Kisah Simalakama RA Kartini: Sembunyikan Status Ibu demi Selamatkan Wajah Ayah
Tanggal 21 April setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Kartini. R.A Kartini dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Indonesia melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964. Hal ini dilandaskan pada jasa Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita dan semangatnya mengajar perempuan melalui Sekolah Kartini.
Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat dikenal sebagai revolusioner salam mendobrak batas kaum wanita yang dikekang pada zamannya. Kartini hidup pada tahun 1879-1904, di mana perempuan feodal dan golongan menengah dilarang ke luar rumah ketika memasuki usia tertentu. Di sisi lain, perempuan dari kaum rakyat jelata diperbolehkan ke luar rumah untuk membantu pekerjaan di sawah, ladang, dan pasar.
Menurut Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno, Kartini merupakan orang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia yang mengakhiri zaman tengah, zaman feodalisme Pribumi yang âsakitanâ. Ia menjadi pionir dalam menggaungkan aspirasi kaum perempuan hingga akhirnya kita dapat merasakan semangat emansipasi hingga kini, Bunda.
Efek Kurang ASI |
Meski pun R.A Kartini dikenal akan perjuangannya dalam menyuarakan suara perempuan, sangat sedikit literatur yang membahas Ibunda dari R.A Kartini loh, Bunda. Lantas, apa alasannya?
Dalam buku R.A.Kartini Biografi Singkat 1879- 1904 karya Imron Rosyadi dijelaskan bahwa Kartini merupakan anak dari Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, dengan M.A Ngasirah.
Baca Juga : 40 Kata-kata Ucapan Selamat Hari Kartini, Penuh Semangat dan Menginspirasi |
Ibu R.A Kartini berasal dari kalangan biasa, ia adalah anak dari Nyai Hajjah Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono. Kala itu, peraturan kolonial Belanda mengatur kaum ningrat harus menikah dengan sesamanya, Bunda. Perbedaan kasta sosial ini mengharuskan ayah R.A Kartini untuk menikah lagi dengan perempuan dari keturunan ningrat.
“Karena Ngasirah bukan kaum bangsawan, maka Sosroningrat pada 1875 menikah lagi dengan Raden Ayu Muryam yang masih keturunan raja-raja Madura. Istri kedua Sosroningrat inilah yang kemudian menjadi garwa padmi (istri pertama) dan Ngasirah menjadi garwa ampil (selir dalam istilah KBBI -Red),” tulis Imron dalam buku R.A.Kartini Biografi Singkat 1879- 1904.
Status sosial di mana Ibundanya justru menjadi garwa ampil ini, membuat Kartini tidak boleh diasuh oleh ibu kandungnya sendiri. Bahkan, peraturan feodal melarang Kartini menyebut Bundanya dengan sebutan âIbuâ. Kartini harus memanggil perempuan yang melahirkannya dengan panggilan âYuâ, sedangkan Ngasirah memanggil Kartini dengan sebutan âNdoroâ.
Semasa kecilnya, Kartini diasuh oleh dua orang Ibu, ditambah dengan bantuan seorang emban. Seiring berjalannya waktu, Kartini yang cerdas memahami ibu kandungnya. Sayangnya, status dan peratural feodal yang ketat membuat Kartini kesulitan membangun hubungan dengan ibu kandungnya.
Kondisi keluarga yang penuh aturan dan kekangan inilah yang membentuk pikiran Kartini hingga ia menjadi pribadi yang kritis terhadap emansipasi wanita dan hubungan pernikahan suami-istri. Meski telah banyak âprotesâ yang Kartini pendam, saat itu Kartini tidak berani mengeluarkan pemikirannya karena terhalang oleh kecintaannya pada sang ayah.
Rasa sayang R.A Kartini kepada sang ayah, disoroti oleh Pramoedya Ananta Toer. Dalam buku Panggil Aku Kartini Saja, Pram menerka-nerka apa penyebab Kartini jarang menyebut ibu kandungnya.
“Kartini tidak pernah menyebut-nyebut ibu kandungnya. Apakah sebabnya? Padahal Kartini adalah seseorang yang jujur dan berani, tidak mungkin ia menyembunyikan kebenaran tentang asal-usul ibu kandungnya? Ataukah untuk melindungi nama ayahnya dari ejekan orang luar, Kartini harus menyembunyikannya?” tulis Pramoedya yang menyusun buku tersebut berdasarkan surat-menyurat Kartini dengan sahabat asal Belanda, Estella Zeehandelaar.
