Beli barang Rp10 juta, kena bea masuk Rp31 juta – Mengapa bisa terjadi dan bagaimana aturan bea masuk belanja online dari luar negeri?
Beli barang Rp10 juta, kena bea masuk Rp31 juta – Mengapa bisa terjadi dan bagaimana aturan bea masuk belanja online dari luar negeri?
Pengalaman sejumlah orang yang terkena sanksi bea masuk sebesar puluhan juta saat berbelanja online dan menerima kiriman barang dari luar negeri menuai polemik di media sosial.
Polemik ini mengemuka setelah seorang pengguna media sosial bernama Radhika Althaf membeli sepatu seharga Rp10,3 juta, dan dikenakan sanksi administratif sebesar Rp31,8 juta.
Menurut keterangan Bea Cukai, itu terjadi karena harga barang yang tertera di dalam sistem ternyata lebih rendah dari yang sebenarnya. Namun kepada BBC News Indonesia, Radhika membantah melakukan praktik itu dan menduga penjual di negara asal yang melakukannya.
Sepatu milik Radhika hingga kini masih tertahan di gudang milik DHL karena dia enggan membayar Rp31 juta.
“Saya tidak mau dan tidak akan pernah mau membayar, bahkan satu rupiah lebih besar dari kewajiban bea masuk yang sebenarnya. Tidak mungkin saya membayar untuk sesuatu yang bukan kesalahan saya,” tutur Radhika kepada BBC News Indonesia.
Kasus ini memicu kecaman terhadap Bea Cukai di media sosial. Banyak yang mempertanyakan dasar penerapan denda itu.
Pengamat pajak dari Tax Research Institue (TRI) Prianto Budi mengatakan polemik itu menggambarkan bahwa aturan mengenai bea masuk dan sanksinya belum disosialisasikan dengan baik.
Selain itu, kasus ini juga menggambarkan praktik “under invoicing”—menurunkan harga barang dari nilai transaksi sebenarnya—yang selama ini dia sebut sebagai “musuh laten” Bea Cukai.
Pelaku dalam kasus seperti ini bisa siapa saja, entah itu pembeli selaku importir atau penjual. Namun di dalam aturan yang berlaku, importir lah yang dipandang bertanggung jawab.
“Begitu masuk ke custom clearance itu tetap tanggung jawab importir sehingga pada akhirnya ditagihkan ke importir,” kata Prianto.
Dia membenarkan bahwa memang ada celah-celah dalam aturan seperti ini yang memicu keberatan dari importir.
Oleh sebab itu, Prianto mengatakan penting bagi masyarakat untuk memahami aturan ini dan mencegah praktik tersebut terjadi.
Seperti apa aturan bea masuk saat berbelanja online dari luar negeri dan apa itu praktik under invoicing yang dapat berujung denda?
Kronologi beli sepatu Rp10,3 juta, kena bea masuk Rp31,8 juta
Radhika mengatakan dia membeli sepatu bermerek Adidas Adizero F50 itu seharga Rp10,3 juta, dengan ongkos kirim sebesar Rp1,2 juta.
Dia kemudian menerima tagihan dari bea cukai—yang disampaikan oleh DHL selaku jasa pengiriman—bahwa dia dikenakan bea masuk senilai Rp31,8 juta.
“Itu perhitungan dari mana? Ini kalau berdasarkan perhitungan gue, harusnya gue bayar itu sekitar Rp5,8 juta dan ini juga perhitungan yang gue pakai menggunakan aplikasi kalian [bea cukai],” kata Radhika dalam salah satu videonya.
BBC News Indonesia telah diberi izin oleh Radhika untuk mengutip pengalamannya ini.
Bea Cukai kemudian merespons keluhan itu. Menurut bea cukai, nilai pabean yang disertakan oleh jasa pengiriman adalah sebesar US$35,37 (sekitarRp562.736).
Namun setelah dicek, nilai pabeannya semestinya sebesar US$553,61 (sekitar Rp8.807.935).
Radhika dianggap kurang bayar. Oleh sebab itu, dia dikenakan sanksi.
