Terjadi di Jepang, Bisakah Bakteri Pemakan Daging Merebak di Indonesia?
Ilustrasi bakteri pemakan daging.
KOMPAS.com - Bakteri pemakan daging atau Streptococcus pyogenes kelompok A baru-baru ini merebak di Jepang dan menginfeksi lebih dari 1.000 pasien.
Nama “pemakan daging” diberikan karena bakteri ini dapat menghancurkan kulit, lemak, dan jaringan di sekitar otot manusia dalam waktu singkat.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan, belum ada warga Indonesia yang dilaporkan menderita bakteri pemakan daging.
"Kalau sampai saat ini, di Indonesia belum ada laporan ya, untuk kasus bakteri pemakan daging," kata Nadia, dikutip dari laman Kemenkes.
Lantas, bagaimana potensi bakteri pemakan daging masuk Indonesia?
Potensi bakteri pemakan daging di Indonesia
Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, infeksi bakteri pemakan daging merupakan kondisi sangat serius dan membutuhkan penanganan cepat.
"Bakteri ini melepaskan toksin atau racun yang bisa menghancurkan jaringan lunak dan menyebabkan kerusakan jaringan dalam waktu cepat dan luas, seakan-akan memakan daging," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Minggu (30/6/2024).
Menurutnya, infeksi bakteri pemakan daging lebih mudah terdeteksi di negara-negara maju dengan sistem kesehatan canggih. Apalagi, pasien membutuhkan penanganan cepat karena mengalami masa kritis dalam 24 jam pertama.
Dia meyakini, penularan bakteri pemakan daging juga dapat terjadi di negara berkembang. Hanya saja, proses deteksinya lebih sulit karena sistem kesehatan yang belum maksimal.
Namun, Dicky menegaskan bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum menyatakan infeksi bakteri pemakan daging sebagai outbreak, karena penularannya baru bersifat lokal di lingkungan penderita.
Kendati belum terdeteksi di Indonesia, Dicky mengimbau agar masyarakat tetap mewaspadai penularannya.
Karena itu, orang-orang dengan kondisi tubuh rentan perlu waspada. Misalnya, orang yang punya luka terbuka, lansia, orang yang tidak mendapat imunisasi dan vaksin, serta orang-orang yang memiliki riwayat infeksi kronis.
Penularan bakteri pemakan daging
Dicky melanjutkan, bakteri pemakan daging mudah masuk ke tubuh melalui luka terbuka pada kulit.
Menurutnya, gejala yang ditimbulkan bisa berupa:
- Luka sangat hebat diikuti pembengkakan kulit
- Kulit berubah warna menjadi ungu
- Ada lepuh pada kulit yang disebabkan kematian jaringan
- Demam, mual, muntah
- Penurunan tekanan darah.
"Sekitar 30-40 persen pasien berpotensi meninggal, tergantung kecepatan penanganan," tambahnya.
Dia menyebutkan, penularan bakteri pemakan daging juga dipengaruhi kondisi sanitasi, akses fasilitas kesehatan dan perawatan, serta kemungkinan penularan penyakit ini di Asia Tenggara.
Peningkatan kasus diabetes, penyakit kronis lain, dan resistensi antibiotik juga berpotensi meningkatkan infeksi bakteri pemakan daging di masa depan.
"Termasuk perubahan iklim yang menyebabkan bencana alam dan kondisi lembap juga meningkatkan risiko infeksi," katanya.
Pergerakan manusia ke daerah yang terdampak infeksi dan minimnya pemahaman akan bakteri ini juga termasuk potensi yang perlu diwaspadai.
Upaya pencegahan
Dicky mengungkapkan, ada sejumlah hal yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi bakteri pemakan daging.
"Kalau mengalami luka, segera dibersihkan, diobati dengan antiseptik, kemudian ditutup luka untuk mencegah terkena bakteri," ujar dia.
Dicky juga mengimbau masyarakat agar menjauhi air kotor atau berenang di laut dan pantai saat terluka.
Selain itu, masyarakat juga perlu mendapatkan vaksinasi terbaru dari penyakit-penyakit yang ada. Meski begitu, dia menyebutkan bahwa vaksin khusus bakteri pemakan daging belum ada hingga kini.
Menurutnya, penyakit infeksi bakteri pemakan daging mudah menular ke orang-orang dengan masalah imunitas maupun berkaitan dengan Covid-19.