Inikah yang disebut buah simalakama: dimakan, ibu mati; tidak dimakan, ayah mati?
Berdasarkan surat yang ditulis Kartini untuk Zeehandelaar pada 23 Agustus 1900, Pramoedya telah menerka kasih sayang Kartini pada sang ayah yang amat kuat. Dalam surat itu, Kartini menuangkan sudut pandangnya yang sangat menghargai sang ayah dan kecintaannya pada Bupati Jepara ini. Surat Kartini tersebut berbunyi:
âKasihan Ayaku tercinta, ia telah begitu banyak menanggung dan hidup ini masih jua timpakaan kekecewaan-kekecewaan menyedihkan pula kepadanya. Stella, Ayah tiada mempunyai sesuatu terkecuali anak-anaknya, kami inilah segala-galanya baginya, kegembiraannya, penghiburku. Aku mencintai kebebasanku, o, dialah segala-galanya yang kumiliki, dan nasib saudari-saudariku sangat meminta perhatianku; aku rela membantu mereka kuat-kuat, dan siap sedia menyerahkan apapun korban yang dipintanya agar dapat memperbaiki nasib mereka. Aku pandang menjadi kebahagiaan hidup, bila dapat dan boleh menyerahkan diri seluruhnya buat pekerjaan ini. Namun, lebih baik dari semua itu seluruhnya ialah Ayahku.â
Tak hanya berhenti di situ, surat Kartini yang membahas rasa cintanya kepada sang ayah juga berlanjut pada surat yang dikirim di 11 Oktober 1901. Di sana, Kartini menekankan pada baktinya pada sang ayah yang ia imbangi dengan rasa hormatnya pada diri sendiri. Kartini dengan gigih menjalankan nilai-nilai yang mulai kuat tertanam pada sanubarinya.
âKewajibanku sebagai anak tidak boleh aku kurangi, tapi pun tidak kewajiban-kewajibanku terhadap diriku sendiri harus aku tunaikan, terutama sekali tidak kalau pabila perjuangan itu bukan saja berarti kebahagiaan sendiri, tapi pun berguna bagi yang lain-lain. Soalnya sekarang adalah memenuhi dua tugas besar yang bertentangan satu dengan yang lain, dan itu sedapat mungkin harus diserasikan. Pemecahan masalah ini ialah, bahwa untuk sementara aku membaktikan diri kepada Ayahkuâ¦â tulis Kartini.
Dalam tulisan Kartini, Pramoedya, sebagai pengumpul dan penafsir surat, berpendapat bahwa Kartini terlihat sudah memendam konflik nilai. Ia menyebutkan bahwa Kartini tidak setuju dengan paham poligami dan aturan feodal yang membelenggu keluarganya. Di sisi lain, Kartini sangat menyayangi Ayahanda.
Pramoedya juga mengkritisi sikap Kartini yang enggan menyebut ibu kandungnya kepada Zeehandelaar. Ia menghargai langkah ini sebagai bentuk pengalaman motif moral yang tinggi.
âKartini tidak menyebut-nyebut ibu kandungnya terhadap sahabat penanya, tidaklah bisa dikatakan suatu penilaian sosial terhadap si ibu. Tapi justru mengandung motif moral yang tinggi. Tanpa menyebut ibu kandungnya, dia bisa selamatkan Ayahnya dari persoalan poligami,â tulis Pramoedya.
Pramoedya menambahkan, Kartini berusaha menghindari ibu kandungnya dari beragam kerugian negatif, Bahkan, Kartini dianggap berhasil karena tidak semakin menyulitkan kedudukan sang ibu kandung.
Berkaca dari cerdiknya langkah Kartini dalam menghargai ayah dan ibunya, sangat mencerminkan nilai kasih sayang Kartini pada kedua orang tua ya, Bunda. Sikap bijak Kartini ini menyelamatkan kedua orang tuanya dan menjadi bukti cinta serta bakti Kartini pada Ayah dan Bundanya.
Pilihan Redaksi |
Semoga semangat cinta kasih ini dapat menjadi inspirasi untuk Bunda dan Si Kecil, ya.