7 Poin Kekecewaan Megawati Terhadap Jokowi Diungkap Prof Gayus Lumbuun,Seri II
KETUA Tim Hukum PDI Perjuangan (PDIP), Prof Gayus Lumbuun, buka suara soal wacana pembentukan “‘Presidential Club” yang digagas presiden terpilih 2024, Prabowo Subianto.
Gayus menilai wacana itu tentu baik jika benar-benar membawa kemanfaatan bagi bangsa dan negara.
Namun, dia mengatakan, pembetukan presidential club itu baru akan berjalan baik jika negara itu sudah betul-betul memahami atau menaruh perhatian khusus kepada proses di negara hukum masing-masing.
“Kalau negara itu sudah betul-betul memahami, aware kepada proses di negara hukum masing-masing. Negara hukum kita. Jadi artinya kalau negara itu sudah stabil. Ini sangat penting. Dan negara tidak konflik yang keras seperti kita sekarang. Itu baik-baik saja,” kata Gayus Lumbuun saat sesi wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra, di Studio Tribunnews, Palmerah, Jakarta, Senin (6/5).
Mantan hakim agung itu menyebut, ketika negara dalam keadaan seperti hari ini pro-kontra akan semakin kuat.
Di mana, pandangan-pandangan sangat kontroversial yang menyoroti bukti hakim yang disending opinion pada proses sengekata hasil pemilihan umum (PHPU) yang menetapkan Prabowo sebagai Presiden.
Gayus justru khawatir, bahwa pembentukan presidential club ini justru akan melemahkan sikap-sikap kritis terhadap pemerintahan mendatang. Terutama, melemahkan lembaga-lembaga yang berada di luar pemerintahan.
“Saya khawatir justru pertemuan ini melemahkan sikap-sikap kritis. Melemahkan sikap-sikap yang tidak sama dengan proses yang dijalankan oleh Presiden yang berkuasa. Yang diikuti oleh para mantan presiden,” ucap Gayus.
“Ini saya ada kekhawatiran itu sehingga itu melemahkan sebenarnya. Melemahkan perjuangan-perjuangan lembaga-lembaga yang di luar pemerintahan,” sambungnya.
Dia pun turut menyinggung soal hubungan Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri dengan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) serta Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Gayus, hubungan secara personal bisa saja berubah dalam melihat masa depan bangsa. Apalagi, berbicara hubungan secara politik.
Namun, dia justru khawatir bergabungnya para pemimpin ini justru akan mereduksi ide-ide yang berbeda dalam melihat permasalahan bangsa.
“Hubungan personal bisa berubah. Tidak ada yang absolut dalam sebuah hubungan politik. Tetapi untuk keadaan negara sendiri, saya khawatir hal itu bisa mereduksi ide-ide yang berbeda,” jelasnya.
Gayus juga bicara soal hubungan antara Megawati dan Jokowi yang kini dikabarkan kian retak pascaPilpres 2024.
Dia berpandangan, bahwa terdapat tujuh poin permasalahan yang menyebabkan renggangnya hubungan Megawati dengan Jokowi. Namun, Gayus tak merinci ketujuh point tersebut.
Gayus justru menjelaskan detail soal istilah ‘petugas partai’ yang disebut-sebut awal keretakan hubungan Megawati dan Jokowi.
“Karena begini, saya harus memberi pandangan yang lurus mengenai petugas partai. Itu hal yang prinsip tidak hanya di Indonesia. Tidak ada negara yang memiliki prinsip itu. Bahkan Ibu menyebutkan, Ibu Mega, saya pun petugas partai. Partai harus bisa menerima apa-apa yang dianggap oleh partai itu perlu dilakukan. Itu intinya,” ungkapnya.
“Petugas partai itu yang pertama memberikan atau mendapat saran dan dilakukan. Itu yang utama. Karena petugas partai yang sudah keluar menjadi seorang penentu di pemerintahan, itu kan juga tidak bisa diintervensi. Tapi kalau penasihat kan boleh. Pendapat kan boleh. Saran kan boleh. Seperti itu,” jelasnya.
Berikut petikan wawancara lengkap dengan Gayus Lumbuun bersama Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra:
Prof, selain seorang pakar. Profesor kan juga pernah berada di sisi politik praktis. Pak Prabowo kemarin punya ide, namanya The Presidential Club. Rupanya konsep ini niru Amerika. Apa mungkin ini dilakukan? Dan bagaimana menurut Anda?
Ya, itu forum yang bernama The Presidential Club itu ada manfaatnya.
