Mengawal Sidang Praperadilan Pegi Setiawan, Kuasa Hukum Ungkap Sederet Kejanggalan
Spanduk yang dipasang di depan Pengadilan Negeri (PN) Bandung saat sidang praperadilan Pegi Setiawan, Senin, 1 Juli 2024.
KOMPAS.com -Polda Jawa Barat menyanggah tuduhan Pegi Setiawan bahwa mereka telah salah dalam menetapkan Pegi sebagai tersangka kasus pembunuhan dua remaja asal Cirebon, Vina dan Eky.
Sanggahan tersebut disampaikan Tim Hukum Polda Jawa Barat dalam sidang gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Bandung pada Selasa (02/07).
Sehari sebelumnya, Pegi menuding bahwa polisi telah melakukan "error in persona" alias salah menetapkan tersangka. Oleh sebab itu, Pegi menggugat agar PN Bandung membatalkan status tersangkanya.
Dalam dalil gugatannya yang dibacakan sehari sebelumnya, pihak Pegi mengungkap 18 temuan kejanggalan dalam proses penangkapan, penetapan tersangka hingga penahanannya.
Salah satu kejanggalan yang mengemuka adalah ciri fisik Pegi Setiawan berbeda dengan ciri Pegi alias Perong yang diungkap Polda Jawa Barat melalui poster daftar pencarian orang (DPO) yang mereka sebar.
Akan tetapi, Polda Jawa Barat bersikukuh bahwa Pegi Setiawan adalah orang yang sama dengan Pegi Perong, sosok yang pernah menjadi buronan selama delapan tahun dan sempat mereka sebut sebagai "otak pembunuhan" Vina.
Polisi memaparkan tujuh poin, antara lain dari keterangan saksi hingga pencocokan data dan identitas untuk menyanggah klaim Pegi. Salah satunya dari basis data Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil).
“Dengan demikian berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut, tentang dalil pemohon [pihak Pegi Setiawan] yang menyatakan bahwa penetapan tersangka oleh termohon salah orang atau error in persona sangatlah keliru dan sepantasnya dalil tersebut ditolak,” kata anggota tim bidang hukum Polda Jabar yang menolak ditulis namanya sebagaimana dilaporkan wartawan Yuli Saputra kepada BBC News Indonesia.
Tim kuasa hukum Pegi kemudian menyebut jawaban polisi "lemah dan melantur" karena tidak menunjukkan bukti-bukti saintifik yang menunjukkan keterlibatan Pegi dalam pembunuhan tersebut sehingga patut ditetapkan sebagai tersangka.
Dihubungi terpisah, psikolog forensik Reza Indragiri Amril menilai gugatan praperadilan Pegi berpeluang besar untuk dikabulkan karena Polda Jabar telah mengabaikan kerja saintifik dalam penyelidikannya.
“Pegi Setiawan ditersangkakan mengotaki pembunuhan berencana dan memperkosa korban. Tapi bukti-bukti yang diperlihatkan saat konferensi pers sebatas dokumen kependudukan. Padahal, kasus Pegi bukan terkait pemalsuan identitas,” ujar Reza Indragiri kepada BBC News Indonesia.
Gugatan praperadilan ini menambah panjang kontroversi yang meliputi kasus hukum pembunuhan Vina dan Eky, dua remaja yang ditemukan tewas pada 27 Agustus 2016 di sebuah jalan layang di Cirebon, Jawa Barat.
Pegi Setiawan ditangkap pada 21 Mei 2024 di Bandung. Polisi mengeklaim Pegi Setiawan adalah sosok Pegi Perong yang telah menjadi buronan mereka selama delapan tahun.
Tetapi, Pegi secara mengejutkan membantah itu dengan berteriak di hadapan wartawan.
“Saya tidak pernah melakukan pembunuhan itu. Ini fitnah. Saya rela mati,” kata Pegi dalam konferensi pers pada Minggu (26/05).
Pengakuan Pegi itu kemudian memicu keraguan terhadap penyelidikan polisi dalam kasus ini.
Apa saja kejanggalan yang diungkap kuasa hukum Pegi dan apa jawaban polisi?
Deretan kejanggalan versi kuasa hukum Pegi
Tim kuasa hukum Pegi mengeklaim telah terjadi pelanggaran prosedur dalam penangkapan, penahanan hingga penangkapan tersangka kliennya.
