Perayaan Sederhana HUT PDI-P yang Tak Bermahkota

perayaan sederhana hut pdi-p yang tak bermahkota

Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri saat menyampaikan pidato di HUT ke-51 PDI-P di Sekolah Partai PDI-P, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Rabu (10/1/2024).

PERAYAAN Ulang Tahun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ke-51 dirayakan secara sederhana. Bukan di gelanggang besar dan mentereng, tapi di Sekolah PDIP di daerah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, dengan jumlah peserta yang juga tak terbilang banyak.

Artinya, tidak ada pertunjukan kekuatan politik besar-besaran kali ini, seperti saat PDIP masih memiliki hubungan mesra dengan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.

Dengan kata lain, perayaan Ulang Tahun Partai berlogo Banteng Moncong Putih kali ini tak seperti ulang tahun partai pemenang pemilu yang memiliki raihan suara terbanyak pada dua pemilu terakhir masing-masing pada 2014 maupun 2019.

Kesan tersebut semakin terasa jika dikaitkan dengan tema acara yang diangkat oleh PDIP, yakni Satyam Eva Jayate. Artinya, kebenaran pasti menang.

Terkesan agak berbeda dan aneh memang. Tema yang dipilih terkesan bukan lagi sebagai tema yang menggambarkan PDIP sebagai partai besar dan partai pemenang.

Jika ditelisik dari posisi politik PDIP dikaitkan dengan prestasi elektoralnya pada pemilihan umum terakhir, justru tema tersebut terasa lebih kental nuansa kekecewaan, ketimbang nuansa kebesaran dari partai besar yang sedang berkuasa.

Pasalnya, sejatinya acara-acara besar partai pemenang biasanya bertemakan agenda besar ke depan, bukan lagi bicara pembuktian posisi politik.

Hanya partai yang belum mendapatkan status kemenangan yang biasanya bicara penegasan posisi politik partainya, yang secara fungsional diniatkan untuk menggugah hati pemilih bahwa partainya layak untuk menjadi pemenang di pemilihan selanjutnya.

Namun nyatanya tidak demikian. PDIP, melalui tema yang diambilnya di hari ulang tahun ke 51 ini, kembali menegaskan posisi politiknya alias kembali ke hal-hal mendasar, untuk menjelaskan dirinya sebagai partai yang benar secara prinsipil, tapi kebenaran tersebut ternyata belum dimenangkan, meski status partai pemenang sudah dikantongi sejak sepuluh tahun lalu.

Pertanyaannya kemudian, mengapa PDIP mengambil tema tersebut? Dan mengapa dalam pidatonya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri justru lebih banyak meradang ketimbang mengglorifikasi status partainya sebagai pemenang?

Jawaban dari kedua pertanyaan tersebut nampaknya ada pada pergeseran model relasi politik PDIP dengan penguasa Istana, yang notabene adalah kader PDIP yang dipercaya dan diusung untuk maju sebagai calon presiden di pemilu tahun 2014 dan 2019 lalu.

Relasi yang sejatinya telah membuat PDIP merasa bangga dan membusungkan dada selama sembilan tahun terakhir ternyata berakhir kurang manis menjelang tahun ke sepuluh alias tahun terakhir berkuasanya sang ‘petugas partai’.

Memburuknya relasi tersebut bisa terjadi karena secara tak disangka-sangka ternyata sang presiden memilih untuk tidak lagi bersama PDIP di laga berikutnya.

Apapun alasan di balik berbalik arahnya model relasi kedua pihak, yang sebenarnya secara kasat mata telah diketahui publik sebabnya, nyatanya perubahan tersebut ikut mengubah kemesraan politik kedua pihak menjadi rivalitas elektoral menjelang laga Pilpres 2024 mendatang, rivalitas yang nyaris tak pernah dibayangkan oleh publik selama ini.

Seterheran-herannya publik menyaksikan perubahan sikap politik dan manuver politik Presiden Jokowi sejak tahun lalu.

