,” tambah Kvindesland.
Dua tahun setelah itu, Israel menguasai wilayah yang lebih luas daripada yang disetujui PBB pasca dimulainya Perang Arab Israel pertama tahun 1948. Iran, yang saat itu berada di bawah pemerintahan Mohammad Reza Pahlavi, raja atau Syah kedua Pahlavi, menjadi negara mayoritas Muslim kedua setelah Turki yang mengakui secara resmi berdirinya Israel.
Kvindesland menjelaskan, langkah yang diambil Tehran adalah terutama untuk mengurus aset Iran yang ada di Palestina. Ada sekitar 2.000 warga Iran tinggal di sana dan properti mereka disita tentara Israel selama perang.
Hubungan Israel dan Iran mulai berubah ketika Mohammad Mosaddegh menjadi perdana menteri Iran tahun 1951. Mosaddegh dikenal dengan keaktifannya dalam memelopori nasionalisasi industri minyak di Iran yang dimonopoli Inggris. Salah satu upayanya yaitu memutus hubungan dengan Israel karena menurutnya Israel justru melayani kepentingan Barat di wilayah tersebut.
Kvindesland menjelaskan, langkah Mosaddegh saat itu tidak ditujukan untuk menyerang hubungan Iran dan Israel, melainkan Mossadegh pada dasarnya hanya ingin mengusir kekuasaan kolonial Inggris dari Iran serta melemahkan monarki.
Kvindesland mengatakan, dampaknya pada hubungan Israel dan Iran saat itu hanya merupakan “kerusakan tambahan”.
“Ada mobilisasi anti-Zionis di Iran. Ada ulama Syiah yang berpengaruh, Navvab Safavi, salah satu tokoh paling terkenal yang melakukan propaganda keras menentang Zionisme dan pendirian Israel. Namun bagi Mosaddegh, tujuan utamanya adalah mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab di sekitarnya untuk memerangi kendali Inggris atas industri minyak,” kata Kvindesland kepada Al Jazeera.
Hubungan Israel dengan Iran kembali ke posisi semula ketika Mosaddegh digulingkan melalui kudeta yang diorganisir badan intelijen Inggris dan Amerika Serikat (AS) tahun 1953. Turunnya Mosaddegh sekaligus menandai kembalinya Syah kedua Pahlavi, sekutu setia Barat di wilayah tersebut yang juga dikenal dengan orang yang sangat pro-Barat di setiap kebijakan luar negerinya.
Tahun 1970-an, Israel mendirikan kedutaan de facto di Teheran dan keduanya mulai bertukar duta besar. Setelah itu, kedua negara mulai membangun hubungan perdagangan. Iran dengan segera menjadi pemasok minyak utama bagi Israel. Kedua negara tersebut juga membangun jaringan pipa yang bertujuan mengirim minyak Iran ke Israel dan ke Eropa.
Tidak hanya perdagangan, keduanya juga membangun hubungan baik di sektor militer dan keamanan walau sebagian besarnya dirahasiakan guna menghindari provokasi negara-negara Arab sekitarnya.
Kvindesland mengatakan, Syah Iran saat itu “tidak menunjukkan kepedulian terhadap Palestina dalam hubungannya dengan Israel tetapi lebih didorong oleh kebutuhan akan aliansi, keamanan, dan perdagangan.
Hubungan Israel-Iran Pasca Revolusi Iran
Hubungan Israel-Iran kandas setelah Dinasti Pahlavi runtuh tahun 1979. Keruntuhan dinasti itu mendorong terbentuknya Republik Islam Iran.
Pemimpin revolusi Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini mengenalkan kepada Iran pandangan baru yang banyak berfokus pada perjuangan Islam dan upaya membela diri terhadap kekuatan-kekuatan “arogan” yang dapat menindas negara lain demi kepentingan diri sendiri. Dalam hal ini, Palestina turut menjadi bagian dari negara tertindas yang mereka bela.
Sejak saat itu, Israel mulai dikenal di Iran sebagai “Setan Kecil” yang berada di bawah “Setan Besar”, yaitu AS. Iran lalu menghapus semua hubungannya dengan Israel, salah satu upayanya yaitu mengubah kedutaan Israel di Teheran menjadi kedutaan Palestina.
Upaya lain yang dilakukan Khomeini antara lain menjadikan setiap hari Jumat terakhir dalam bulan suci Ramadhan sebagai hari Quds, waktu demonstrasi besar-besaran untuk mendukung warga Palestina di seluruh Iran.
Trita Parsi, wakil pimpinan eksekutif Quincy Institute for Responsible Statecraft mengatakan kepada Al Jazeera bahwa perjuangan Palestina di mata Khomeini bukanlah bagian dari tujuan nasionalis Arab, melainkan tujuan Islam yang memiliki maksud menjadikan Iran pemimpin dalam perjuangan Palestina.
“Untuk mengatasi perpecahan Arab-Persia dan perpecahan Sunni-Syiah, Iran mengambil posisi yang jauh lebih agresif dalam masalah Palestina untuk menunjukkan kredibilitas kepemimpinannya di dunia Islam dan menempatkan rezim Arab yang bersekutu dengan Amerika Serikat dalam posisi defensif,” kata Parsi.
Permusuhan Israel dengan Iran terus bertumbuh seiring dengan bertambahnya upaya kedua negara memperkuat kekuatan dan pengaruhnya di wilayah tersebut. Kini, Iran memiliki jaringan “Poros Perlawanan” yang terdiri dari kelompok-kelompok politik dan bersenjata yang berbasis di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman.
Di sisi lain, Israel juga telah mendukung berbagai kelompok yang menentang Iran. Teheran menyebut kelompok-kelompok yang didukung Israel ini adalah “teroris”, salah satunya Mojahedin-e Khalq (MEK), sebuah kelompok oposisi Iran.
News Related-
Nadzira Shafa Nyanyi Lagu Baru, Lirik Rakit Soundtrack Film 172 Days, Ceritakan Kisah Cintanya dengan Amer Azzikra
-
Cara Menukarkan Valas dan Informasi Kurs Dollar-Rupiah di BCA, Selasa (28/11)
-
Ganjar Disindir Halus Kepala Suku di Merauke soal Kondisi Jalan
-
BREAKING NEWS - Diduga Depresi,Pemuda di Kubu Raya Nekat Akhiri Hidup Dengan Cara Tak Wajar
-
Tertarik Ubah Avanza Jadi VW Kodok? Segini Biayanya
-
Bukan Gabung Barito,Sosok di Luar Dugaan Eks Persija Membelot ke Rival Dewa United,Anak Dewa Cek
-
Pesan Mahfud ke Anak Muda Aceh: Semua Akan Sukses karena RI Kaya, Jangan Hedon
-
Apakah Hantu Itu Nyata? Berikut Penjelasan Ilmiahnya
-
Rajin Beri Bonus dan Ajak Jalan-jalan,Bos Tak Menyangka Lihat Isi Grup WA Karyawan,Semua Dipecat
-
Pimpinan KPK Kaget Kasus Korupsi SYL Ternyata Sudah Dilaporkan Sejak 2020, 3 Tahun Dibiarkan Mangkrak
-
Isyarat Rasulullah Tentang Penaklukan Romawi dan Mesir
-
Istana Ingatkan Pasangan Anies-Muhaimin, Ada Kesepakatan Politik Terkait UU IKN
-
Anak Kiky Saputri Unboxing Bingkisan Ulang Tahun Ke-2 Rayyanza
-
Ragam Keris dan Senjata Pusaka di Museum Pusaka TMII