ICW Minta KY Awasi Praperadilan Firli Bahuri dan Eddy Hiariej di PN Jaksel
ICW Minta KY Awasi Praperadilan Firli Bahuri dan Eddy Hiariej di PN Jaksel
JawaPos.com – Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan akan mulai menyidangkan dua permohonan praperadilan yang menguji keabsahan penetapan dua tersangka dugaan tindak pidana korupsi pada Senin (11/12) besok. Dua tersangka itu adalah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Firli Bahuri dan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharief Hiariej alias Eddy Hiariej. Sebagaimana diketahui, dua orang mantan pejabat publik tersebut diduga melakukan tindak pidana korupsi berupa pemerasan, suap, dan penerimaan gratifikasi. Firli sendiri ditangani oleh Polda Metro Jaya, sedangkan Eddy beberapa waktu lalu diusut KPK. “Selain memastikan bukti yang dihadirkan bisa membantah argumentasi tersangka, penting pula untuk mengawasi proses persidangan agar berjalan mandiri atau bebas dari intervensi pihak manapun,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Minggu (10/12). Baca Juga: Wacana Ganjar Penjarakan Narapidana Korupsi di Nusakambangan Dinilai Tepat untuk Beri Efek Jera Sekalipun mengajukan permohonan praperadilan merupakan hak dari setiap tersangka, kata Kurnia, upaya hukum itu kerap digunakan sebagai jalan pintas untuk terbebas dari jerat hukum. Proses persidangan cepat ditambah adanya perluasan objek praperadilan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 membuat gerombolan koruptor silih berganti menguji keabsahan proses hukumnya. “Tak jarang, proses persidangan dinilai banyak pihak ganjil dan putusannya pun akhirnya mengabulkan permohonan para tersangka,” ucap Kurnia. Kurnia mencontohkan, keganjilan putusan praperadilan sempat terjadi pada Komjen Pol (Purn) Budi Gunawan pada 2015 lalu. Kala itu, hakim tunggal PN Jakarta Selatan Sarpin, mematahkan penetapan tersangka yang dilakukan KPK. Baca Juga: Antusiasme Meluap, Generasi Milenial dan Gen Z Deklarasikan Dukungan untuk Prabowo-Gibran Lewat Praka di Jatim “Bukan cuma itu, Sarpin juga bermanuver melalui putusannya dengan mengatakan Budi bukan merupakan aparat penegak hukum,” papar Kurnia. Selain Budi, kejanggalan proses persidangan praperadilan di PN Jakarta Selatan juga tampak dalam permohonan tahap I mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto. Bagaimana tidak, hakim Cepi Iskandar saat itu sempat menolak unjuk bukti yang disodorkan oleh Biro Hukum KPK. “Bahkan, pertanyaan yang diajukan Cepi melebar dengan mempersoalkan status kelembagaan KPK, Ad-Hoc atau permanen. Keganjilan ini bukan tidak mungkin akan kelihatan kembali dalam persidangan praperadilan Firli dan Eddy,” ujar Kurnia. Ia menekankan, PN Jakarta Selatan dikenal banyak mengabulkan permohonan tersangka korupsi. Dalam catatan ICW, dari rentang waktu 2015-2021 setidaknya terdapat sembilan tersangka yang dikabulkan permohonannya oleh hakim tunggal di PN Jakarta Selatan. Baca Juga: Pembangunan Konstruksi Bendungan PLTA Kayan Cascade Ditargetkan Mulai Tahun Depan Oleh karena itu, ICW mendesak lembaga pengawas kode etik hakim, yakni, Komisi Yudisial (KY), mengambil peran dengan mengirimkan tim guna memperhatikan setiap agenda persidangan yang berlangsung terkait praperadilan Firli dan Eddy. Hal ini juga sejalan dengan penerapan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UU KY. “Di mana dalam dua aturan itu disebutkan bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh KY. Hal ini penting guna memitigasi hal-hal di luar proses hukum terjadi dalam persidangan Firli dan Eddy,” pungkas Kurnia.