Tak pernah dibayangkan karena nyatanya Jokowi secara defacto memilih pihak yang selama dua kali pemilihan presiden menjadi lawannya di satu sisi dan menjadi lawan PDIP juga di sisi lain.

Relasi politik menjadi sulit karena pada pemilihan mendatang dan karena status PDIP sebagai partai pemenang di dua pemilihan sebelumnya, membuat PDIP tidak mungkin untuk berkoalisi dengan pihak yang dipilih oleh Jokowi saat ini sebagai mitra strategisnya.

Di sinilah komplikasinya dimulai. Jokowi mendukung, bahkan boleh jadi ikut mendorong anaknya berpasangan dengan Prabowo.

Sementara PDIP tak mungkin ikut mendukung keputusan dan pilihan tersebut, karena PDIP sudah lebih dahulu mengumumkan calon sendiri, yang tak mungkin dinegosiasikan lagi posisinya. Di sinilah awal mula kemesraan berubah menjadi rivalitas.

Imbas tidak saja sampai pada perubahan model relasi politik, tapi juga pada “kesan” status pemenang yang disandang oleh PDIP. Sekalipun secara faktual tercatat di Komisi Pemilihan Umum ( KPU) bahwa PDIP adalah partai pemenang di pemilihan terakhir, kesan sebagai partai pemenang serta merta pudar di mata publik karena simbol kemenangan tersebut justru tidak lagi bersama PDIP.

Artinya, mahkota kemenangan PDIP terkesan direnggut oleh Jokowi, yang membuat PDIP menyandang status partai pemenang hanya di dalam angka, tapi tidak lagi bermahkota di kepalanya.

Angka itu pun kini tak lagi sempurna, karena kembali angka raihan partai semata, yang secara nominal hanya 20 persenan.

Tentu jauh berbeda jika angka tersebut dikaitkan kepada Jokowi yang menjadi pemenang Pilpres 2019 lalu, yang meraih angka nominal lebih dari 50 persen.

Secara simbolis matematis, PDIP kehilangan banyak angka, yang secara simbolis pula membuatnya menjadi partai biasa, layaknya partai lainnya, di tahun kesepuluh Presiden Jokowi berkuasa.

Jadi kesempurnaan status partai pemenang pemilu memang berada pada Jokowi, yang selama ini secara simbolik mengesankan bahwa PDIP dan Jokowi menguasai lapangan elektoral lebih dari 50 persen.

Sekalipun ada suara partai koalisi di sana, tapi “kesan”-nya kemenangan itu adalah milik PDIP dan mahkotanya ada di kepala Banteng, bukan di kepala partai politik lain.

Lantas ketika mahkota tersebut direnggut oleh Jokowi dan dibagi-bagi kepada beberapa partai koalisi yang menjadi rival politik PDIP, maka otomatis PDIP menjadi partai pemenang yang tak bermahkota dan boleh jadi juga tak bertenaga sekuat dahulu.

Mengapa? Karena mahkota adalah simbol kekuasaan. Ketika mahkota PDIP direnggut oleh Jokowi, maka sebagian tenaga dan kuasa PDIP secara elektoral ikut terbawa bersamanya.

Dan di dalam acara perayaan ulang tahun PDIP ke 51 bisa dilihat dengan sangat jelas bahwa mahkota itu sudah tak bersama PDIP lagi.

PDIP boleh saja berdalih bahwa PDIP sengaja tak mengundang Jokowi karena menghormati jadwal kenegaraan sang presiden.

Namun publik dengan mudah bisa melihat dan menilai bahwa relasi antara PDIP dan Jokowi sudah tak seperti dulu lagi. Dengan kata lain, rivalitas Jokowi dan PDIP memang sudah tidak bisa disembunyikan lagi.

Meskipun tidak pernah mendapatkan surat pemecatan, yang berarti bahwa Jokowi sesungguhnya masih kader PDIP, rivalitas sudah berlangsung sejak beberapa bulan lalu, tepatnya sejak Gibran Rakabuming Raka, diumumkan sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto.

