Ketua Tim hukum PDI-P Gayus Lumbuun (tengah) usai mengajukan gugatan untuk KPU di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Cakung, Jakarta Timur, Selasa (2/4/2024).
KOMPAS.com – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menegaskan, gugatan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur masih berjalan.
Untuk diketahui, tim hukum mendaftarkan gugatan terhadap KPU ke PTUN pada Selasa (2/4/2024) dengan nomor perkara 133/G/2024/PTUNJKT.
Dalam perkara tersebut, PDI-P menganggap KPU telah melawan hukum karena menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dan mengesampingkan syarat usia minimum untuk cawapres.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menuturkan, PDI-P masih berjuang untuk menegakkan demokrasi dan konstitusi dengan menempuh upaya hukum di PTUN.
“(PDI-P) berjuang untuk menggunakan setiap ruang hukum termasuk melalui PTUN,” ucap Hasto, dikutip dari Kompas.com, Selasa (23/4/2024).
Penjelasan ahli
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Sunny Ummul Firdaus mengatakan, tak ada lembaga peradilan lain di luar Mahkamah Konstitusi (MK) yang dapat menyelenggarakan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
Oleh karena itu, keputusan mengenai perselisihan hasil pemilu yang dibacakan oleh MK bersifat final dan tidak dapat diubah.
Meski demikian, masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan selama proses pemilu, baik perorangan maupun lembaga, dapat mengajukannya ke PTUN.
“PTUN merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi masyarakat Indonesia yang mencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara,” ujat Sunny saat dihubungi Kompas.com, Selasa (24/4/2024).
Sebagai informasi, sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul antara orang, atau badan hukum, atau pejabat tata usaha negara baik di pusat maupun daerah, sebagai akibat diambilnya keputusan tata usaha negara.
Dalam hal ini, Sunny menyebutkan bahwa gugatan PDI-P ke PTUN bukan tentang selisih hasil pemilu, melainkan sengketa tata usaha berupa proses pemilu.
“Meskipun demikian, terdapat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2017 mengatur tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum di Pengadilan Tata Usaha Negara,” jelas dia.
“Jadi selain di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sengketa proses pemilihan umum juga dapat diselesaikan di PTUN,” lanjutnya.
Adapun sengketa proses pemilu yang dapat diselesaikan di PTUN, antara lain sengketa antara partai politik calon peserta Pemilu, atau calon anggota DPR, DPD, DPRD, atau bakal calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) yang tidak lolos verifikasi dengan KPU, KPU Provinsi, maupun KPU Kabupaten/Kota.
Sunny menjelaskan, semua pihak yang merasa dirugikan dalam proses pemilu atau ada dugaan suatu hal yang tidak sesuai dengan ketentuan, maka pihak tersebut dapat menggugatnya ke PTUN.
Adapun pihak yang dapat mengajukan diri sebagai penggugat, antara lain beberapa orang atau organisasi, seperti calon anggota DPR, DPD, DPRD, calon presiden dan calon wakil presiden.
Sementara itu, objek yang menjadi bahan sengketa proses pemilu adalah keputusan KPU mengenai partai politik calon peserta politik, daftar tetap calon legislatif (caleg), maupun penetapan pasangan capres-cawapres.
“Jadi kita harus membedakan antara perselisihan hasil pemilu dan sengketa proses pemilu. Itu merupakan hak warga negara untuk mencari keadilan,” kata Sunny.
PDI-P dinilai terlambat menggugat
Lebih lanjut, Sunny menilai bahwa PDI-P terlambat mengajukan sengketa proses Pemilu 2024 ke PTUN.
Idealnya, penggugat mengajukan gugatan kepada objek sengketa yang merupakan bagian dari keputusan KPU sebelum pemungutan suara dilaksanakan.
Hal tersebut sesuai dengan Perma Nomor 5 Tahun 2017 yang menyatakan bahwa objek yang diperkarakan adalah hal-hal yang terjadi sebelum pemungutan suara.
“Objek sengketa itu bisa banyak, putusan KPU, putusan Bawaslu, dan sebagainya. Apabila dilihat dari definisinya, masih ada kata calon dalam putusan,” ujarnya.
“Jadi yang dipersoalkan terjadi jauh sebelum pemungutan berlangsung dan terlepas dari persoalan hasil,” sambungnya.
Terkait dengan hasil sengketa proses Pemilu 2024 di PTUN, nantinya hal tersebut akan menjadi Peraturan KPU (PKPU).
PKPU yang dikeluarkan tetap berada di bawah keputusan MK yang nantinya akan berlaku sebagai Undang-Undang.
“PKPU itu hanya petunjuk teknis. Maka peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi,” jelasnya.
Meskipun PKPU belum berubah saat menetapkan Gibran sebagai cawapres, tetapi sejak Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 disahkan, putusan tersebut langsung menjadi Undang-Undang.
Selain itu, dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak ada klausul yang menyatakan bahwa peraturan tersebut akan berlaku pada pemilu berikutnya.
News Related-
Nadzira Shafa Nyanyi Lagu Baru, Lirik Rakit Soundtrack Film 172 Days, Ceritakan Kisah Cintanya dengan Amer Azzikra
-
Cara Menukarkan Valas dan Informasi Kurs Dollar-Rupiah di BCA, Selasa (28/11)
-
Ganjar Disindir Halus Kepala Suku di Merauke soal Kondisi Jalan
-
BREAKING NEWS - Diduga Depresi,Pemuda di Kubu Raya Nekat Akhiri Hidup Dengan Cara Tak Wajar
-
Tertarik Ubah Avanza Jadi VW Kodok? Segini Biayanya
-
Bukan Gabung Barito,Sosok di Luar Dugaan Eks Persija Membelot ke Rival Dewa United,Anak Dewa Cek
-
Pesan Mahfud ke Anak Muda Aceh: Semua Akan Sukses karena RI Kaya, Jangan Hedon
-
Apakah Hantu Itu Nyata? Berikut Penjelasan Ilmiahnya
-
Rajin Beri Bonus dan Ajak Jalan-jalan,Bos Tak Menyangka Lihat Isi Grup WA Karyawan,Semua Dipecat
-
Pimpinan KPK Kaget Kasus Korupsi SYL Ternyata Sudah Dilaporkan Sejak 2020, 3 Tahun Dibiarkan Mangkrak
-
Isyarat Rasulullah Tentang Penaklukan Romawi dan Mesir
-
Istana Ingatkan Pasangan Anies-Muhaimin, Ada Kesepakatan Politik Terkait UU IKN
-
Anak Kiky Saputri Unboxing Bingkisan Ulang Tahun Ke-2 Rayyanza
-
Ragam Keris dan Senjata Pusaka di Museum Pusaka TMII