Muhtar Efendi, salah satu anggota tim kuasa hukum Pegi, mengatakan bahwa Pegi tidak pernah diperiksa oleh polisi sebagai saksi sejak 2016 hingga ditetapkan sebagai tersangka pada 21 Mei 2024.
Pegi juga disebut baru mengetahui dirinya ditetapkan sebagai tersangka setelah ditangkap.
“Perlu diketahui, apabila mengacu pada surat penangkapan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyidikan kepada pemohon, padahal sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan,” kata Muhtar dalam persidangan.
Selain soal prosedur penangkapan, kuasa hukum Pegi juga merasa telah terjadi error in persona atau salah orang.
Menurut Muhtar, ciri-ciri fisik Pegi Setiawan berbeda dengan yang dideskripsikan polisi dalam poster daftar pencarian orang (DPO) yang disebar ke media-media dan akun Instagram Humas Polda Jawa Barat.
Salah satu yang menjadi DPO adalah “Pegi alias Perong” dengan ciri berusia 22 tahun pada 2016, saat kejadian tewasnya Vina dan Eky, dan telah berusia 30 tahun pada tahun ini.
Sosok Pegi alias Perong disebut tinggal di Desa Banjarwangun, Kecamatan Mundo, Kabupaten Cirebon. Ciri-ciri khususnya yakni; tinggi badan 160 cm, badan kecil, rambut keriting, dan kulit hitam.
“[Ciri-ciri] sebagaimana yang diumumkan oleh Polri sangat jauh, berbeda dengan ciri-ciri yang melekat pada diri Pegi Setiawan yang saat ini ditetapkan sebagai tersangka,” kata Muhtar.
Menurut Muhtar, Pegi Setiawan memiliki ciri-ciri berambut lurus, berusia 27 tahun saat ditangkap, dan berdomisili di Desa Kepongpongan, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon.
Muhtar juga mempertanyakan prosedur penetapan DPO oleh polisi.
Dia mengacu pada pasal 17 ayat 6 Peraturan Kapolri tentang Manajemen Penyidikan bahwa DPO adalah tersangka yang pernah dipanggil, namun tidak jelas keberadaannya.
Sementara Pegi disebut tidak pernah melarikan diri karena dia juga tidak pernah dipanggil oleh Polda Jabar untuk diperiksa.
”Berdasarkan fakta hukum itu bahwa termohon tidak melakukan pemanggilan terlebih dahulu, maka demi hukum penetapan tersangka adalah bertentangan dengan perundang-undangan, prosedur standar operasi Polri, dan beralasan batal demi hukum,” ujarnya.
Di luar prosedur penetapan tersangka hingga penahanannya, kuasa hukum Pegi juga kembali mengutarakan klaim bahwa kliennya tidak ada di Cirebon saat Vina dan Eky tewas.
Pegi disebut bekerja sebagai kuli pembangunan rumah dan mereka mengeklaim ada sejumlah orang yang menjadi saksi atas alibi Pegi.
Selain itu, Pegi juga mengaku tidak mengenal Vina dan Eky.
Bagaimana jawaban polisi?
Dalam jawabannya, Polda Jabar menyatakan Pegi Setiawan dan Pegi alias Perong adalah orang yang sama.
Klaim itu berdasar pada keterangan sejumlah saksi, salah satunya Sudirman, yang kini menjadi terpidana dalam kasus pembunuhan Vina.
Sudirman disebut membenarkan bahwa Pegi terlibat ketika polisi memperlihatkan foto Pegi Setiawan yang didapat saat menggeledah rumahnya pada 2016.
“Sudirman menyebutkan foto yang saksi perlihatkan betul foto Pegi Setiawan alias Perong, orang yang bersama-sama melakukan tindak pidana perlindungan anak dan atau pembunuhan berencana dan atau pembunuhan,” papar Anggota Tim Bidkum Polda Jabar.
Saat pemeriksaan saksi tersebut, Sudirman masih mengingat Pegi Setiawan alias Perong memiliki tato di tangan kanan, “kalau tidak salah bergambar bintang.”
Polisi juga mengeklaim telah mencocokkan data antara Pegi Setiawan dan Pegi alias Perong melalui basis data Dukcapil.
Mekanismenya dilakukan dengan mencocokkan wajah Pegi dengan foto wajah hasil pencarian ke data Dukcapil.
Berdasarkan keterangan ahli Inafis, Eko Wahyu Bintoro, ada sejumlah kandidat dengan nilai kemiripan yang tinggi.