Dengan konstelasi yang demikian, sangat wajar kiranya isi pidato Megawati tidak lagi berupa glorifikasi status PDIP sebagai partai pemenang, tapi lebih kepada penegasan posisi politik PDIP sebagai partai yang berada pada “track” yang benar, tapi justru telah dizalimi dan direnggut mahkotanya oleh kadernya sendiri, yaitu Joko Widodo.

Memang dalam pidatonya Megawati tidak merujuk langsung ke nama Jokowi. Tapi publik bisa menilai dengan mudah bahwa gelora keresahan dan kekecewaan yang muncul dari pidato Megawati Soekarnoputri, baik atas kondisi partainya maupun atas prospek demokrasi Indonesia ke depan, terkait langsung dengan sepak terjang Jokowi dalam beberapa bulan terakhir.

Bersama rakyat

Jadi perayaan ulang tahun PDIP kali ini menjadi perayaan penegasan bahwa memang secara simbolik PDIP tidak lagi bermahkota dan tak lagi bersama Jokowi. Namun yang jelas, PDIP masih bersama rakyat, sang pemegang hak suara yang sesungguhnya.

Secara ideasional, tentu narasi yang diambil PDIP dan Megawati sudah sangat tepat. Tidak ada demokrasi dan partai politik tanpa rakyat. Dan tak ada kekuasaan yang abadi tanpa dukungan rakyat.

Kata-kata tersebut menjadi simbol yang tersimpan di balik pidato Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang secara tak langsung ingin menyampaikan bahwa kini Jokowi tidak lagi memilih rakyat sebagai tempat untuk berpihak, tapi justru memilih kekuasaan sebagai tempat untuk mempertahankan diri agar mahkotanya bisa diwariskan secara tak demokratis.

Dan karena pidato itu pula, pujian Anies Baswedan kepada Megawati mendapatkan konteksnya, yakni sebagai tokoh yang konsisten terus menjaga demokrasi di negeri ini.

Megawati memang tokoh utama yang menolak wacana tiga periode presiden sekaligus menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden yang justru digaungkan di era kekuasaan Presiden Jokowi.

Lalu di tahun ke sepuluh kemesraan PDIP dan Jokowi, Megawati juga menolak tunduk kepada penguasa Istana, sekalipun risikonya harus merayakan ulang tahun secara sederhana karena kehilangan mahkota.

Terlepas apapun pandangan tentang Megawati Soekarnoputri selama ini, namun pada konteks ini Megawati, menurut saya, layak diapresiasi sebagai negarawan sejati.

Nah, dengan posisi politik yang diambil tersebut, prospek perolehan suara PDIP masih cukup bagus.

PDIP berpeluang mempertahankan statusnya sebagai partai pemenang pemilihan umum dengan raihan suara tertinggi dibanding dengan partai-partai lainnya, yakni sekitar 20-an persen, sebagaimana diungkap oleh survei-survei tentang elektabilitas parpol, beberapa waktu belakangan.

Masalahnya kini terletak pada prospek capres-cawapres yang didukung oleh PDIP dan beberapa partai anggota koalisi yang dipimpin oleh PDIP.

Sejak rivalitas mulai terjadi antara PDIP dan Jokowi, suara capres-cawapres dari PDIP mulai kehilangan superiotasnya di dalam survei-survei politik yang ada.

Posisi Ganjar Pranowo yang lama berada di urutan pertama terdepak. Pergeseran angkanya cukup signifikan, yang membuat capres dari PDIP tersebut harus bersaing habis-habis untuk posisi ke dua dengan capres nomor satu, agar bisa melanjutkan pertarungan di putaran kedua.

Yang jelas, dengan sebaran kekuatan politik hari ini, peluang untuk satu putaran sebagaimana diteriakkan oleh pasangan nomor 2, sangat kecil peluangnya.

Meskipun begitu, dilihat dari pergerakan elektabiltas dalam beberapa waktu belakangan, masih terdapat sedikit kemungkinan untuk itu.

