TikTok Dijual ke Non-China atau Diblokir, Harganya Ditaksir Rp 1.600 Triliun
Ilustrasi TikTok.
KOMPAS.com – Induk TikTok, ByteDance dipaksa menjual TikTok agar bisa tetap beroperasi di Amerika Serikat (AS).
Hal ini sehubungan dengan diundangkan dan ditandatanganinya aturan yang diberi nama “Protecting Americans from Foreign Adversary Controlled Applications Act” (Perlindungan Warga dan Aplikasi yang Dikendalikan Pesaing Asing) oleh Presiden AS Joe Biden.
UU tersebut mengharuskan ByteDance menjual ke perusahaan non-China dalam waktu maksimal 12 bulan ke depan. Jika tidak, TikTok akan diblokir di AS.
Lantas, jika dijual, berapa kira-kira harga TikTok?
Sebagai jejaring sosial raksasa , harga jual TikTok ditaksir mencapai 100 miliar dollar AS atau setara Rp 1.621 triliun (kurs Rp 16.211).
Hal ini diungkap oleh Daniel Ives, Managing Director and Senior Equity Research Analyst di bidang Technology Wedbush Securities. Menurut Dan Ives, angka tersebut muncul dengan mempertimbangkan pengguna aktif TikTok yang banyak dan algoritma “emas” TikTok.
Per Januari 2024, TikTok diestimasikan memiliki sekitar 1,5 miliar pengguna aktif bulanan. Amerika Serikat menjadi basis pengguna terbanyak TikTok mencapai 170 juta pengguna.
Layanan media sosial milik ByteDance ini dilaporkan digunakan oleh 6 dari 10 orang Amerika yang berusia di bawah 30 tahun. TikTok dikenal memiliki algoritma “emas”, sebuah logika di dalam TikTok yang memutuskan video mana yang akan ditayangkan kepada penggunanya secara terus-menerus.
Algoritma ini menawarkan video tanpa henti sesuai dengan minat dan kebiasaan pribadi pengguna, sehingga menciptakan aliran adiktif yang membuat pengguna bisa berlama-lama scrolling TikTok.
TikTok bisa saja tak menyertakan algoritmanya dalam penjualan. Namun, tanpa algoritma tersebut, kata Ives, TikTok bisa dijual dengan harga lebih murah.
“Kami yakin China dan ByteDance tidak akan pernah menjual TikTok dengan algoritma emasnya. Tanpa algoritma tersebut, kami yakin TikTok bernilai 30 miliar dollar AS hingga 40 miliar dollar AS (sekitar Rp 486,5 triliun hingga Rp 648,7 triliun),” kata Dan Ives.
Bila dijual, menurut Dan Ives, ada sejumlah pihak yang kemungkinan tertarik membeli TikTok, seperti Microsoft, Oracle, dan Walmart. Namun, tak menutup kemungkinan ada perusahaan dan investor lain yang berminta.
Seberapa besar kemungkinan TikTok akan terjual? Sebenarnya tidak ada yang tahu pasti. Namun, Dan Ives meyakini bahwa ada 75 persen kemungkinan TikTok akan memiliki kepemilikan baru pada awal 2025, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari Yahoo News, Senin (29/4/2024).
TikTok punya siapa?
TikTok adalah anak perusahaan dari perusahaan teknologi rakasa China, ByteDance. Itulah sebabnya anggota parlemen AS menggambarkan perusahaan tersebut sebagai “milik China” dan khawatir data pengguna Amerika dibagikan ke pemerintah China.
Namun struktur ByteDance rumit. Associated Press melaporkan bahwa perusahaan tersebut berbasis di Beijing tetapi terdaftar di Kepulauan Cayman, wilayah luar negeri Britania Raya yang berada di Laut Karibia.
TikTok menilai, penyebutan bahwa TikTok adalah perusahaan China sebenarnya keliru. Dalam postingan tahun 2023 di situsnya, platform berbagi video tersebut mengatakan bahwa ByteDance dimiliki 60 persen oleh investor institusi global, termasuk Susquehanna International Group, Carlyle Group, Sequoia Capital, dan General Atlantic.
Kemudian 20 persen lainnya dimiliki oleh karyawan ByteDance. sementara 20 persen sisanya dimiliki oleh pendirinya, pengusaha China bernama Zhang Yiming.
TikTok = Not for Sale
Baru-baru ini, ByteDance menegaskan bahwa pihaknya tidak berniat menjual TikTok, meski UU AS memaksanya.
“ByteDance tidak memiliki rencana untuk menjual TikTok,” kata ByteDance di akun resminya di Toutiao, platform media sosial miliknya.
Pernyataan ByteDance tersebut muncul sebagai tanggapan atas berita yang mengatakan pihaknya sedang menjajaki potensi penjualan operasi TikTok di AS tanpa algoritma yang mendukungnya.
Menurut sumber yang dekat dengan isu ini, ByteDance lebih memilih untuk menutup aplikasinya dari pada harus menjual ke pihak lain.
Sebelumnya, TikTok memastikan pihaknya akan melawan UU soal divestasi dan pemblokiran TikTok di Amerika Serikat (AS) itu.
TikTok berencana untuk menggugat aturan tersebut ke pengadilan atas dasar Amandemen Pertama khususnya sial menghambat kebebasan berbicara/berekspresi.
TikTok sering lolos dari pemblokiran AS
TikTok mempunyai alasan kuat untuk menganggap bahwa gugatan hukum yang akan dilakukan bisa saja berhasil. Hal ini mengingat TikTok kerap menang dalam beberapa perselisihan hukum mengenai operasinya di AS.
Misalnya, pada bulan November lalu, seorang hakim federal memblokir undang-undang Montana yang akan melarang penggunaan TikTok di seluruh negara bagian.
Pada 2020, upaya pemerintahan Donald Trump untuk memaksa ByteDance menjual TikTok atau menghadapi pemblokiran juga dinyatakan inkonstitusional oleh pengadilan federal berdasarkan Amandemen Pertama.
Ketika itu, Pemerintahan Trump menjadi perantara kesepakatan yang akan membuat perusahaan AS Oracle dan Walmart mengambil saham besar di TikTok.
Penjualan tidak pernah berhasil karena beberapa alasan, salah satunya adalah China yang menerapkan kontrol ekspor yang lebih ketat terhadap penyedia teknologinya.
TikTok telah melakukan lobi keras terhadap undang-undang tersebut, mendorong 170 juta pengguna aplikasi tersebut di AS (banyak di antaranya berusia muda) untuk berbicara ke Kongres dan menyuarakan penolakan.
Sejak pertengahan Maret, TikTok telah menghabiskan 5 juta dollar AS (sekitar Rp 81 miliar) untuk iklan TV yang menentang undang-undang tersebut, menurut AdImpact, sebuah perusahaan pelacakan iklan.
Iklan tersebut menampilkan sejumlah pembuat konten, termasuk seorang biarawati, yang memuji dampak positif platform tersebut terhadap kehidupan mereka dan berpendapat bahwa pelarangan akan menginjak-injak Amandemen Pertama, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari Associated Press.