Pencocokkan foto wajah orang yang telah diamankan dengan wajah dari pencarian
"Dari hasil identifikasi wajah didapatkan kemiripan di atas 90 persen identik dengan data demografi dan biometric, perbandingan 12 titik persamaan sidik jari sesuai antara sidik jari dari AK23 (metode pendaftaran pelayanan sidik jari melalui digital) dan dari database KTP elektronik Dukcapil,” beber Anggota Tim Bidkum Polda Jabar.
Selain itu, Tim Bidkum Polda Jabar memiliki alat bukti berupa dokumen kependudukan dan pendidikan Pegi Setiawan beserta keluarga yang didapat saat penggeledahan, seperti surat kelahiran Pegi Setiawan yang asli, rapor asli SD dan SMP Pegi Setiawan, kartu keluarga, dan ijazah.
Atas dasar itu, Polda Jabar mengeklaim mereka tidak salah menetapkan tersangka sehingga meminta hakim menolak gugatan Pegi Setiawan untuk membatalkan status tersangkanya.
Bukti apa yang dimiliki polisi terkait Pegi?
Usai menangkap Pegi, Polda Jabar menyatakan barang bukti keterlibatan Pegi sesuai dengan yang ada di putusan pengadilan tersangka lain dalam perkara ini.
Putusan yang dimaksud adalah putusan Pengadilan Negeri (PN) Cirebon pada 19 Mei 2017 terhadap salah satu terdakwa, Hadi Saputra.
Sementara bukti-bukti fisik yang ditunjukkan polisi sejauh ini lebih banyak berupa dokumen kependudukan.
Bukti-bukti itu yakni:
- Dua lembar STNK kendaraan roda dua dengan nomor polisi B-3408-TFV dan B-6247-PIK
- Dua kunci kendaraan roda dua
- Satu lembar asli surat kelahiran a.n. Pegi Setiawan
- Dua buku rapor asli serta ijazah asli SD dan SMP atas nama Pegi Setiawan
- Dua lembar fotokopi kartu keluarga
- Satu lembar fotokopi biodata pendudukan atas nama Kartini
- Dua lembar ijazah hasil UN SMP atas nama Pegi Setiawan
- Satu lembar surat pemberitahuan SMP atas nama Pegi Setiawan
- Empat lembar foto Pegi
- Satu lembar Kartu Indonesia Pintar atas nama Pegi Setiawan
- Satu lembar fotokopi atas nama Lusiana
- Dua buah dus box ponsel Infinix dan Samsung Galaxy A05
Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat Komisaris Besar Jules Abraham Abast juga pernah menyebut bahwa Pegi adalah sosok yang mengejar korban Eky dan Vina menggunakan sepeda motor Honda Beat berwarna oranye.
“Selanjutnya memukul korban Rizky dan Vina menggunakan balok kayu, kemudian membonceng Rizky dan Vina menuju tempat kejadian perkara bersama saksi,” jelas Jules.
Lalu Pegi disebut memukul Eky menggunakan balok kayu, lalu memperkosa Vina dan membunuh Vina dengan cara dipukul menggunakan balok kayu.
Jules mengatakan itu didapat berdasarkan keterangan saksi yang bekerja di sekitar tempat kejadian perkara selama lima tahun sehingga mengenal wajah orang-orang yang biasa nongkrong di area itu.
Pada saat kejadian, saksi itu disebut mengenali wajah lima orang pelaku, salah satunya Pegi.
Alasan lainnya polisi meyakini Pegi Setiawan sebagai pelaku adalah karena dia disebut pernah “menghilangkan identitasnya” menjadi Robi Setiawan. Belakangan, kuasa hukum Pegi menyatakan bahwa Robi Setiawan adalah adik dari Pegi.
"Jawaban polisi lemah dan melantur"
Tim kuasa hukum Pegi menilai jawaban Polda Jabar "lemah dan melantur".
Pasalnya, fakta-fakta hukum yang menyatakan Pegi Setiawan adalah Pegi Perong hanya berdasarkan kesaksian dan tidak berdasarkan bukti saintifik, misalnya ditemukannya sidik jari atau DNA kliennya di tempat kejadian perkara (TKP).
Bukti-bukti mengenai pencocokkan wajah dan tato di lengan Pegi Setiawan juga mereka nilai tidak bisa dikaitkan dengan peristiwa pembunuhan Vina dan Eki.
“Kalau yang pencocokkan-pencocokkan foto, ini kan foto yang diambil di 2016, kemudian dicocokkan sama data Dukcapil. Ya pasti cocok Pegi Setiawan, tapi mana Pegi Perong-nya? Pasti cocok lah," kata Insank Nasaruddin.
