Saat Kapolri Minta Maaf di HUT Ke-78 Bhayangkara, tapi...
Ilustrasi jajaran Koprs Brimob Polri di Monas, Jakarta, Senin (1/7/2024).
JAKARTA, KOMPAS.com – Institusi kepolisian saat ini telah genap berusia 78 tahun. Dalam perjalanan usianya, tugas Polri kian melekat kepada masyarakat. Hal ini yang kemudian membuat institusi ini tak pernah luput dari sorotan publik.
Presiden Joko Widodo dalam peringatan HUT ke-78 Bhayangkara kemarin di Lapangan Silang Monas, Jakarta, Senin (1/7/2024), mengatakan bahwa Polri memiliki peran sentral di masyarakat.
Bahkan, Presiden menyebut, tidak ada satupun kegiatan yang dilakukan Polri, yang tidak bersentuhan langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.
"Polri tidak ada liburnya. Polri ada dimana-mana. Tidak ada wilayah yang terlewatkan. Tapi di sisi lain, artinya rakyat juga melihat dari dekat seluruh gerak-gerik dan tindak-tanduk Polri," wanti-wanti Presiden.
Kepala Negara pun berpesan agar Polri tidak tebang pilih dalam menegakkan hukum serta profesional dalam menjalankan tugasnya. Terutama, saat menghadapi kejahatan transnasional yang kian kompleks.
Selain itu, Presiden juga mengingatkan agar Polri dapat membantu penyelenggara pemilu dalam menyukseskan perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, agar dapat berlangsung aman, jujur dan adil.
Menurut Presiden, stabilitas keamanan nasional perlu dijaga dengan tetap menjaga netralitasnya. Sebab, apapun tindak tanduk yang dilakukan Polri, akan terus mendapat sorotan publik.
"Sebentar lagi kita masuki tahapan Pilkada. Saya minta Polri turut mendukung dan menyukseskan, jaga netralitas, jaga stabilitas, dan jaga demokrasi kita agar Pilkada dapat berlangsung aman, jujur, dan adil," kata Jokowi.
Terkait pengamanan Pilkada 2024, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan, pihaknya telah memetakan kerawanan sosial yang berpotensi terjadi di daerah.
Pemetaan ini menjadi landasan Polri dalam menyelenggarakan Operasi Mantap Praja dan Satuan Tugas (Satgas) Nusantara "Cooling System" yang bertugas mengamankan pilkada.
"Polri sudah melakukan pemetaan melalui indeks potensi kerawanan Pilkada sebagai dasar melaksanakan Operasi Mantap Praja dan Satgas Nusantara Cooling System," kata Sigit.
Dalam kesempatan yang sama, Kapolri turut meminta maaf kepada masyarakat apabila Polri masih ada kekurangan di dalam menjalankan tugas.
Eks Kabareskrim ini mengklaim bahwa Polri selalu terbuka dalam menerima kritik, saran serta aspirasi dalam rangka evaluasi dan perbaikan organisasi.
"Sehingga dapat terus melakukan setapak perubahan demi mewujudkan Polri yang dicintai sesuai harapan masyarakat" ucap dia.
Namun, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid memandang, pernyataan Kapolri bahwa institusinya terbuka dengan ruang kritik, justru tidak kunjung terwujud.
"Aksi kekerasan berlebih dan praktik kesewenang-wenangan lainnya terhadap mereka yang membela haknya, terhadap mereka yang kritis, terhadap mereka yang memiliki pandangan politik berbeda, masih terus terjadi, dan ini sering melibatkan anggota Polri," kata Usman Hamid dalam keterangan tertulis.
Amnesty mencatat, dalam kurun 2019-2023, terjadi 58 kasus penangkapan sewenang-wenang polisi terhadap 412 orang pembela HAM.
Paling banyak yang ditangkap adalah aktivis politik Papua (174), aktivis mahasiswa (150), dan masyarakat adat (44). Sejumlah jurnalis, aktivis buruh dan lingkungan, hingga petani dan nelayan juga ditangkap saat mereka menggunakan hak untuk berpendapat dan berkumpul.
Sementara pada tahun ini, Amnesty mencatat, terjadi penangkapan terhadap tiga nelayan di Kabupaten Langkat, Sumatera UTara yang memperjuangkan hutan mangrove dari perusakan. Mereka dituding merusak pondok yang didirikan perambah di hutan lindung tersebut.
Para nelayan, sebelumnya, memprotes perusakan hutan mangrove di lingkungan mereka kepada pihak berwenang, namun tidak ada tindak lanjut.
“Ini salah satu sinyal bahwa Polri masih tidak mengindahkan hak masyarakat untuk berpendapat. Sebagai penegak hukum polisi seharusnya memberi ruang dan melindungi warga untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat secara damai tanpa menghadapi risiko penangkapan,” kata Usman.
Terbaru, terjadi dugaan penggunaan kekerasan dan penyiksaan berlebihan terhadap beberapa anak di Kota Padang, Sumatera Barat dengan dalih penertiban wilayah dari aksi tawuran.
Salah satu anak, Afif Maulana, bahkan tewas dengan kondisi tubuh lebam pada bagian punggung hingga pinggang, menurut keterangan pihak keluarga, saat ditemukan tewas mengapung.
Namun, Polda Sumbar berkelit menyiksanya dan bahkan menyebutnya tewas karena melompat ke sungai. Bahkan, meski Polda Sumbar telah mengakui bahwa 17 anggotanya melakukan pelanggaran kode etik, persoalan ini justru dihentikan.
“Pada Hari Bhayangkara ini Polri harus mengakui kalau mereka telah gagal dalam menegakkan hak asasi manusia. Pengakuan ini harus menjadi momentum bagi Polri untuk benar-benar memperbaiki diri, tegakkan hukum atas aparatnya yang terlibat dalam kekerasan yang sewenang-wenang dan mencegah agar peristiwa serupa tidak terulang,” kata Usman.