Jadi PDIP dan pasangan capres-cawapres nomor tiga harus fokus kepada dua hal. Pertama mempersempit, bahkan jika dimungkinkan, mengeliminasi kemungkinan pemilihan satu putaran.

Kedua, memastikan agar pasangan calon nomor urut tiga masuk ke dalam putaran kedua tersebut.

Jika itu bisa dilakukan, maka peluang untuk mengambil kembali mahkota dari Jokowi akan terbuka sangat lebar.

Jika PDIP dan pasangan calon nomor urut tiga masuk putaran kedua, secara mayoritas suara pemilih properubahan dan antipemerintah berpeluang pindah ke pasangan nomor urut tiga, jika komunikasi politik tetap terjaga dengan gerbong politik yang mendukung paslon nomor urut satu, minimal dengan PKB dan Nasdem.

Dan dengan “political stance jalan tengah” dari pasangan nomor urut tiga, masa mengambang di putaran kedua berpeluang diraih dengan angka signifikan, selama narasi politik yang dimainkan tidak bergeser dari politik jalan tengah yang telah dimainkan Ganjar – Mahfud hari ini alias tidak bergeser ke posisi ekstrem kiri, karena itu akan memperkecil ceruk suara paslon nomor urut tiga.

News Related

OTHER NEWS

Ketua TPN Minta Kampanye Ganjar-Mahfud Dipenuhi Lautan Manusia

Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Presiden, Arsjad Rasjid ditemui di Jiexpo Kemayoran, Jakarta, Minggu (1/10/2023) sesaat sebelum penutupan Rakernas IV PDI-P. JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) ... Read more »

Hasil Survei Terakhir Jelang Kampanye Capres 2024,Prabowo Unggul versi 5 Lembaga,Ganjar di LPI

TRIBUN-TIMUR.COM – Hasil survei terbaru lembaga survei calon presiden-wakil presiden RI jelang kampanye terbuka. Dari tujuh lembaga survei, dominan unggulkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming. Ketiga pasangan calon presiden kini berebut elektabilitas ... Read more »

Pecahkan Banyak Rekor, Red Bull Harus Bayar Mahal Pendaftaran F1 2024

Tim yang bermarkas di Milton Keynes ini menampilkan salah satu performa paling dominan dalam sejarah F1 musim ini, dengan para pembalapnya memborong 21 kemenangan dari 22 balapan. Ia mengamankan kedua ... Read more »

PROMO Indomaret andamp Superindo Besok 29 November 2023: White Koffie Harga Khusus,Sensodyne Rp24.900

TRIBUN-BALI.COM – PROMO Indomaret & Superindo Besok 29 November 2023: White Koffie Harga Khusus, Sensodyne Rp24.900 Berikut ini adalah Katalog Promo Indomaret dan Superindo untuk besok hari Rabu, 29 November ... Read more »

Finsensius Mendrofa Masuk Tim Deputi Hukum TPN Ganjar - Mahfud, Begini Profilnya

Finsensius Mendrofa Masuk Tim Deputi Hukum TPN Ganjar – Mahfud, Begini Profilnya jpnn.com, JAKARTA – Pengacara Finsensius Mendrofa resmi ditunjuk menjadi Wakil Direktur Eksekutif Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) ... Read more »

Indosat Caplok 300.000 Pelanggan MNC Play

Ilustrasi MNC Play KOMPAS.com – Operator seluler Indosat Ooredoo Hutchison (IOH atau Indosat) menyelesaikan proses akuisisi pelanggan PT MNC Kabel Mediacom (MNC Play) pada Senin (27/11/2023). Ada sebanyak 300.000 pelanggan ... Read more »

Pelawak Srimulat Eko Londo Meninggal Dunia, Sempat Alami Kecelakaan

Pelawak Srimulat Eko Londo Meninggal Dunia, Sempat Alami Kecelakaan Kabar duka datang dari dunia hiburan Tanah Air, Bunda. Pelawak yang tergabung di Srimulat, Eko Londo meninggal dunia di usia 66 ... Read more »
Top List in the World