Putusan Sengketa Pilpres Diterima, Elite Politik Dianggap Ingin "Move On"
Suasana jalannya sidang putusan perselisihan hasil Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 dan 3, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024.
JAKARTA, KOMPAS.com – Sikap para penggugat terkait putusan perkara sengketa hasil pemilihan presiden (Pilpres) 2024 lalu yang cenderung menerima ditengarai akibat mereka enggan tenaga dan pikiran terkuras terkait hal itu.
Menurut pengamat politik Jannus TH Siahaan, sebenarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan para pemohon yakni kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD sudah bisa diprediksi sejak awal.
Mengenai reaksi para elite politik yang berselisih dalam sengketa hasil Pilpres 2024 tidak setajam seperti 5 tahun silam, Jannus menilai hal itu akibat mereka menganggap ada persoalan lebih penting ketimbang menghabiskan tenaga dan waktu dalam urusan itu.
“Hal itu bisa terjadi karena para pihak yang berkepentingan di dalam arena politik nasional tidak mau menguras terlalu banyak energi hanya untuk masalah pemilihan,” kata Jannus saat dalam pernyataannya seperti dikutip pada Senin (29/4/2024).
“Karena pengalaman di seluruh dunia, jika mayoritas elite baik ekonomi maupun politik menerima hasil pemilihan, maka semua upaya penolakan akan gagal karena tidak disokong oleh elite,” sambung Jannus.
Jannus menilai, dari segi konstitusional dan yuridis formal memang masih tersisa ruang perdebatan terkait putusan MK itu.
Akan tetapi, jika dilihat dari hasil pemilihan yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan reaksi mayoritas elite politik dan ekonomi nasional, mereka menganggap urusan Pilpres 2024 sudah usai dan harus beranjak ke realita selanjutnya.
“Secara umum mayoritas elit cenderung menerima hasil pemilihan. Hal itu bisa dilihat dari gerakan penolakan atas hasil pemilihan yang tidak terlalu signifikan,” ujar Jannus.
“Logikanya, jika mayoritas elite cenderung menerima hasil pemilihan, maka apapun yang terjadi sebelum dan di saat pemilihan akan diabaikan,” lanjut Jannus.
Sebelumnya diberitakan, MK memutuskan menolak seluruh permohonan gugatan yang diajukan calon presiden-calon wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dalam sidang putusan sengketa hasil Pilpres pada 22 April 2024 lalu.
MK menyatakan permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum seluruhnya.
Dalil gugatan yang diajukan kedua kubu yang dianggap tidak beralasan menurut hukum antara lain soal ketidaknetralan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan DKPP.
Kemudian dalil lainnya terkait tuduhan adanya penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menggunakan APBN dalam bentuk penyaluran dana bantuan sosial (bansos) yang ditujukan untuk memengaruhi pilihan pemilih.
Selain itu para pemohon juga mengajukan dalil soal dugaan penyalahgunanan kekuasaan yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintahan desa dalam bentuk dukungan dengan tujuan memenangkan pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Para pemohon juga mendalilkan dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang terkoordinasi melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Polri, dan TNI.
Di sisi lain, Presiden Jokowi merupakan ayah dari Gibran Rakabuming Raka.