Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid ditemui di Yogyakarta, Senin (15/1). Foto: Arfiansyah Panji/kumparan
Masyarakat sipil mendorong pelaksanaan Pengadilan Rakyat atau Mahkamah Rakyat agar dunia mengetahui praktik tak lazim dalam pemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid dalam diskusi daring bertajuk ‘Mahkamah Rakyat untuk Keadilan Pemilu, Perlukah?’ pada Senin (15/4).
“Apa yang sekarang ini kita perbincangan sebenarnya, suatu wacana yang positif yang disampaikan oleh kalangan akademisi, aktivis, dan masyarakat sipil terutama untuk mengungkapkan praktik-praktik yang tidak lazim dalam kontestasi Pemilihan Umum di Indonesia, khususnya Pemilihan Presiden,” kata Usman Hamid.
“Mungkin hampir tidak ada presedennya di dunia, di mana sebuah praktik yang tidak lazim dalam bentuk kekerasan elektoral atau kecurangan elektoral, kejanggalan elektoral, tidak keberesan elektoral, bahkan kejahatan elektoral yang kemudian diperiksa dan kemudian diadili oleh sebuah mahkamah rakyat yang berskala seperti Bertrand Russell Tribunal ini,” tambah dia.
Sejumlah massa yang menamai diri Koalisi Sejagad menggelar aksi di Tugu Pal Putih atau Tugu Yogyakarta, Jumat (22/3). Mereka menyerukan memboikot hasil Pemilu 2024. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Dia menceritakan Pengadilan Rakyat adalah suatu usaha untuk menembus kebuntuan keadilan di tingkat dunia, akibat dari suasana perang pada 60-an khususnya di Vietnam.
Kala itu, suasana perang membangun situasi semacam mencekam secara kebebasan di Amerika dan juga berbagai negara. Dari sana, Filsuf Inggris, Lord Bertrand Russell, kemudian menggagas apa yang disebutnya sebagai Mahkamah Rakyat untuk kejahatan perang di Vietnam.
Menurut Usman, Pilpres 2024 bukan sekadar pelanggaran Pemilu biasa, tetapi suatu orkestrasi penyalahgunaan kekuasaan yang berlangsung sebelum pemilu dilaksanakan.
“Saya kira catatan penutup dari komite HAM PBB pada sidang-sidang di Maret yang lalu, yang mempertanyakan kepada pemerintahan Indonesia tentang dugaan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di dalam tindakan presiden yang mempengaruhi proses pemilu secara tidak pada mestinya untuk meloloskan putra presiden dalam hal ini Gibran Rakabuming Raka untuk lolos dalam larangan syarat usia 40 tahun yang sebelumnya dalam hukum pemilu. Hukum itu diubah dengan cara yang tidak semestinya,” kata Usman.
Sejumlah warga binaan mencoblos surat suara Pemilu 2024 di TPS khusus Lapas Salemba, Jakarta, Rabu (14/2/2024). Foto: Erlangga Bregas Prakoso/ANTARA FOTO
Usman menjelaskan, dugaan ini akhirnya berkembang bukan sekadar pelanggaran pemilu biasa, tetapi sebuah penyalahgunaan kekuasaan yang mengubah hukum demi keuntungan pribadi dari Presiden Jokowi dan penyalahgunaan atau penyelewengan konstitusi.
“Ini harus dijawab oleh pemerintah Indonesia, dan mungkin catatan komite PBB tak berhenti di situ saja, seandainya ada Mahkamah Rakyat yang digelar masyarakat sipil Indonesia, harapan saya tentu ada sebuah laporan resmi yang bisa dituliskan di dalam bahasa Inggris dengan menunjukkan pelanggaran-pelanggaran Konstitusi, pelanggaran peraturan perundangan yang terjadi di dalam pemilihan umum di Indonesia kepada PBB,” ucap Usman.
“Mungkin dengan demikian Indonesia bisa menoreh catatan bisa membuat yurisprudensi seperti Russel Tribunal untuk kejahatan pemilu atau isu ketidakadilan pemilu,” jelas Usman.
Direktur Eksekutif Amnesti Internasional di Indonesia, Usman Hamid. Foto: Thomas Bosco/kumparan
Usman berharap Mahkamah Rakyat bisa segera digelar sebagai preemptive justice sehingga bisa didengar hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI sebelum mengambil keputusan. Menurutnya, hakim MK selayaknya mendengar suara civil society dan akademisi yang meragukan mutu Pemilu 2024.
Sementara sejarawan Ita Fatia Nadia mengatakan, dengan kondisi yang terjadi pada Pemilu 2024, di Jogja sudah diinisiasi dengan sebutan rapat umum rakyat.
“Tujuannya memberikan, menciptakan legitimasi politik rakyat yang selama ini dihilangkan. Bukan untuk rapat umum semata tapi membangun tradisi legitimasi rakyat di mana rakyat bisa berpendapat,” kata Fatia.
News Related-
Nadzira Shafa Nyanyi Lagu Baru, Lirik Rakit Soundtrack Film 172 Days, Ceritakan Kisah Cintanya dengan Amer Azzikra
-
Cara Menukarkan Valas dan Informasi Kurs Dollar-Rupiah di BCA, Selasa (28/11)
-
Ganjar Disindir Halus Kepala Suku di Merauke soal Kondisi Jalan
-
BREAKING NEWS - Diduga Depresi,Pemuda di Kubu Raya Nekat Akhiri Hidup Dengan Cara Tak Wajar
-
Tertarik Ubah Avanza Jadi VW Kodok? Segini Biayanya
-
Bukan Gabung Barito,Sosok di Luar Dugaan Eks Persija Membelot ke Rival Dewa United,Anak Dewa Cek
-
Pesan Mahfud ke Anak Muda Aceh: Semua Akan Sukses karena RI Kaya, Jangan Hedon
-
Apakah Hantu Itu Nyata? Berikut Penjelasan Ilmiahnya
-
Rajin Beri Bonus dan Ajak Jalan-jalan,Bos Tak Menyangka Lihat Isi Grup WA Karyawan,Semua Dipecat
-
Pimpinan KPK Kaget Kasus Korupsi SYL Ternyata Sudah Dilaporkan Sejak 2020, 3 Tahun Dibiarkan Mangkrak
-
Isyarat Rasulullah Tentang Penaklukan Romawi dan Mesir
-
Istana Ingatkan Pasangan Anies-Muhaimin, Ada Kesepakatan Politik Terkait UU IKN
-
Anak Kiky Saputri Unboxing Bingkisan Ulang Tahun Ke-2 Rayyanza
-
Ragam Keris dan Senjata Pusaka di Museum Pusaka TMII