Penyebab Hubungan Prabowo dan PDIP Merenggang Diungkap Pengamat,Padahal Nyaris Tidak Ada Masalah
TRIBUNNEWSMAKER.COM – Ini kata pengamat terkait soal hubungan Prabowo dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merenggang.
Seorang pengamat menduga Keberadaan Presiden Joko Widodo disebut menjadi penghalang bergabungnya PDI Perjuangan ke pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.
PDIP diprediksi baru mau bergabung ke pemerintahan jika hubungan Prabowo dan Jokowi renggang atau retak.
Ketua Umum PDIP Megawati tidak akan mudah melupakan manuver Jokowi seolah menusuk dari belakang partai yang membesarkan namanya itu.
Jokowi membiarkan putranya Gibran yang juga merupakan kader PDIP berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Padahal PDIP sudah mengusung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dalam kontestasi Pilpres 2024.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menduga, PDIP tertarik jika diajak bekerja sama dalam pemerintahan oleh Prabowo-Gibran.
Pasalnya, sampai saat ini hubungan antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo nyaris tidak ada masalah.
Ketua DPP PDIP sekaligus puter Megawati Puan Maharani bahkan sudah beberapa kali bertemu dan tampak mesra dengan Prabowo.
Peluang Prabowo bertemu dengan Megawati usai sidang MK (KompasTV)
“Kalau saya melihat arah kecenderungan politik PDIP di masa yang akan datang tentu sangat tergantung dengan hubungan politik Jokowi dan Prabowo,” kata Adi dikutip Kompas.com dari program Kompas Petang di Kompas TV, Senin (22/4/2024).
Menurut Adi, jika hubungan Jokowi dan Prabowo terus harmonis maka hal itu justru menjadi tembok psikologis bagi PDIP.
“Tapi kalau kemesraan, kebersamaan antara Prabowo dan Jokowi tidak lama, artinya setelah ada serah terima jabatan politik presiden tanggal 20 Oktober, hubungan Jokowi dan Prabowo tidak baik-baik saja, di situlah ada celah,” ucap Adi.
Adi juga memperkirakan PDIP tak bakal menolak tawaran bergabung dengan koalisi pemerintah jika dirayu.
“Jika betul PDIP diajak kerja sama, bukan tidak mungkin PDIP juga akan tertarik menjadi bagian koalisi di dalamnya,” ujar Adi.
Dinamika politik diperkirakan akan semakin dinamis setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan perkata sengketa hasil Pilpres 2024.
Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan sengketa yang diajukan kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dalam sidang pembacaan putusan pada Senin (22/4/2024).
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat.
Beberapa dalil yang dianggap tidak beralasan menurut hukum antara lain terkait politisasi bantuan sosial, cawe-cawe, atau intervensi Presiden Joko Widodo, serta pelanggaran prosedur oleh KPU saat menerima pendaftaran Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai capres-cawapres.
“Permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ucap hakim.
Parpol kalah malu-malu
Pada kesempatan yang sama Adi menyampaikan, partai-partai politik yang kalah dalam Pilpres sebenarnya mempunyai hasrat buat bergabung dengan pemerintahan.
Sinyal keinginan para partai politik merapat ke koalisi pendukung pemerintah sudah bisa terbaca sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil rekapitulasi Pilpres.
“Kalau membaca kecenderungan elite-elite partai secara umum, minimal ketika itu mengucapkan selamat dan menerima putusan Mahkamah Konstitusi, ini kan sebenarnya bekal politik,” kata Adi.
“Betapa partai-partai ini sebenarnya secara tidak langsung juga tertarik untuk menjadi bagian dari Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di masa yang akan datang,” sambung Adi.
Menurutnya, sinyal para partai politik bersatu dalam koalisi pendukung pemerintah juga bisa dilihat dari isu hak angket yang semakin redup.