Sanksi administrasi itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2019, yang menerangkan bahwa Bea Cukai menerapkan denda berjenjang untuk importir yang kurang bayar.
Besaran sanksinya mulai dari 100% hingga 1000%, tergantung kekurangan pembayaran bea masuk.
Dalam video selanjutnya, Radhika menyebut DHL “salah input” nilai kepabeanan, yang seharusnya US$500 namun ditulis menjadi US$35.
Radhika kemudian merasa dia dikenakan sanksi atas perbuatan “yang tidak pernah” dia lakukan. Dia mengeklaim telah melampirkan bukti transfer sebenarnya kepada jasa pengiriman.
Di dalam bukti yang dia tampilkan di videonya, terlihat sebuah nota pembelian yang melampirkan bahwa harga sepatu dan ongkos kirimnya sebesar €70 (sekitar Rp1,2 juta). Nominal di nota pembelian itu jauh lebih kecil dari harga sebenarnya. Radhika mengeklaim nota itu dia dapatkan dari DHL.
“Sebelum mendapat notifikasi pemberitahuan biaya bea masuk dari DHL, Bea Cukai meminta saya melampirkan beberapa berkas seperti link pembelian, invoice, bukti transfer dan NPWP,” kata Radhika kepada BBC News Indonesia.
“Nah di titik ini saya baru mendapatkan invoice sebesar €70 itu dari DHL untuk dapat saya lampirkan sebagaimana permohonan Bea Cukai,” sambungnya.
Dia kemudian melampirkan bukti transfer pembelanjaan senilai Rp11,5 juta sesuai nilai asli dan ongkos kirim yang sebenarnya dia bayarkan.
Dia membantah melakukan praktik “under invoicing”. Radhika menduga itu dilakukan oleh penjual di negara asalnya. Sementara itu, dia mengeklaim DHL tidak pernah menginformasikan hal itu kepadanya sampai ada tagihan bea masuk dari Bea Cukai.
Radhika juga mengaku kesal karena bea cukai tidak mengonfirmasi hal itu dan langsung mengenakan sanksi administrasi.
Dia mengaku telah mengundang DHL untuk menyelesaikan permasalahan ini bersama-sama, namun DHL disebut meminta waktu untuk berkoordinasi dengan DHL Jerman terkait masalah nota pembelian sebesar €70 itu.
BBC News Indonesia telah menghubungi DHL Indonesia untuk mengonfirmasi hal tersebut. Namun DHL hanya mengirimkan pernyataan resmi tanpa menjabarkan kronologi versi mereka terkait kasus ini.
“Kami mengetahui situasinya dan telah menghubungi pelanggan kami untuk membantu dalam penyelesaian masalah tersebut. Kami selalu mengikuti undang-undang dan peraturan setempat yang relevan terkait dengan proses clearance barang kiriman,” kata DHL Indonesia melalui email kepada BBC News Indonesia.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Bea Cukai tidak merespons permintaan BBC News Indonesia untuk menanggapi kasus ini.
Radhika bukan satu-satunya yang mengalami hal itu. Tak lama setelah pengalamannya viral di media sosial, seorang warganet lainnya mengeluh karena diminta membayar bea masuk Rp32 juta untuk baju sebesar 0,5 kilogram.
Dia mengaku baju itu adalah hadiah yang dikirim untuknya dari luar negeri. Sama seperti Radhika, Bea Cukai menemukan bahwa harga yang diklaim di paket hadiah tersebut lebih rendah dari yang sebenarnya sehingga dia dikenakan sanksi.
Seperti apa aturan belanja online dari luar negeri?
Belanja online dari lokapasar di luar negeri yang dikirimkan melalui kargo udara maupun laut dianggap sebagai impor barang menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199 Tahun 2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman.
Nilai bea masuk untuk barang belanjaan tersebut bergantung pada jenis barangnya. Untuk produk selain tekstil, tas dan alas kaki dengan nilai US$3 hingga US$1.500 akan dikenakan bea masuk sebesar 7,5% dan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11%.
Sedangkan untuk produk tekstil, tas dan alas kaki besaran bea masuknya berbeda-beda, tergantung pada Kode HS setiap barang.
