Mirip Periode Kedua Jokowi,Pemerintahan Prabowo-Gibran Diprediksi akan Minim Tekanan Oposisi
TRIBUNKALTIM.CO – Mirip periode kedua Jokowi, pemerintahan Prabowo-Gibran diprediksi akan minim tekanan oposisi.
Pengamat memprediksi pemerintahan Prabowo-Gibran akan mirip periode kedua pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
Pasalnya, hingga kini hampir semua parpol bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran, kecuali PDIP.
PKS masih belum jelas statusnya, namun bersedia membuka peluang bergabung dengan pemerintaah Prabowo-Gibran.
Situasi pemerintahah Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka diperkirakan bakal mirip dengan periode pemerintahan kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni minim tekanan dari pihak oposisi jika mereka berhasil merangkul kekuatan yang tadinya berhadapan.
Akan tetapi, pakar Komunikasi Politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin menilai jika kekuatan oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melemah maka tidak ada penyeimbang dan berakibat eksekutif bisa tak terkendali.
“Formula seperti itu kelihatannya akan terjadi di pemerintahan Prabowo-Gibran,” ujar Ujang dalam program Rumah Pemilu seperti dikutip dari Kompas TV, Senin (29/4/2024).
“Demokrasi yang sehat ada kekuatan oposisi yang bisa mengawal, mengontrol, mengawasi jalannya pemerintah agar tidak salah jalan. Ini penting karena tanpa oposisi, demokrasi akan mudah dibelokkan, oleh karena itu kita butuh penyeimbang,” lanjut Ujang.
Pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi mendapat dukungan dari hampir seluruh partai politik yang duduk di parlemen.
Pedagang menata bingkai foto pasangan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029 di Ali Frame Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, Selasa (23/4/2024). Pedagang mengaku penjualan bingkai foto Presiden dan Wakil Presiden terpilih mulai dicari sejumlah pelanggan usai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan sengketa pilpres yang diajukan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud MD. Harga yang ditawarkan untuk sepasang bingkai foto pasangan Prabowo-Gibran sebesar Rp 60.000. (Tribunnews/Jeprima)
Pada mulanya Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berada di luar pemerintahan.
Akan tetapi, pada akhir periode pemerintahan justru Partai Demokrat bergabung dengan pemerintahan.
Menurut Ujang, banyaknya partai politik yang masuk dalam barisan koalisi pendukung pemerintah memang bisa membuat pemerintah Prabowo-Gibran berjalan stabil.
Di sisi lain, koalisi gemuk pemerintahan ini akan berdampak kurangnya kendali dan pengawasan legislatif terhadap pemerintah dan hal itu bisa berdampak negatif.
Ujang mencontohkan pada pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi hampir semua kebijakan pemerintah mendapat dukungan dari parlemen.
Dukungan itu termasuk kebijakan yang dianggap tidak pro aspirasi masyarakat, semisal revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja dan revisi UU Minerba.
Dalam pengesahan sejumlah beleid itu, kekuatan partai oposisi yang menentang kalah kuat dengan partai koalisi pendukung pemerintah.
“Ini karena kekuatan Jokowi-Ma’ruf mayoritas di parlemen,” ujar Ujang.
Ujang menambahkan, jika nantinya pemerintahan Prabowo-Gibran membuat kebijakan yang tidak berpihak rakyat, akan sulit bagi partai oposisi untuk menentang atau mengkritik kebijakan itu di parlemen.
Sampai saat ini baru PDI Perjuangan yang sudah meyakinkan diri akan berada di luar pemerintahan.
Sedangkan partai politik di luar Koalisi Indonesia Maju, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai NasDem, PKS dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sudah membuka jalur komunikasi untuk bergabung di pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Ya mudah-mudahan walaupun formulasinya sama, kekuatan parlemennya sama-sama kuat, tetapi Prabowo-Gibran bisa menjalankan amanah dengan baik, dengan membuat kebijakan yang tidak melukai rakyat,” papar Ujang. (*)
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Kaltim dan Google News Tribun Kaltim untuk pembaruan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com