Alasan Walhi Sebut Pemindahan Ibu Kota dan 1 Juta ASN ke IKN Kaltim Tak Bisa Cegah Jakarta Tenggelam
TRIBUNKALTIM.CO – Tahun 2022, kabar Jakarta akan tenggelam dan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) beserta 1juta ASN dari Jakarta ke Kaltim pernah mendapat sorotan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).
Sorotan ini semakin mengemuka saat Wakil Gubernur DKI Jakarta yang saa itu dijabat Riza Patria menyebutkan bahwa pemindahan IKN akan membantu mencegah Jakarta tenggelam.
Bahkan, Walhi Jakarta saat itu mengingatkan bahwa pernyataan Riza Patria tersebut adalah sesat pikir yang berbahaya.
Secara umum, Walhi Jakarta menilai pemindahan IKN tidak akan berdampak signifikan pada penurunan masalah lingkungan hidup di Jakarta.
“Pemindahan ibu kota sama sekali tidak berkaitan dengan agenda pemulihan lingkungan hidup di Jakarta. Selama ambisi pembangunan tidak diturunkan, Jakarta akan sulit pulih. Jadi, berhenti menggunakan alasan perbaikan lingkungan hidup di Jakarta untuk memuluskan rencana pemindahan ibu kota,” kata Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Suci Fitria Tanjung dalam keterangan tertulisnya yang diterima Kompas.com, Minggu (14/8/2022) malam.
Sebab, pasca-pemindahan tersebut, Jakarta masih diwacanakan menjadi pusat bisnis dan jasa global di mana kebutuhan terhadap ruang akan terus tinggi dan wacana pemulihan lingkungan hidup di Jakarta menjadi semakin sulit dibayangkan.
Pemindahan IKN kurangi potensi Jakarta tenggelam
Sebelumnya, Riza Patria mengatakan bahwa pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur dapat membantu mengurangi potensi Jakarta tenggelam.
Namun, pernyataannya justru menuai kecaman.
“Karena, kan terjadi pergeseran jumlah warga yang ada di Jakarta ke IKN. Itu terjadi pengurangan. Memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur, di antaranya adalah mengurangi beban DKI Jakarta termasuk beban adanya penurunan muka air tanah,” kata Riza Patria di Balai Kota Jakarta, dikutip dari Antara, Selasa (9/8/2022).
Riza berpendapat bahwa pemindahan IKN yang akan diikuti oleh perpindahan 1 juta aparat sipil negara (ASN) akan membantu mengurangi penggunaan air tanah sehingga dianggap akan mengurangi laju penurunan muka tanah.
IKN DI KALTIM – Proses pembangunan Istana Negara dan kantor Presiden RI di IKN Nusantara, Provinsi Kalimantan Timur. (KOMPAS.com)
Dengan menurunnya jumlah penduduk di DKI Jakarta saat ini, konsumsi air tanah juga diharapkan berkurang sehingga meringankan beban di DKI Jakarta.
Dengan begitu, risiko Jakarta yang terancam tenggelam akibat konsumsi air tanah yang berlebihan juga bisa diminimalisasi.
Saat ini, utuk menekan konsumsi air tanah, Pemprov DKI melalui BUMD PAM JAYA berupaya mempercepat penyediaan air bersih perpipaan bekerja sama dengan pemerintah pusat untuk penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).
Akar masalah ancaman Jakarta tenggelam Walhi Jakarta menilai akar masalah yang mengancam Jakarta tenggelam justru berada di pemerintah yang gagal dalam merencanakan tata ruang, menyediakan layanan pipa air bersih, dan melakukan penegakan aturan terkait ekstraksi air tanah dalam equifier untuk sektor komersial dan industri.
Selain itu, Walhi menambahkan bahwa kegagalan pemerintah juga tecermin dari minimnya kawasan imbuhan air tanah karena 64-92 persen merupakan tutupan lahan kedap dan terbangun (Data DLH DKI Jakarta).
Dengan kata lain, kata Suci, beberapa wilayah di Jakarta kehilangan kemampuan menyerap air sehingga mengganggu ketersediaan air tanah.
“Wilayah dengan tutupan lahan kedap air paling tinggi adalah Jakarta Utara dan Jakarta Pusat, yang mana, kedua daerah tersebut juga merupakan wilayah yang paling tinggi angka penurunan muka tanahnya,” kata Suci.
Menurut Suci, penyataan Riza soal upaya pencegahan Jakarta tengelam juga kontradiktif dengan kebijakan yang dibuat pemerintah.
Melalui Peraturan Gubernur Nomor 118 Tahun 2020, pemerintah dinilai justru mempermudah Izin pembangunan Gedung di Jakarta.
Hal ini dianggap mengkhawatirkan, pasalnya penurunan muka tanah juga dipengaruhi oleh beban bangunan.
Menurut Suci, pernyataan Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut adalah logical fallacy yang berbahaya dan dapat menumbalkan keberlangsungan lingkungan hidup dan hidup warga Jakarta.
“Jelas sekali bahwa premis akar masalah yang menyebabkan Jakarta tenggelam dan kesimpulan yang ditarik sebagai landasan solusi, tidak nyambung,” kata Suci.