"Makanya saya bilang yang dimajukan dalam bukti surat, tidak ada kaitannya sama Pegi Setiawan. Sama sekali tidak ada kaitannya.”
“Kalau tato, itu kan sudah lama dihapus juga. Jadi itu sudah lama terhapus, kemudian tetap saja dimasukkan. Dan itu tidak ada kaitannya,” sambung Insank.
Dianggap tak bekerja secara saintifik
Psikolog forensik Reza Indragiri Amril mempertanyakan apakah Polda Jawa Barat memiliki bukti yang cukup perihal keterkaitan Pegi dalam kasus ini.
Pasalnya, bukti yang ditunjukkan sejauh ini bukan lah bukti saintifik, melainkan lebih banyak dokumen kependudukan yang tidak menunjukkan bagaimana Pegi terlibat dalam kasus itu.
Polisi dinilai terlalu mengandalkan keterangan saksi dalam interogasi.
“Keterangan adalah barang yang paling potensial merusak pengungkapan fakta. Mana senjata yang dipakai untuk membunuh? Sidik jari dan darah siapa yang tertinggal di situ?” tanya Reza.
“Apa alat bukti bahwa seseorang merupakan otak, bukan sebatas pelaku, pembunuhan, sekiranya peristiwa pembunuhan itu memang ada?” sambungnya.
Menurut Reza, pengakuan saksi bisa saja palsu. Oleh sebab itu, diperlukan bukti-bukti saintifik untuk mengungkap keterlibatan seseorang dalam tindak pidana.
Ketika penyidik terlalu bersandar pada bukti keterangan, ada peluang cara-cara kekerasan digunakan dalam ruang interogasi.
“Penyidik seolah memaksakan seluruh terperiksa untuk menyampaikan hal-hal yang diinginkan penyidik, bukan fakta atau kenyataannya,” papar Reza.
Atas dasar itu, Reza memprediksi gugatan praperadilan Pegi kemungkinan besar bisa dikabulkan.
“Alat bukti tidak tersedia. Kalau pun ada, jangan-jangan baru diperoleh setelah Pegi Setiawan ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan, saya mempertanyakan apakah itu semua, jika ada, diperoleh lewat cara-cara legal,” kata Reza.
Bagaimana riwayat kasusnya?
Vina dan Eky, dua remaja berusia 16 tahun, ditemukan tewas di salah satu jalan layang di Cirebon pada 27 Agustus 2016.
Polisi kemudian menetapkan 11 orang tersangka yang disebut sebagai anggota geng motor, dan diduga terlibat dalam pembunuhan.
Seiring berjalannya waktu, delapan orang telah divonis bersalah sedangkan tiga orang lainnya dinyatakan buron yaitu Pegi alias Perong, Andi, dan Dani.
Kasus ini kemudian mengemuka kembali setelah film yang mengangkat kasus ini berjudul Vina: Sebelum 7 Hari dirilis.
Perilisan film itu membuat publik membicarakan kembali kasus hukum terkait pembunuhan Vina dan Eky di dunia nyata. Apalagi, ada tiga orang yang belum ditangkap.
Namun di sela pembahasan soal kasus ini, para terdakwa yang telah menjalani hukuman mengaku menjadi korban salah tangkap polisi. Salah satunya adalah Saka Tatal.
Pada 21 Mei 2024, polisi pun menangkap Pegi setelah delapan tahun kasus ini berlalu.
Pegi adalah satu-satunya yang ditangkap dari tiga orang yang masuk daftar pencarian orang (DPO). Polisi kemudian menghapus dua orang lainnya dari DPO mereka.
Penangkapan Pegi lagi-lagi menuai kontroversi karena ciri-ciri fisik yang disebutkan dalam poster DPO sebelumnya berbeda dengan ciri fisik Pegi Setiawan yang ditangkap.
Dalam konferensi pers yang digelar Polda Jabar akhir Mei lalu, Pegi membantah tuduhan keterlibatannya dalam pembunuhan Vina dan Eky,
"Saya tidak pernah melakukan pembunuhan itu. Ini fitnah. Saya rela mati," tegas Pegi sambil ditarik pergi oleh sejumlah aparat polisi.
Pegi melalui kuasa hukumnya, Sugianti Iriani, akhirnya mengajukan gugatan praperadilan.
Wartawan di Bandung, Jawa Barat, Yuli Saputra berkontribusi dalam liputan ini