Kalau negara itu sudah betul-betul memahami, aware kepada proses di negara hukum masing-masing.
Negara hukum kita. Jadi artinya kalau negara itu sudah stabil. Ini sangat penting.
Dan negara tidak konflik yang keras seperti kita sekarang. Itu baik-baik saja.
Tapi ketika negara dalam keadaan seperti hari ini pro-kontra kuat sekali.
Pandangan-pandangan sangat kontroversial.
Menyoroti bukti hakim yang terending pada dipilih Pak Prabowo sebagai presiden.
Maka ini apakah akan bermanfaat secara genuin ya, bermanfaat secara murni.
Saya khawatir justru pertemuan ini melemahkan sikap-sikap kritis.
Melemahkan sikap-sikap yang tidak sama dengan proses yang dijalankan oleh presiden yang berkuasa.
Yang diikuti oleh para mantan presiden. Ini saya ada kekhawatiran itu sehingga itu melemahkan sebenarnya.
Melemahkan perjuangan-perjuangan lembaga-lembaga yang di luar pemerintahan.
Tapi apakah dari segi personal ini memungkinkan kalau kita lihat bahwa perjuangan Bu Mega dengan Pak Jokowi, hubungan Bu Mega dengan Pak SBY kan tidak begitu bagus.
Ya, bahkan panjang. Hubungan dengan Pak SBY cukup panjang.
Tapi itu tidak menjadi faktor utama buat pikiran saya.
Hubungan personal bisa berubah. Tidak ada yang absolut dalam sebuah hubungan politik.
Tetapi untuk keadaan negara sendiri, saya khawatir hal itu bisa mereduksi ide-ide yang berbeda.
Kritis, ya, jadi kritis yang berbeda dengan pandangan pemerintahan.
Pandangan presiden yang sudah memerintahkan.
Prof kalau boleh saya tahu nih, sepengetahuan Profesor, sebenarnya hubungan Bu Megawati dengan Pak Jokowi itu sekarang gimana?
Kalau disebutkan sebagai berita, ya, ini hanya berita, ya.
Tentu ada kekecewaan dari Bu Mega dengan benar-benar langkah Pak Jokowi.
Kalau kepada Pak Prabowo, saya tidak menemukan.
Saya termasuk koordinator hukum ketika Pak Prabowo dicalonkan wapres sebut Bu Mega tahun 2019.
Saya koordinator tim hukumnya.
Saya mimpin mengenai proses hukum rencana itu.
Jadi artinya saya memahami sekali bagaimana sikap Ibu Bu Mega kepada Pak Prabowo.
Ketika Ibu sebagai presiden pun beberapa hal saya catat.
Bahwa orang yang mengizinkan Pak Prabowo kembali ke Indonesia juga Bu Mega.
Mengizinkan ketika itu ada konflik hukum.
Ada hukum yang menganggap Pak Prabowo itu bersalah ketika itu.
Saya tidak bisa mendekati, tapi Ibu Bu Mega lah.
Itu juga diusaha dubesnya waktu itu Pak Luhut di Singapura.
Dia juga mendukung agar pak diundang lagi sebagai putra juga di bidang ekonomi, begawan ekonomi. Itu perkembangan yang positif dari Ibu Bu Megawati.
Berbagai kebaikan, tanpa kutip.
Mendukung Pak Jokowi di berbagai jabatan pemerintahan.
Dari wali kota, gubernur, presiden.
Itu di titik mana Ibu Mega kecewanya?
Di semua titik.
Tujuh titik.
Saya menemukan tujuh titik.
Apa itu?
Tadi, misalnya terakhir yang mengenai bagaimana tidak bisa. Karena begini, saya harus memberi pandangan yang lurus mengenai petugas partai.
Itu hal yang prinsip tidak hanya di Indonesia.
Tidak ada negara yang memiliki prinsip itu.
Bahkan Ibu menyebutkan, Ibu Mega, saya pun petugas partai.
Partai harus bisa menerima apa-apa yang dianggap oleh partai itu perlu dilakukan.
Itu intinya. Intinya, ya, jadi tidak mampu menjadi petugas partai yang benar.
Tidak mau mendengarkan.
Karena ada dua, ya.
Petugas partai itu yang pertama memberikan atau mendapat saran dan dilakukan.
Itu yang utama.
Karena petugas partai yang sudah keluar menjadi seorang penentu di pemerintahan, itu kan juga tidak bisa diintervensi.
Tapi kalau penasihat kan boleh.
Pendapat kan boleh.
Saran kan boleh.
Seperti itu.
