,Menyelami, Jokowi Dalam Perspektif Demokrasi Modern
Penulis: Efraim Lengkong (pemerhati Hukum dan Sosial Politik)
KEKUASAAN POLITIK: kata kuasa dan politik, berasal dari bahasa Yunani Politeia (berarti kiat memimpin). Kuasa dan kekuasaan kerap dikaitkan dengan kemampuan untuk membuat gerak, tanpa kehadiran kuasa, kekuasaan tidak akan terjadi.
Kekuasaan politik adalah kewenangan (authority), kemampuan untuk membuat orang lain melakukan suatu hal dengan dasar hukum atau mandat yang diperoleh dari suatu kuasa, dalam kerangka hukum yang berlaku sehingga dalam penerapan “kekuasaan” tersebut menjadi “konstitusional”.
Sejak dilantiknya Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2014, PDI-Perjuangan menjadi partai yang sangat berkuasa di negeri ini. Fenomena ini tergambar jelas di mana mana-mana, hampir di semua wilayah-wilayah Indonesia, gubernur, bupati, wali kota bahkan lurah/kepala desa, dan kuota DPR RI/ DPRD dipegang oleh orang-orang yang berlatar belakang “banteng moncong putih”.
Hak preogratif presiden terkesan “mandul”, semuanya atas persetujuan “Ibu Suri”. Hal ini dibuktikan dengan tidak dilantiknya Maruarar Sirait karena Megawati tidak menyetujuinya.
Walaupun Jokowi bersikukuh menelpon Megawati Sukarnoputri untuk merestui Maruarar Sirait masuk Kabinet tapi Megawati tidak memberi izin, (JariUngu.com 28/10- 2014) “Terungkap, Maruarar Sirait tidak direstui Megawati masuk Kabinet”.
Dalam pemberitaan tersebut: Pak Jokowi menginginkan Maruarar menjadi Menkoinfo tapi bu Mega tak memberi izin ungkap sumber istana.
Masih segar dalam ingatan publik, pesan perdana Megawati kepada Jokowi saat didukung sebagai capres jelang Pilpres Mei 2014.
“Pak Jokowi sampeyan tak jadikan capres, tapi Anda adalah petugas partai yang harus menjalankan tugas partai,” kata Megawati di kantor Dewan Pimpinan Pusat PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, 14 Mei 2014.
Seiring waktu Jokowi terpilih kembali di Pilpres 2019. Sayangnya, kepemimpinan Jokowi di periode ke 2 (kedua) sebagai presiden tidak membuat Megawati berhenti melepaskan predikat Jokowi sebagai “petugas partai” di depan publik.
Jokowi yang kerap disebut sebagai petugas partai oleh Megawati, di akhir jabatannya, mempertunjukkan kemampuan dan keberaniannya dalam mengendalikan konstelasi politik di Indonesia.
Jokowi yang disebut petugas partai, oleh Ibu Suri kini berubah menjadi “political acrobatics” yang andal memainkan “sim salabim”. Hebatnya permainan tersebut, disukai dan dicintai oleh 80,8 persen masyarakat Indonesia dan digandrungi oleh kaum milenial.
Putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, menggegerkan para politisi, usai diumumkan sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI),
Mega sempat mengungkit peran PDIP bagi Jokowi di hadapan ribuan kader PDIP “Pak Jokowi itu ya ngono loh, mentang-mentang. “Lah iya, padahal Pak Jokowi kalau enggak ada PDI Perjuangan juga, duh kasihan deh,” kata Megawati.
Ketika Gibran Rakabuming Raka ikut dalam kandidat pilpres mendampingi Prabowo. PDIP kecewa, marah, ibarat “air susu dibalas tuba” oleh Jokowi dan keluarganya. Mereka berteriak “etika, integritas”, “Inkonstitusional” dan lain-lain tidak membuahkan hasil.