“Kalau kita ingin variabel-variabel lain, per hari ini misalnya, soal hak angket itu nyaris tidak pernah ada bunyinya lagi.
Padahal kalau mau jujur ketika partai-partai ini namanya kalah Pemilu itu siap berada di luar kekuasaan,” ujar Adi.
“Mereka itu mestinya tegas, apapun yang terjadi dengan putusan Mahkamah Konstitusi hari ini, mereka akan tetap tegak lurus berada di luar kekuasaan, menjadi oposisi, dan menjadi penyeimbang,” lanjut Adi.
Oposisi investasi politik PDIP
Secara terpisah, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI), Lili Romli, menilai PDIP berpeluang besar menjadi oposisi.
Hal ini disampaikannya merespons pertanyaan soal kesiapan PDIP menjadi oposisi di tengah isu Puan Maharani, cenderung dekat dengan Prabowo Subianto.
“Jadi selama Ibu Megawati sebagai Ketum, saya kira akan mengambil jalan politik yang tegak,” kata Lili dalam Obrolan Newsroom di YouTube Kompas.com, Senin (22/4/2024).
Puan Maharani disebut pernah ditugaskan menjalin komunikasi ke pihak Prabowo untuk mewujudkan pertemuan antara Megawati dan capres terpilih.
“Kan memang ada saya kira di partai politik itu, ada yang menyala, ada yang juga yang menjadi sejuk gitu. Tampaknya Ibu Puan ini langgamnya yang sejuk tadi gitu,” ucap dia.
Peneliti BRIN ini menambahkan, melihat dinamika yang ada, ada sebagian kader banteng yang ingin bergabung ke dalam koalisi pemerintahan yang akan datang, dan ada pula yang tidak.
Namun, ia menilai, keputusan akhir apakah PDI-P akan menjadi koalisi atau oposisi tetap berada di tangan Megawati.
Lili juga menilai Megawati adalah sosok yang tegas dalam mengambil keputusan.
“Menurut saya kan putusan pentingnya ada pada ibu Mega. Saya kan pernah menyampaikan juga di Kompas kan bahwa saya percaya dengan sikap politik Ibu Megawati yang hitam putih, enggak pernah abu-abu. Iya iya, tidak tidak,” ujar dia.
Bahkan, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri turut membuat surat amicus curiae atau sahabat pengadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil pilpres.
“Sampai-sampai kemudian Ketua Umum Megawati sendiri menjadi amicus curiae,” ucap Lili.
Oleh karenanya, Lili menilai, akan sangat ironis jika PDI-P akhirnya bergabung setelah MK menolak gugatan yang diajukan Ganjar-Mahfud.
“Menjadi ironis ketika kemudian setelah pasca-putusan MK ini, PDI-P bergabung dengan koalisi pemerintah. Jadi akan menjadi kontraproduktif,” kata dia.
Menurutnya, PDIP juga tidak akan memiliki nilai jual yang tinggi pada Pilpres 2029 apabila bergabung dengan koalisi pemerintahan selanjutnya.
Dia lantas mencontohkan kesuksesan PDIP sebagai partai usai menjadi oposisi di era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Ketika PDIP menjadi oposisi kan memberikan banyak keuntungan ketika pada masa Pak SBY, 10 tahun,” ujar Lili.
Diketahui, belakangan muncul isu PDI-P dan kubu Prabowo-Gibran membuka jalan untuk menjalin rekonsiliasi politik.
Pihak Megawati dan Prabowo juga disebut sedang menjalin komunikasi agar kedua pimpinan partai itu bisa bertemu usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa pilpres.
Ketua DPP PDI-P Said Abdullah sebelumnya pernah mengatakan bahwa Megawati menugaskan Puan Maharani untuk menjalin komunikasi dengan Prabowo Subianto.
Hasil komunikasi tersebut akan menjadi pertimbangan apakah pertemuan antara Megawati dan Prabowo bisa diwujudkan.