Rusia dan Ukraina Dilaporkan Pakai Senjata Terlarang, Apa Saja?
Foto yang diambil pada 3 Juli 2022 menunjukkan bagian ekor roket 300 mm, tampaknya berisi bom tandan yang diluncurkan dari peluncur roket ganda BM-30 Smerch tertancap di tanah setelah serangan di Kramatorsk dalam perang Rusia-Ukraina.
BELUM lama ini, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) menuduh Rusia telah menggunakan senjata kimia dalam perang melawan Ukraina. Tuduhan itu menyatakan bahwa Rusia telah menggunakan kloropikrin, cairan berminyak beracun dengan bau yang sangat tajam.
Kloropikrin masuk ke dalam kategori zat berbahaya yang ketika disentuh saja dapat menyebabkan kulit melepuh, iritasi pada mata, dan kesulitan bernapas. Asap kloropikrin juga berbahaya jika dihirup. Menghirup asap kloropikrin dapat menyebabkan edema paru yang pada kasus terparahnya dapat menyebabkan kematian.
Zat ini pada mulanya dimaksudkan sebagai pestisida. Namun, zat ini akhirnya dikembangkan menjadi senjata pada Perang Dunia I, salah satunya oleh Jerman pada tahun 1916 di front Prancis. Melihat bahaya yang ada dari kloropikrin dan senjata-senjata kimia lainnya, akhirnya di tahun 1997, dikeluarkanlah Konvensi Senjata Kimia Internasional (CWC).
Konvensi tersebut mengatur pelarangan senjata kimia, mulai dari pengembangan, pembuatan, penimbunan, hingga penggunaan. Perjanjian tersebut juga mengharuskan tiap-tiap negara untuk melaporkan semua persediaan senjata kimianya dan kemudian memusnahkannya di bawah pengawasan internasional.
Rusia telah menandatangani CWC. Tahun 2017, Rusia juga dilaporkan telah menghancurkan persediaan senjata kimianya. Namun, serangan terhadap Sergei Skripal tahun 2018 dan Alexei Navalny tahun 2020 telah membuktikan bahwa Rusia masih menggunakan zat kimia berbahaya sebagai senjata.
Jika tuduhan AS baru-baru ini benar, Rusia dapat dinyatakan telah melanggar CWC.
Ini sebenarnya bukan kali pertama Rusia dituduh telah menggunakan senjata terlarang dalam perang melawan Ukraina. Sebelumnya, Rusia pernah disorot komunitas internasional karena menggunakan senjata terlarang seperti bom tandan. Meski begitu, tidak hanya Rusia, Ukraina juga telah beberapa kali diketahui memiliki dan menggunakan senjata-senjata terlarang. Apa saja senjata terlarang tersebut?
Bom Tandan
Bom tandan dapat melepaskan sejumlah besar bom kecil ke suatu wilayah yang luas. Bom ini biasanya digunakan untuk melawan pasukan darat yang bersembunyi di wilayah yang luas dan terlalu berbahaya untuk dilalui.
Bom-bom kecil yang keluar dari bom tandan di desain untuk meledak saat terjadi benturan. Jika jatuh di tanah basah atau lunak, bom kecil tersebut jadi tidak berguna.
Meski begitu, bom kecil ini bisa saja meledak di kemudian hari ketika diangkat atau terinjak. Saat meledak, bom kecil ini dapat melukai bahkan membunuh siapa saja yang ada didekatnya.
Anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap bom tandan. Apalagi bom-bom kecil tersebut tampak seperti mainan kecil yang ditinggalkan begitu saja sehingga sangat mengundang anak-anak untuk mengambilnya. Inilah mengapa senjata ini menjadi senjata terlarang.
Lebih dari 100 negara termasuk Inggris, Prancis, dan Jerman, telah menandatangani Konvensi Munisi Tandan yang melarang penggunaan atau penimbunan senjata iitu karena dampaknya yang dapat meluas ke penduduk sipil.
