Ilustrasi warga China mengenakan masker di tengah wabah virus corona (Covid-19).
KOMPAS.com – Jumlah populasi di China menyusut selama dua tahun berturut-turut, seperti yang dilaporkan Badan Statistik Nasional China pada Rabu (17/1/2024).
Biro Statistik Nasional China menerbitkan laporan tahunan terbaru mengenai data populasi yang dikumpulkan dari 31 wilayah, termasuk provinsi, daerah otonom, dan kota.
Laporan tersebut tidak memasukkan data penduduk asing, atau wilayah administratif khusus seperti Hong Kong dan Makau.
Data tersebut juga tidak mencakup data mengenai Taiwan yang memiliki pemerintahan sendiri.
Populasi China saat ini mencapai mencapai 1,409 miliar pada akhir 2023. Angka ini turun sebanyak 2,08 juta dibandingkan 2022, dilansir dari The Guardian, Rabu (17/1/2024).
Angka ini bahkan lebih besar dibandingkan dengan penurunan pada 2021-2022 sebesar 850.000.
Padahal, penurunan penduduk pada 2021-2022 merupakan penurunan tajam pertama selama 60 tahun terakhir.
Selain itu, angka kelahiran tersebut merupakan angka terendah yang pernah tercatat, yaitu sebesar 6,39 kelahiran per 1.000 penduduk pada 2022.
Secara nasional, terdapat 9,02 juta kelahiran dan 11,1 juta kematian yang dilaporkan pada 2023.
Pada 2023, China sudah dua tahun berturut-turut mencatatkan angka kelahiran di bawah 10 juta jiwa per tahun.
Angka-angka baru ini merupakan peringatan keras bagi Presiden China, Xi Jinping agar menghindari kemungkinan bom waktu demografis di masa yang akan datang.
Penyebab krisis populasi di China
Meskipun pemerintah sudah menerapkan berbagai kebijakan, ada berbagai faktor yang menyebabkan China mengalami krisis populasi, dikutip dari dari Newsweek, Rabu (17/1/2024).
Seorang ahli demografi di Universitas Nankai di Kota Tianjin, China mengungkapkan, krisis populasi di China disebabkan karena:
- Berkurangnya jumlah perempuan usia subur
- Kurangnya minat dalam mengasuh anak
- Tertundanya pernikahan
- Pandemi COVID-19 selama tiga tahun.
Selain itu, ahli demografi Universitas Wisconsin-Madison Amerika Serikat (AS), Fuxian Yi menyatakan, penurunan populasi ini sudah diperkirakan oleh Biro Sensus AS.
Biro Sensus AS pernah memperkirakan jika China berusaha menstabilkan angka kelahiran di angka 1,0, populasinya akan turun menjadi di bawah 400 juta pada 2100.
Angka ini akan berimbang dengan prediksi populasi AS pada 2100 yang mencapai 366 juta populasi.
Tak hanya angka kelahiran yang menurun, angkatan kerja di China juga diprediksi akan menua dengan lebih cepat.
Kondisi ini akan meningkatkan kekhawatiran terhadap produktivitas yang akan berpengaruh pada perekonomian negara.
Prediksi yang meleset
Sebelumnya, Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial Shanghai percaya bahwa populasi China akan mencapai puncaknya pada 2021, dilansir dari Newsweek, Rabu.
Pernyataan ini berdasarkan catatan sejarah pertumbuhan eksplosif negara tersebut yang belum pernah terjadi sejak 60 tahun yang lalu.
Oleh karena itu, pemerintah China sempat memberlakukan kebijakan “satu keluarga satu anak” untuk mencegah ledakan penduduk di China.
Sayangnya, perkiraan tersebut meleset dan statistik penduduk di 2021-2023 menunjukkan sebaliknya, China justru terancam mengalami krisis populasi.
Kekhawatiran ini akhirnya mendorong pemerintah untuk melonggarkan peraturan keluarga berencana yang ketat.
