Cerita Nila, Dosen ITB yang Dapat Gelar Doktor di Usia 27 Tahun
Nila Armelia Windasari, dosen ITB yang dapat gelar PhD atau doktor di usia 27 tahun.
KOMPAS.com – Nila Armelia Windasari, S.A., M.B.A, Ph.D baru saja menamatkan jenjang doktoral atau S3 di luar negeri. Nila merupakan salah seorang dosen di Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB).
Di balik gelar yang panjang, ternyata Nila masih berusia 27 tahun saat meraih gelar doktor. Di Indonesia sendiri, rata-rata gelar doktor baru didapatkan di usia 36 tahun.
Awal mula Nila bisa mendapatkan gelar tersebut di usia yang muda, karena mengikuti program akselerasi saat SMA.
Ia menyelesaikan gelar sarjananya dalam tujuh semester di Universitas Airlangga (Unair).
Nila lalu melanjutkan studi dan meraih gelar master dalam tiga semester di Asia University, Taiwan. Adapun studi S3 beliau jalani di National Tsing Hua University, Hsinchua, Taiwan.
Sampai akhirnya, ia menjadi dosen di ITB. Ternyata kegiatan mengajar bukan hal baru baginya. Kedua orangtua, kakek, dan mertuanya adalah guru. Hal itu membuatnya merasa nyaman ketika menjadi dosen. Meski begitu, hal yang paling disukai olehnya saat menjalani profesi tersebut adalah belajar dari mahasiswa.
“Terutama ketika di SBM dan di level postgraduate, dari diskusi di kelas, saya belajar sesuatu dari mereka, dari pengalaman dan praktik mereka yang tentu industrinya bervariasi. Dan ketika bisa membantu mereka untuk belajar lebih dalam, buat saya itu rewarding,” katanya, dilansir dari laman ITB.
Pernah jadi dosen di Taiwan
Sebelum mengajar di SBM ITB sejak tahun 2018, Nila menjadi dosen selama empat tahun di Universitas Terbuka di Taiwan. Hingga kini, sudah ratusan mahasiswa yang beliau bimbing.
Menariknya, ia mengingat tesis dari setiap mahasiswa yang dibimbingnya. Hal itu karena prinsipnya yang tidak hanya ingin mahasiswa sekadar lulus tetapi tercipta solusi untuk masalah dalam topik yang dibahas.
“Tesis di MBA itu problem solving yang riil, bukan hanya hypothetical. Itu permasalahan yang riil dari perusahaan yang mereka bawa. Penting bagi mereka untuk betul-betul bukan hanya selesai tapi masalahnya solved,” tuturnya.
Oleh karena itu, tidak jarang revisi dilakukan berkali-kali. Ia menilai itu bukan hal yang jelek.
“Itu menunjukkan kompleksitas permasalah yang dibawa mahasiswa. Ketika dia berhasil memecahkan, itu adalah achievement buat dia, bukan hanya untuk saya. Jadi, tidak hanya sebuah pertanda bahwa tugas akhir itu diselesaikan, tapi bahwa permasalah riil itu bisa diselesaikan dan bisa diaplikasikan, buat saya itu penting,” katanya.
Dalam proses bimbingan, selain bertemu langsung, salah satu bentuk komunikasi Nila adalah dengan thread email. Thread tersebut khusus membicarakan topik skripsi, tesis, maupun disertasi. Hal ini karena tesis merupakan produk tertulis dan agar ada riwayat bimbingan. Beliau pun responsif untuk menanggapi hal tersebut.
“Semuanya via email dan via pertemuan. Tapi saya juga yakinkan bahwa saya menjawab email itu sama cepatnya dengan saya membalas WhatsApp,” ujar dosen yang hobi menonton film dan baca buku ini.
Dengan menjadi bagian di SBM ITB, ia mengaku mendapatkan standar mengajar yang cukup menantang. Misalnya, setiap tugas harus diberikan tanggapan.
“Itu yang akhirnya saya pegang sampai sekarang bahwa kita tidak boleh asal memberi tugas kemudian dibiarkan. Setiap tugas harus diberikan feedback. Termasuk ketika ujian, mana yang susah, dan lain-lain. Selain itu, kita harus available. Artinya tidak harus di depan mahasiswa, tapi mereka harus tahu bahwa selama mereka menjadi mahasiswa ITB, kapanpun mereka butuh saya mereka bisa hubungi saya,” ujarnya.
Saat ini, Nila banyak membimbing mahasiswa magister dan sarjana. Ia pun tengah membimbing dua mahasiswa program doktor.
Terkait kesan dalam mengajar mahasiswa, Nila mengatakan, “Menurut saya, tidak hanya saya, tapi semua pengajar pasti akan punya kepuasan tersendiri ketika apa yang diajarkan itu betul-betul bermanfaat. Kalau bahasa orang Islam itu berkah. Jadi, berkahnya itu panjang,” pungkasnya.