Kelompok hak asasi manusia mendeskripsikan senjata tersebut sebagai sesuatu yang menjijikan dan menggunakannya adalah kejahatan perang.
Namun, Rusia dan Ukraina tidak pernah menandatangani konvensi tersebut, tak heran senjata tersebut masih kerap dipakai sejak invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022. Begitu pula AS sebagai pemasok bom tandan ke Ukraina tidak pernah menandatangani konvensi tersebut.
Menurut Human Rights Watch, Rusia telah menggunakan setidaknya enam jenis bom tandan berbeda sejak awal mula konflik. Belum lama ini, Rusia dilaporkan telah menggunakan bom tandan di Pelabuhan Laut Hitam Odessa.
Ranjau Darat
Ukraina saat ini menjadi negara di dunia dengan paling banyak ranjau darat tertanam di tanah. Beberapa juta alat peledak dilaporkan terkubur di wilayah Ukraina.
Ranjau darat merupakan sebuah alat peledak yang dimaksudkan untuk meledak saat terinjak korbannya, baik orang (ranjau anti-personel) atau kendaraan seperti tank (ranjau anti-kendaraan).
Dalam upaya melindungi posisi pertahanan di beberapa wilayah di Ukraina, Rusia dan Ukraina telah memasang ranjau anti-kendaraan. Untuk menghalangi musuh membersihkan ranjau-ranjau ini, kedua belah pihak juga memasang ranjau anti-personel yang dilarang dalam Konvensi Ranjau Darat Anti-Personel tahun 1997.
Rusia memang tidak menandatangani konvensi ini, namun Ukraina termasuk dalam 163 negara yang menyetujui konvensi tersebut.
Bom Fosfor
Bom fosfor terbuat dari fosfor putih dan kombinasi minyak bumi dan caoutchouc, sebuah bahan elastis. Bom fosfor seringkali digunakan sebagai bom pembakar.
Ketika bom ini meledak, bom tersebut dapat melepaskan ratusan pecahan yang terbakar. Bahkan, pecahan terkecil sekalipun dapat menyebabkan luka bakar parah. Uap dari bom fosfor juga sangat beracun.
Untuk itu, Konvensi Jenewa akhirnya melarang penggunaan bom fosfor di wilayah warga sipil atau perkotaan. Meski begitu, konvensi ini tidak benar-benar melarang secara total penggunaan bom fosfor.
Sepanjang perang Rusia-Ukraina, dilaporkan hanya Rusia yang pernah menggunakan bom fosfor. Ukraina sempat menuduh Rusia menggunakan bom fosfor pada pertempuran di dekat pabrik besi dan baja di Mariupol. Selain itu, Ukraina juga menuduh Rusia menggunakan bom ini di Kota Bakhmut. Rusia membantah kedua tuduhan ini.
Di sisi lain, Ukraina sebelumnya sempat meminta para aliansinya untuk memasok bom fosfor, namun Ukraina tidak pernah menerimanya.
Amunisi Uranium
Tahun lalu, AS dilaporkan memberikan kepada Ukraina amunisi yang dilapisi dengan uranium yang mampu menembus lapisan baja tank. Bubuk uranium halus yang dilepaskan saat cangkang amunisi menembus bagian dalam kendaraan kemudian akan terbakar ketika bersentuhan dengan udara dan kemudian membakar seluruh lambung tangki.
Sebenarnya, tidak ada konvensi yang melarang penggunaan senjata ini. Namun, para ahli memperingatkan bahwa debu uranium pasca penggunaan senjata ini akan beresiko pada kesehatan jangka panjang.
Sebuah penelitian oleh organisasi Dokter Internasional untuk Pencegahan Perang Nuklir (IPPNW) mengatakan penggunaan amunisi uranium di Irak tahun 2003 telah mengakibatkan peningkatan kasus cacat lahir, kanker, dan masalah kesehatan lainnya. Meski begitu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) belum mengonfirmasi adanya korelasi antara amunisi uranium dengan peningkatan resiko kesehatan.