Benarkah Jakarta Akan Tenggelam?
Prediksi Jakarta tenggelam 10 tahun lagi menjadi isu hangat yang ramai diperbincangkan beberapa waktu belakangan ini.
Isu ini kembali mencuat setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menyinggung bahaya pemanasan global ketika berpidato di Kantor Direktur Intelijen Nasional, Selasa (27/7/2021).
Dalam pidatonya tersebut, Biden menyebutkan bahwa dampak pemanasan global bisa mencairkan es di kutub dan menaikkan permukaan air laut sehingga Jakarta tenggelam dalam 10 tahun ke depan.
“Apa yang terjadi di Indonesia jika perkiraannya benar bahwa dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena akan tenggelam?” kata Biden seperti dalam pemberitaan Kompas.com (30/7/2021).
Lantas, benarkah Jakarta akan tenggelam dalam waktu 10 tahun lagi?
Dua profesor Indonesia menjelaskannya dalam webinar Lecture Series Majelis Profesor Riset (MPR) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rabu (6/10/2021).
Profesor Riset bidang Geoteknologi-Hidrogeologi, Prof Dr Robert Delinom, dan Profesor Riset bidang Meteorologi pada Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN, Prof Dr Eddy Hermawan, sama-sama sepakat bahwa pernyataan Jakarta akan tenggelam dalam waktu 10 tahun itu kurang tepat.
Menurut Robert, dalam waktu relatif dekat jika tidak segera dilakukan mitigasi, memang betul beberapa wilayah di Jakarta akan tenggelam, tetapi bukan berarti seluruh wilayah DKI Jakarta akan tenggelam seperti Atlantis.
“Jakarta dan pantura bisa jadi tenggelam, tapi tidak pada kurun waktu yang segera,” kata Robert.
“Tenggelam, bayangan kita seperti Atlantis itu, tidak. Tapi Jakarta terendam, iya,” tambahnya.
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukannya di Semarang dan Jakarta, kawasan yang memiliki batuan lempung di dasar tanahnya memang cenderung lebih mudah mengalami penurunan.
Dari topografinya, kawasan Jakarta pesisir sekitar jalur pantura memang memiliki batuan lempung ini, sehingga amblesan atau penurunan permukaan tanahnya lebih cepat terjadi dibandingkan wilayah lain di Ibu Kota.
Dalam pemaparannya, Robert juga menjelaskan, jikapun dibuat skenario Jakarta tenggelam, kawasan yang paling berisiko adalah Pantai Indah Kapuk, Marunda, Sunda Kelapa, dan sekitar wilayah ini.
“Ada potensi tenggelam, tapi hanya beberapa bagian, tidak seluruh Jakarta,” jelas dia.
Ia menambahkan, penurunan permukaan tanah atau amblesan tanah yang terjadi itu pun tidak akan terus-menerus terjadi sampai ratusan atau ribuan tahun nanti.
Jika amblesan terjadi hanya karena batuan lempung, penurunan permukaan tanah akan berhenti pada masanya sendiri, kecuali jika penurunan permukaan tanah itu terjadi akibat faktor-faktor lainnya.
“Jadi sebenarnya kita tidak mengabaikan, tetapi yang paling penting dari tenggelamnya Jakarta itu adalah amblesan tanah (land subsidence atau penurunan tanah),” kata dia.
“Jakarta yang berbahaya adalah daerah zona merah yang laju penurunannya tanahnya cukup tinggi,” imbuhnya.
Senada dengan Robert, Eddy berkata bahwa jika basis analisis utama yang dipakai hanya menggunakan parameter naiknya laju permukaan air lat (Sea Level Rise/SLR) atau laju kenaikan rob yang memang relatif kecil setiap tahun (~3mm/tahun, global) maka peluang atau terjadinya Jakarta terancam tenggelam relatif kecil.
Tinggi muka laut juga kerap kali disebut sebagai salah satu faktor yang mengancam tenggelamnya Jakarta dan pantura.
Namun, Eddy berkata bahwa bahaya utama yang terjadi di kawasan pantura, khususnya Jakarta dan kawasan sekitarnya adalah penurunan muka tanah (land subsidence).
“Sayangnya, kita belum mampu memprediksi, membuat skenario, membuat proyeksi laju penurunan subsidence hingga tahun 2050,” kata dia.
Padahal, informasi ini sangat dibutuhkan untuk melihat secara spasial kawasan mana saja di sepanjang pantura yang memiliki potensi kerusakan lingkungan yang sangat serius.
Peran daya satelit resolusi tinggi seperti Mozaik Bebas Awan (MBA) harus dilakukan untuk monitoring.
“Bilamana kedua fenomena ini bergabung menjadi satu, tentu saja ini ini akan memberikan dampak lebih serius, (tapi) pada siapa? Pada wilayah zona rawan Jakarta,” ujarnya.
Namun, jika penyebabnya hanya tinggi muka laut atau penurunan permukaan tanah (amblesan tanah), dampaknya tidak akan seserius jika keduanya terjadi.
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Kaltim dan Google News Tribun Kaltim untuk pembaruan lebih lanjut tentang berita populer lainnya
Artikel ini telah tayang di Kompas.com, Kompas.com