Pemerintah yang awalnya menerapkan kebijakan satu keluarga satu anak dan telah berlangsung selama beberapa dekade, mengizinkan dua anak dalam satu keluarga pada 2015.
Kemudian pemerintah mulai menerapkan kebijakan satu keluarga tiga anak pada 2021.
Pemerintah daerah juga telah memperkenalkan keringanan pajak dan insentif lainnya dalam upaya mendorong masyarakat untuk memiliki anak.
Krisis populasi di Jepang dan Korea Selatan
Dikutip dari Frontline Magazine, Jumat (4/8/2023), statistik terbaru pada 2023 menunjukkan jumlah orang yang meninggal di Jepang pada 2022 dua kali lebih tinggi dari jumlah kelahiran.
Berdasarkan pendaftaran tempat tinggal, Kementerian Dalam Negeri Jepang memperkirakan total kehilangan populasi sekitar 8.000.000 jiwa pada tahun 2022.
Angka ini merupakan penurunan total populasi terbesar sejak statistik serupa pertama kali dibuat pada 1968.
Jepang kini memiliki 122,4 juta warga negara dan turun dari angka terbesarnya yang berjumlah lebih dari 128 juta pada 15 tahun lalu.
Serupa dengan China dan Jepang, Korea Selatan juga terancam krisis populasi.
Korea Selatan merupakan negara dengan angka kelahiran terendah di dunia dan diperkirakan angka kelahirannya akan turun lebih jauh lagi dalam dua tahun ke depan, dilansir dari CNN, Jumat (15/12/2023).
Tingkat kesuburan total dari perempuan di Korea Selatan diperkirakan turun dari 0,78 pada tahun 2022 menjadi 0,65 pada tahun 2025, menurut statistik Pemerintah Korea.
Dalam skenario terburuk, angka tersebut bisa mencapai 0,59 kelahiran per perempuan pada tahun 2026, kata badan tersebut.
Ia menambahkan bahwa jumlah bayi baru lahir di Korea Selatan diperkirakan turun dari 250.000 pada 2022 menjadi 160.000 pada 2072 atau sebesar 65 persen.
News Related-
Nadzira Shafa Nyanyi Lagu Baru, Lirik Rakit Soundtrack Film 172 Days, Ceritakan Kisah Cintanya dengan Amer Azzikra
-
Cara Menukarkan Valas dan Informasi Kurs Dollar-Rupiah di BCA, Selasa (28/11)
-
Ganjar Disindir Halus Kepala Suku di Merauke soal Kondisi Jalan
-
BREAKING NEWS - Diduga Depresi,Pemuda di Kubu Raya Nekat Akhiri Hidup Dengan Cara Tak Wajar
-
Tertarik Ubah Avanza Jadi VW Kodok? Segini Biayanya
-
Bukan Gabung Barito,Sosok di Luar Dugaan Eks Persija Membelot ke Rival Dewa United,Anak Dewa Cek
-
Pesan Mahfud ke Anak Muda Aceh: Semua Akan Sukses karena RI Kaya, Jangan Hedon
-
Apakah Hantu Itu Nyata? Berikut Penjelasan Ilmiahnya
-
Rajin Beri Bonus dan Ajak Jalan-jalan,Bos Tak Menyangka Lihat Isi Grup WA Karyawan,Semua Dipecat
-
Pimpinan KPK Kaget Kasus Korupsi SYL Ternyata Sudah Dilaporkan Sejak 2020, 3 Tahun Dibiarkan Mangkrak
-
Isyarat Rasulullah Tentang Penaklukan Romawi dan Mesir
-
Istana Ingatkan Pasangan Anies-Muhaimin, Ada Kesepakatan Politik Terkait UU IKN
-
Anak Kiky Saputri Unboxing Bingkisan Ulang Tahun Ke-2 Rayyanza
-
Ragam Keris dan Senjata Pusaka di Museum Pusaka TMII