Black Brothers,Band Rock Legendaris dari Tanah Papua
TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA – Mungkin tak banyak anak muda zaman sekarang di luar Papua yang mengetahui Black Brothers, band rock legendaris dari ujung timur Indonesia.
Terlebih, tahu dan hapal sejumlah lagunya yang populer di era 80an.
Tapi jangan tanya di Papua, siapa saja akan emosional apabila mengenangnya.
Black Brothers menjadi salah satu grup band papan atas pada 1976.
Sejak akhir 1960-an, tanah Papua kedatangan militer Indonesia dalam jumlah besar.
Ada banyak pertempuran terjadi antara militer Indonesia dengan warga Papua.
Di sisi lain, militer Indonesia juga membuat band untuk mengisi waktu senggang.
Angkatan Laut, misalkan, membentuk grup Varunas.
Kodam Cenderawasih punya grup Tjenderawasih, sedangkan Acub Zaenak yang pernah menjabat Gubernur Papua 1973-1975, membentuk kelompok Band Pemda.
Black Brothers menjadi salah satu grup band papan atas pada 1976.
Di era 1970-an, keriuhan musik rock kebanyakan berpusat di Jawa.
Pada era itu muncul God Bless, AKA, The Rollies, hingga Giant Step.
Namun, Black Brothers menjulang dari Papua.
Karyanya hingga kini tetap dikenal dan dicintai, meski pernah mengalami pergantian personel dan berbagai kontroversi.
Black Brothers beranggotakan enam orang, yakni Hengky MS ‘Mirantoneng Sumanti’ (Lead Vocal & Guitar), Benny Bettay (Bass), Jochie Pattipeiluhu (Keyboard/Organ), Amry Kahar (Trumpet), Stevie Mambor (Drum & Vocal), dan David Rumagesan (saksofon & Vocal).
Band yang sebelumnya bernama Los Iriantos Primitive ini terbentuk di Jayapura, Papua pada awal tahun 1970an.
Mereka kemudian hijrah ke Jakarta pada tahun 1976 untuk meniti karier bermusik yang lebih menjanjikan.
Band ini dimanajeri oleh Andy Ayamiseba, seorang pengusaha berdarah Cina-Papua.
Dibawah nahkoda Andy, BB (Black Brothers) menjalin kerjasama dengan Nyo Beng Seng pemilik label rekaman Irama Tara, salah satu label mayor saat itu.
Black Brothers merilis 8 album dan 1 album Natal bersama Irama Tara selama rentang waktu 1976-1979.
Pada tahun 1977 Black Brothers mendapat penghargaan Golden Record dan juga memenangi trofi sebagai salah satu dari tiga band terbaik (AKA/SAS, God Bless & Black Brothers) versi majalah ternama Indonesia (Femina, Gadis, Intisari, Aktuil).
Pada masa keemasannya, salah satu lagu ciptaan Hengky MS, “Kisah Seorang Pramuria,” sempat menimbulkan kontroversi karena dianggap sangat identik dengan Charles Hutagulung.
Namun, Black Brothers tidak goyah dan terus berkarya dengan lagu-lagu yang membumi, seperti “Hari Kiamat,” “Derita Tiada Akhir,” “Lonceng Kematian,” “Hilang,” dan lainnya.
Momen penting dalam karier Black Brothers datang pada 28 Desember 1976.
Atas inisiatif kelompok mahasiswa Papua di Jakarta, Black Brothers manggung bersama SAS, grup band pecahan AKA yang terdiri dari Soenata Tanjung, Arthur Kaunang, dan Syech Abidin.
Dua band funk rock ini manggung di Istora Senayan.
“Mereka juga pernah menulis lagu tentang perang Vietnam, kelaparan di Ethiopia, perang Pasifik, juga tentang nuklir,” ujar Ibiroma Wamla, seorang antropolog.
Pada 1980-an, mereka pindah ke Belanda.
Ada simpang siur tentang alasan kepergian mereka. Ada yang mengatakan mereka pergi untuk mencari suaka politik.
Ada pula yang mengatakan mereka pergi untuk mengejar karier musik.
Menurut Ibiroma yang beberapa kali menulis tentang Black Brothers, kepergian mereka lebih untuk mengejar karier.
“Kalau tekanan politik tidak mungkin. Mereka dapat izin manggung kok pada saat itu,” ujarnya, dilansir tirto.id
Black Brothers beranggotakan enam orang, yakni Hengky MS ‘Mirantoneng Sumanti’ (Lead Vocal & Guitar), Benny Bettay (Bass), Jochie Pattipeiluhu (Keyboard/Organ), Amry Kahar (Trumpet), Stevie Mambor (Drum & Vocal), dan David Rumagesan (saksofon & Vocal).
Pengamat musik Denny Sakrie, dalam wawancara bersama Metro TV, pernah mengatakan kepergian itu amat disayangkan.
Kepergian itu, membuat penggemar mereka di Indonesia kehilangan jejak Black Brothers.
Tak tahu apa yang mereka buat di Belanda.
“Sangat disayangkan, band yang punya prospek masa depan yang bagus, akhirnya menjadi hilang ditelan bumi. Karena visi politik yang lebih kuat,” kata Denny.
Selepas hijrah dari Indonesia, aspirasi politik Black Brothers memang lebih gencar disuarakan.
Selepas tinggal di Belanda, mereka sempat berpindah ke Vanuatu dan Papua Nugini.
Situs Discogs menyebut Black Brothers mempengaruhi banyak band-band muda di Papua Nugini.
Begitu juga di tanah kelahiran mereka, Papua.
Selepas Black Brothers, muncul band-band seperti Black Papas, Black Sweet, Black Power, juga Black Family. (*)