Kebimbangan Golkar pada Pilkada Jakarta, Usung Ridwan Kamil tapi Bisa Menyulut Kecemburuan Elite Partai
Kegamangan Golkar di Pilkada Jakarta 2024. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil atau Kang Emil (kanan) resmi diumumkan sebagai kader Partai Golkar di kantor DPP Partai Golkar, Jakarta Barat, Rabu (18/1/2023).
KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic), Ahmad Khoirul Umam mengungkap kegamangan Partai Golongan Karya (Golkar) dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2024.
Menurutnya, Partai Golkar yang menjadi rumah politik bagi Ridwan Kamil (RK) akan menghadapi sejumlah konsekuensi jika mencalonkannya ke Pilkada DKI.
Pertama, konsolidasi kekuatan politik Golkar di Jabar yang sukses menambah suara dan jumlah kursi besar pada tingkat lokal maupun nasional, akan menjadi tercerai berai.
Tidak hanya itu, status RK sebagai "mualaf" politik atau sosok yang baru saja masuk ke Golkar, berpotensi melahirkan kecemburuan dari beberapa elite internal partai.
"Bahkan, meletakkan RK di panggung Jakarta berpeluang menjadi ancaman bagi elite partai untuk masuk dalam kontestasi kepemimpinan nasional di Pemilu (Pemilihan Umum) 2029 mendatang," ujar Umam kepada Kompas.com, Senin (1/7/2024).
Hitung-hitungan usung RK untuk lawan Anies
Di sisi lain, Umam berujar, Golkar dan Koalisi Indonesia Maju (KIM) tentu akan menimbang tokoh yang mampu melawan Anies Baswedan pada panggung Pilkada DKI Jakarta.
"Jika bukan RK, lalu siapa tokoh yang layak dan sepadan untuk bisa diusung melawan Anies Baswedan, yang terbukti memiliki akar politik dan modal elektoral memadai di Jakarta?" kata dia.
Oleh karena itu, Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina Jakarta Selatan ini menilai, Partai Golkar harus berhitung cermat dan taktis melalui beberapa skema.
Jika Ridwan Kamil diusung dalam Pilkada DKI Jakarta 2024, perlu adanya kontrak politik yang jelas agar elite tak terancam dengan manuver politiknya di masa mendatang.
Golkar juga dinilai harus segera membuat kesepakatan politik dengan partai-partai KIM untuk melakukan trade off kekuatan politik lokal Jakarta dan Jabar.
Trade off sendiri merupakan istilah di mana seseorang harus membuat keputusan terhadap dua hal atau lebih dengan mengorbankan salah satunya.
Umam menjelaskan, jika Golkar merelakan RK maju ke Pilkada DKI Jakarta, partai-partai yang tergabung dalam KIM harus ikut meyakinkan efektivitas mesin politik pemenangan di Jakarta.
Sebaliknya, keluarnya RK dari Pilkada Jabar akan membuka peluang bagi tokoh dari partai KIM lain untuk masuk menjadi kontestan.
Misalnya, Dedi Mulyadi dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Dede Yusuf dari Partai Demokrat, hingga Bima Arya Sugiarto dari Partai Amanat Nasional (PAN).
Skema trade off untuk atasi kegamangan Golkar
Di panggung Pilkada Jabar, Golkar yang mengantongi 19 kursi, jumlah yang sama dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), juga harus mati-matian untuk memenangkan calon yang diusung koalisinya.
"Jika skema trade off ini bisa diyakinkan dengan basis komitmen dan saling percaya (mutual trust) yang tinggi, maka kegamangan partai-partai pengusung RK di Pilkada Jakarta bisa segera terselesaikan," tutur Ahmad.
Dia mengatakan, trade off kekuatan politik antara Golkar dan Gerindra bersama partai-partai KIM, bisa menjadi solusi cepat bagi kegamangan internal KIM yang berkepanjang.
Namun, jika KIM masih tidak yakin dengan langkah dan keputusannya, hal ini akan membuka peluang bagi Anies Baswedan untuk semakin mengonsolidasikan basis kekuatan politiknya.
"Untuk segera mengunci potensi kemenangan lebih besar di pilkada, yang memiliki magnitude kekuasaan besar laiknya pilpres (pemilihan presiden) di Indonesia," sambung Ahmad.
Langkah PDI-P tergantung kesetiaan PKB
Bukan hanya Golkar, kegamangan dalam Pilkada DKI Jakarta 2024 juga tampak muncul di kubu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Pasalnya, selama ini, PDI-P tidak pernah menjadi pengikut dalam pembentukan koalisi pada Pilkada DKI Jakarta.
"Saat ini, skema politik Jakarta betul-betul membuat PDI-P gamang. Mau geser ke KIM tentu gengsi besar. Mau bergabung dengan lingkaran Anies, khawatir ada halangan perbedaan ideologis yang bisa membuyarkan basis pemilih loyalnya," papar Umam.
Dia menyampaikan, potensi poros ketiga dalam kontestasi orang nomor satu di DKI Jakarta sangat bergantung kepada keputusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Pembelotan PKB dari kubu Anies akan melahirkan peluang besar bagi PDI-P untuk mengonsolidasikan kekuatan poros ketiga.
Oleh karena itu, Umam memperkirakan, lepasnya PKB dari kubu Anies akan dapat "menyelamatkan muka PDI-P" untuk tetap menjadi imam pada Pilkada DKI Jakarta.
"Situasi inilah yang harus diantisipasi oleh lingkaran Anies Baswedan untuk mengunci loyalitas dan keberpihakan PKB pada dirinya dan pada narasi perubahan yang mereka usung di Pilpres 2024 lalu," pungkasnya.