Petinggi XTC Sebut Pelaku di Balik Misteri Kasus Vina Cirebon Main Rapi,Bukan Kelas Ecek-ecek
TRIBUNJAKARTA.COM - Makin diusut, kasus Vina Cirebon dan Eky makin bak benang kusut.
Pembina XTC Kabupaten Cirebon, Doci, memiliki opini terkait peristiwa yang merenggut nyawa sepasang kekasih itu.
Doci mengungkapkan kasus kematian Vina dan Eky bukan disebabkan karena permasalahan geng motor, seperti yang tertuang di dalam isi putusan.
Menurutnya, ada yang melakukan framing agar kasus ini dipicu karena ulah geng motor.
"Kalau dari opini saya pribadi ini bukan kasus geng motor. Apa yang saya lihat ini mah dari pelaku aja yang saya tahu ada beberapa bendera (memakai atribut geng motor). Pelaku yang ditangkap walaupun bukan anggota tapi atributnya, tatonya sudah mencirikan. Simpatisan lah."
"Kalau ini bentrok antar geng motor enggak mungkin XTC diserang sama tiga bendera (geng motor) yang berbeda-beda itu. Saya juga makanya lihat kesaksian bu Titin, bahwa 2016 itu bahkan media disuruh mem-blow up geng motor," jelas Doci seperti dilansir dari tayangan Youtube Dedi Mulyadi yang tayang pada Senin (1/7/2024).
Doci tidak yakin bahwa tujuh terpidana yang sudah dijebloskan ke dalam bui nekat melakukan pembunuhan itu.
Kendati demikian, ia tetap berbelasungkawa terhadap Eky yang merupakan anggota dari XTC.
"Cuman saya tidak yakin kalau pelakunya mereka," tambahnya.
Pelaku profesional
Sindiran Halus Dedi Mulyadi Soal 2 Pembawa Eky dan Vina ke Flyover Talun Ternyata Fiktif
Doci meyakini bahwa pembunuhan ini bukan dilakukan oleh pembunuh yang amatiran.
Pasalnya, ia melihat tidak adanya bekas darah yang berceceran di jalan ketika para pelaku membawa Vina dan Eky ke jembatan layang Talun, tempat mereka ditemukan tewas tergeletak.
"Karena saya meyakini ini kayak dari TKP awal juga sampai ke jembatan layang itu yang katanya dibonceng jadi hilang terus ditaruh ditengah, korban kan berceceran pak harusnya ada jejak-jejak darah," jelasnya.
Menurut Doci, pembunuh Vina dan Eky melakukan perbuatan sadis itu dengan profesional.
"Ini mah pembunuhnya udah profesional pak, pakai mobil. Dibuang di situ. Tidak meninggalkan jejak dan menimbulkan konflik. Makanya kayak Pegi Setiawan yang ditahan ini saya juga kasihan. Mudah-mudahan pengacaranya bisa membebaskan dia," katanya.
Dedi Mulyadi menilai sebenarnya kasus pembunuhan ini tak rumit.
Asalkan, kata Dedi, penyidik Polda Jawa Barat (Jabar) yang menyidik di tahun 2016 silam terbuka hatinya untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi.
"Para penyidiknya yang lama yang menyidik kasus Eky dan Vina yang melahirkan terpidana ini terbuka hatinya untuk mau mengoreksi bahwa ini ada aspek-aspek yang belum dipenuhi seperti alat bukti dan sejenisnya," pungkas Dedi.
Dibawa 'Jin Ifrit'
Dedi Mulyadi, keheranan dengan pernyataan Polda Jawa Barat (Jabar) yang menyatakan bahwa dua dari tiga daftar pencarian orang (DPO) itu fiktif.
Padahal, peran dua DPO tersebut tertuang jelas dalam isi putusan.
Ketika dua DPO tersebut dinyatakan fiktif, maka perkara pembunuhan dua sejoli itu harus digugurkan.
"Seharusnya kalau pada waras, peristiwa itu tidak bisa dilanjutkan," ujar Dedi dikutip dari Channel Youtube-nya.
Dedi memiliki beberapa alasan kasus ini harus diberhentikan.
"Eky jadi korban pembunuhan karena dipukul pakai balok. Yang pukul balok adalah Dani. Kemudian Daninya dihilangkan oleh Polda. Pembunuhan itu tidak ada (seharusnya)," kata Dedi.
"Saya misalnya dituduh ya membunuh. Dia yang memukul korban sampai jatuh, pecah kepalanya itu. Dia nya oleh polisi dinyatakan tidak pernah ada, berarti saya ketemu bapak sudah dalam keadaan terbunuh oleh jin.
Kemudian, dalam isi putusan, korban Vina menjadi korban pemerkosaan.
Diceritakan bahwa celana korban dipelorotkan oleh Andi, salah satu DPO lainnya.
Namun, Andi dinyatakan tidak ada oleh polisi.
"Berarti dia celananya merosot sendiri?" tanya Dedi heran.
Terakhir, hal yang membuat Dedi yakin peristiwa ini harus digugurkan ketika korban Vina dan Eky dibawa oleh Andi dan Dani menuju Jembatan Talun.
Akan tetapi, kedua DPO itu dinyatakan fiktif.
"Orang yang bawanya sudah dianggap tidak ada. Berarti, itu dua korban datang dari TKP (pembunuhan) ke flyover itu dibawa oleh jin infrit," pungkasnya.
Irjen Purn Polri sebut kasus Vina janggal
Meski terus diusut, kasus Vina nyatanya malah semakin kusut.
Banyak kejanggalan - kejanggalan yang belum terjelaskan.