Teriakan mereka, bagaikan “menepuk air di dulang”, terpercik “muka sendiri”. Kekalahan pasangan, 01 dan 03 di pilpres 2024 merupakan hasil kecongkakan paslon dan pendukungnya.
Bagaikan si “buruk rupa”, yang menyalahkan “cermin”, mereka menyalahkan dan tidak mau menerima keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 360 Tahun 2024.
Menutupi rasa malu, kubu 01- 03 melayangkan permohonan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) Perkara Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024. Dalil dari gugatan kubu pasangan calon 01 dan 03 intinya mempermasalahkan proses pencalonan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Mengamati proses persidangan di MK, dapat disimpulkan bahwa gugatan kubu 01- 03 dilihat dari segi hukum dapat disebut “terang benderang” akan ditolak oleh Majelis hakim MK.
Hal ini tentunya disadari oleh tim hukum kubu 03, dan meminta Ketum PDIP Megawati mengirim “amicus curiae” atau “friends of court” dalam perkara PHPU di MK. Tentunya dengan maksud, “melibatkan “pihak ketiga di luar pihak berperkara untuk terlibat dalam peradilan”.
“Friends of court” yang dilayangkan Megawati ke MK merupakan upaya untuk coba mempengaruhi pertimbangan hakim konstitusi untuk keluar dari pedoman sebagai mana, fungsi dan peran MK di Indonesia yang sudah dilembagakan dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945.
Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dengan dalih “Habis Gelap, Terbitlah Terang” tidak dapat mempengaruhi hakim konstitusi untuk keluar atau mencari untuk penemuan hukum (rechtsvinding)
Gugatan dari kedua kubu 01 dan 03 dalam perkara PHPU yang sejatinya perselisihan hasil pemilihan umum, tapi anehnya gugatan pemohon 01-03 di MK, Isi gugatan bukan PHPU, tetapi bantuan sosial (bansos) integritas dan etika.
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa gugatan pemohon kesemuanya “obscuur libel” (kabur). Dan pasti ditolak, hal itu jelas dalam dalil pemohon, kubu 01 dan 03, “bansos”, “Gibran tidak konstitusional’, cawe-cawe pemerintah (presiden). dengan “petitum” pilpres diulang tanpa Gibran dan 03 meminta paslon 02 Prabowo – Gibran di disk kualifikasi, “woww”, kata Natalius Pigai.
Pisah jalan Jokowi dengan partai yang sudah membesarkannya menjadi tanda tanya publik, timbul pertanyaan apakah ada semacam “hidden political problems” yang sejauh ini terpendam?
Dalam pengamatan penulis, tindakan Jokowi untuk “keluar jalan” tentu “ada hal yang lebih penting bagi bangsa”.
Prof. Dr. H. Sjarifuddin Hasan MM., MBA, “Kekuasaan Yang Terlalu Lama Menyebabkan Otoritarian”. Pemaknaan dari apa yang dikatakan, Wakil Ketua MPR RI Prof. Dr. H. Sjarifuddin Hasan MM., MBA, (MPR.go.id, 30 Januari 2023) pentingnya pembatasan periode kekuasaan.
Mulai dari presiden, gubernur, bupati dan wali kota hingga kepala desa. Tidak boleh ada satupun unsur kekuasaan, yang berlaku absolut. Dapat dimaknai bahwa suatu kepemimpinan apabila terlalu lama dimonopoli oleh suatu “kekuasaan” atau “kelompok” akan berdampak seolah-olah negara ini milik mereka. Dalam arti dari pusat sampai di provinsi, kabupaten/kota, kelurahan/desa.
Dalam hidup berdemokrasi moderen, akan tidak ada henti-hentinya berinovasi’. Tak’ kala “jalan keluar” tidak ditemukan, maka langkah yang terbaik adalah, “keluar jalan”
“Keluar Jalan” merupakan “preferensi politik” Yang terbaik. “Hal ini tentunya sudah dilihat dan dipahami Jokowi”.(*)