Prof, kalau menurut Profesor nih, ke depan nih, bagusnya ini PDI Perjuangan itu masuk di dalam pemerintahan atau berada di luar luar? Menurut Profesor pribadi?
Ya, secara pribadi saya akan memanfaatnya sebagai negara.
Sebagai negara diperlukan check and balance.
Jadi sebaiknya, ya, tidak bergabung seluruh seutuhnya.
Bagaimana bergabung di legislatif dan di eksekutif? Kan begitu.
Nah, bergabung kan utuh kan keduanya.
Tapi mungkin tidak seluruhnya.
Prof, ini orang juga banyak bertanya ini. Menurut Profesor Gayus Lumbuun. Sebenarnya Pak Jokowi ini setelah tidak jadi presiden. Tentu orang bertanya-tanya, ngapain gitu kan? Kan PDIP sendiri secara tersirat sudah menganggap Pak Jokowi ini bukan kader lagi. Kira-kira gitu?
Ya, itu ambil pilihan beliau nanti. Beliau akan sama dengan kita semua.
Rakyat yang mempunyai kedaulatan berpolitik, berpendapat.
Beliau akan berpendapat, melihat untuk berpendapat atau memilih.
Kalau mau aktif di politik sebagai mantan presiden.
Ya, tentunya beliau akan memilih kendaraan-kendaraan diperlukan.
Pernah diisukan PDIP, pernah diisukan Golkar yang ditolak oleh beberapa bagian dari Golkar.
Jadi kami otomatis,
Karena syarat kami cukup berat. Harus lima tahun setidak-tidaknya jadi pengurus.
Jadi kalau mau jadi pengurus nggak mungkin, karena belum?
Sementara beliau jadi anggota biasa kan tidak mungkin juga menjadi presiden.
Nah, mungkin di partai lain dimungkinkan.
Anaknya saja yang bernama Kaesang juga memimpin sebuah partai hari ini.
Di sebuah partailah, sebagai ketua umum.
Itu hal yang tidak sulit, jadi itu silakan saja.
Prof, pasti bisa dijelaskan kalau masuk ke struktur pengurusan DPP PDI Perjuangan. Dari lima tahun, gimana, Pak? Lima tahun menjadi apa, Pak?
Menjadi pimpinan atau menjadi bagian yang menentukan di partai.
Dari proses organisasi, ya? Jadi, dia jadi pengurus dulu, kira-kira gitu, ya?
Ya, pengurus atau orang yang dianggap sudah aktif di PDIP itu selama lima tahun.
Tapi kan Pak Jokowi kan memegang kartu PDI Perjuangan sejak jadi wali kota, Pak?
Dia kan anggota. Karena anggota kan bisa saja.
Biar itu bisa.
Tapi untuk memimpin pimpinan-pimpinan strategis kan tidak.
Golkar pun punya syarat-syarat yang sulit ditembusin.
Prof, ini pertanyaan pamungkas dari saya. Kalau Profesor melihat, sebenarnya bagaimana konfigurasi politik republik ini ke depan?
Ya, bagi saya konfigurasi yang seharusnya ya harus memperhatikan ketemuan perundang-undangan yang selama ini dianggap Indonesia itu berhasil di demokrasi di awal ketika reformasi di zaman Pak SBY.
Diakui berhasil.
Bahkan seorang guru besar di Amerika itu namanya Profesor Jeffrey Winters itu mengakui bahwa berhasilnya Indonesia di bidang demokrasi.
Tapi hati-hati, demokrasi yang tidak dipimpin lakukan penegakan hukum yang baik akan terjadi maling-maling di negara itu. Jelas kalimatnya begitu.
Saya tidak mau mengurangi.
Indonesia akan dipimpin oleh maling-maling.
Itu kata pengamat Indonesia.
Kita juga punya pengamat Amerika di UI.
Pengamat Timur Tengah.
Juga saya yang berpendapat.
Menurut Jeffrey Winters ini menjadi satu tanda yang penting.
Karena terbukti lima tahun setelah beliau mengatakan itu sebuah seminar.
Separuh dari pimpinan kabupaten kota itu di OTT. Dan bermasalah.
Sebut saja, separuh dari 500-an kepala daerah tingkat kabupaten dan kota.
Itu separuhnya OTT.
Separuhnya.
Kena kasus korupsi.
Nah ini apa yang dikatakan Winters? Bahwa akan terjadi dipimpin oleh maling-maling.
Jadi saya kembali, penegakan hukum harus dari dasar utama.
Bagi konfigurasi nanti yang akan berlaku, berjalan di Indonesia. (tribun network/yuda)