Untuk sepatu yang dibeli oleh Radhika misalnya, bea masuknya dikenakan sebesar 30%.
Dalam hal ini, importir diminta untuk menginformasikan secara jujur nilai barang yang diimpor. Namun menurut Prianto Budi dari Tax Research Indonesia (TRI) ada banyak kasus di mana nilai barang yang diklaim tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
Apa itu praktik ‘under invoicing’ dan apa sanksinya?
‘Under-invoicing’ adalah praktik yang dilakukan importir ketika mendeklarasikan bahwa harga barang yang diimpor lebih rendah dari harga sebenarnya.
Dengan cara itu, maka harga bea masuk dan pajak impornya pun menjadi lebih rendah dari semestinya.
Praktik ini tidak cuma dilakukan oleh importir skala besar, namun juga oleh importir individu yang berbelanja daring atau membawa barang dari luar negeri.
Implikasi dari praktik ini, kata Prianto, adalah berkurangnya penerimaan negara dari bea masuk.
Menurut Prianto, Bea Cukai biasanya memiliki basis data terkait harga barang yang biasanya diimpor untuk memastikan kesesuaian laporan tersebut. Atau bisa juga Bea Cukai mengecek harga dari barang tersebut.
Lalu apa sanksinya? Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2019, Bea Cukai menerapkan denda berjenjang untuk importir yang kurang bayar. Besaran sanksinya mulai dari 100% hingga 1000% tergantung kekurangan pembayaran bea masuk.
Sanksi itulah yang dikenakan kepada Radhika.
Bagaimana jika masyarakat keberatan?
Dalam beberapa kasus, Prianto mengatakan Bea Cukai bisa saja salah menaksir harga barang tersebut. Dalam konteks seperti itu, importir bisa mengajukan keberatan.
Sayangnya menurutnya, pengajuan keberatan itu harus diputuskan melalui pengadilan.
“Dan importir tetap bayar dulu. Atau kalau tidak bayar dulu harus ada jaminan. Kalau ternyata jaminannya benar, langsung cair,” kata Prianto.
Proses yang rumit itu menjadi salah satu yang membuat banyak importir individu akhirnya enggan mengajukan keberatan.
“Ibaratnya, kasusnya ayam tenaganya kuda. Tidak sebanding,” kata dia.
Dalam beberapa kasus, pengamat pajak Prianto Buri mengatakan Bea Cukai bisa saja salah menaksir harga barang tersebut. Dalam konteks seperti itu, importir bisa mengajukan keberatan.
Kurang sosialisasi dan rendahnya kepercayaan masyarakat
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Roy Valiant Salomo, mengatakan kecaman yang muncul di media sosial terhadap Bea Cukai menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi tersebut.
Sehingga, ketika Bea Cukai mencoba menegakkan aturan pun justru memicu kecaman.
Itu dipicu oleh rekam jejak kasus-kasus di Bea Cukai sendiri yang membuat masyarakat meragukan penegakan aturannya.
Dia mencontohkan ketika mantan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengungkap skandal emas senilai Rp189 triliun di Bea Cukai.
CEO Garuda Indonesia Ari Askhara ketahuan menyelundupkan motor Harley melalui maskapai tersebut
Begitu pula kasus pada 2019 lalu ketika CEO Garuda Indonesia diketahui menyelundupkan Harley dan sepeda Brompton.
“Itu lagi-lagi membuat trust masyarakat ke lembaga pemungut atau cukai jadi buruk, akhirnya ketika mereka menegakkan hukum, prosesnya menjadi tidak mudah,” kata Roy.
Roy juga menilai bahwa polemik ini menunjukkan lemahnya sosialisasi pemerintah terhadap aturan mengenai bea masuk belanja daring.
“Sosialisasinya harus cukup masif, dalam arti menjangkau masyarakat yang berpotensi terdampak oleh peraturan-peraturan itu,” kata dia.
Di sisi lain, Roy juga mengingatkan agar masyarakat taat dan jujur terhadap aturan tersebut untuk menghindari risiko terkena denda.