Bahkan, Inspektur Jenderal (Irjen) Purnawirawan, Aryanto Sutadi mengakui bahwa kasus Vina diselimuti banyak kejanggalan.
Pensiunan jenderal bintang dua itu melihat ketidaklaziman penanganan kasus pembunuhan sepasang kekasih tersebut, bahkan sudah terjadi sejak awal, yaitu penyidikan.
"Kejanggalan ada mulai dari penyidikan, sampai penuntutan, sampai putusan dan inkrah (putusan berkekuatan hukum tetap," ujar Penasihat Kapolri tersebut seperti dikutip dari Rakyat Bersuara di iNews yang tayang pada Rabu (20/6/2024).
Ia menjelaskan kejanggalan pertama terjadi ketika pihak kepolisian menyebut kasus ini merupakan kasus kecelakaan lalu lintas.
"Kok, kasus (kecelakaan) itu lukanya parah kayak gitu?" tanya Aryanto.
Kemudian, kedua, Iptu Rudiana melanggar prosedur dengan menangkap dan menginterogasi sendiri para pelaku.
Seharusnya Rudiana menyerahkan ke bagian Reserse Kriminal (Reskrim).
"Kemudian abis ditangkep digebuki, ada juga saksi yang diarahkan," tambahnya.
Selain kejanggalan ada pada penyidikan, penanganan di pihak kejaksaan juga bikin dahi Aryanto berkerut.
Kenapa Jaksa menerima begitu saja BAP yang dinilai 'gombal' dari penyidikan tanpa memeriksa alat bukti.
"Kalau berkas dikirim ke jaksa, kewajiban jaksa ini untuk membuktikan apakah cukup enggak buktinya tapi kenyataannya, tidak. Kita sendiri heran loh, kasus pembunuhan kayak gitu kok DNA enggak diambil," katanya.
Sampai ke pengadilan pun, ujar Aryanto, hakim berani memutus hukuman kepada para pelaku dengan bukti yang terlalu sederhana.
"Apalagi mutusnya Pasal 340, pemerkosaan, itu kalau hakim yang bener, dalam pembuktian harusnya scientific crime investigation ditanya tapi kok waktu itu tidak dan diputus," katanya lagi.
Dua Kuasa Hukum Pegi Setiawan, Toni RM dan Marwan Iswandi sepakat dengan pengakuan Aryanto.
Toni RM bahkan sampai mengacungi jempol dengan pengakuan Aryanto.
Hotman minta kejaksaan tolak berkas Pegi
Kuasa Hukum Vina, Hotman Paris, meminta pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Barat agar menolak mentah-mentah berkas perkara Pegi Setiawan dari penyidik Polda Jawa Barat.
Sebab, kata Hotman, jika berkas diterima dan diserahkan ke pengadilan negeri, maka akan ada dua putusan pengadilan yang saling bertentangan di tahun 2016 dan 2024.
"Tahun 2016 disebutkan, pelakunya 11 tapi tahun 2024 disebutkan di BAP, dua dari 11 ini DPO dinyatakan fiktif bertentangan kan. Pertentangan yang kedua disebutkan bahwa Pegi ini adalah pelaku kata para saksi, tapi di BAP 2024, lima dari pelaku menyatakan Pegi bukan pelaku," kata Hotman Paris seperti dilansir Cumicumi pada Sabtu (29/6/2024).
Padahal, dua DPO yang disebut fiktif oleh pihak kepolisian itu memiliki peran yang tertuang dalam isi putusan.
Dua DPO tersebut berperan memerkosa dan membawa korban ke flyover.
"Jadi kalau Kasus Pegi diadili akan menimbulkan semakin buram, semakin bertentangan kasus jadi mendingan kejaksaan meminta agar kasus 2016 disidik ulang, diperiksa bahkan diminta tim pencari fakta," katanya.
Hotman Paris konsisten
Hotman juga konsisten mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo untuk membentuk Tim Pencari Fakta.
Pasalnya, hanya dengan jalur itu, kasus Vina yang 'pabaliut' bisa tertuntaskan.
"Ini kasus tidak bisa terbongkar hanya dengan jalur KUHAP atau jalur persidangan Pegi. Satu-satunya harus dibentuk tim pencari fakta dari universitas kalau memang mau ditemukan pelaku sebenarnya," ujar Hotman.
Hotman melanjutkan menyeret Pegi Setiawan ke persidangan hanya taktik yang digunakan penyidik untuk memperlihatkan bahwa kasus ini seolah-olah telah selesai.
"Padahal masyarakat semakin bingung, karena nanti akan ada dua putusan pengadilan yang saling bertentangan," pungkasnya.
Diketahui, pada 2016, polisi menetapkan 11 tersangka dalam kasus pembunuhan Vina dan kekasihnya, Muhammad Rizky Rudian atau Eky, di Cirebon, Jawa Barat.
Delapan pelaku telah diadili, yakni Jaya, Supriyanto, Eka Sandi, Hadi Saputra, Eko Ramadhani, Sudirman, Rivaldi Aditya Wardana, dan Saka Tatal.
Tujuh terdakwa divonis penjara seumur hidup.
Sementara satu pelaku bernama Saka Tatal dipenjara delapan tahun karena masih di bawah umur saat melakukan kejahatan tersebut.
Saka saat ini diketahui sudah bebas.
Delapan tahun berlalu, polisi menetapkan Pegi alias Perong sebagai tersangka terakhir dalam kasus ini.
Polisi juga merevisi jumlah tersangka menjadi 9 orang dan menyebut bahwa 2 tersangka lain merupakan fiktif belaka.
Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel https://whatsapp.com/channel/0029VaS7FULG8l5BWvKXDa0f Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya